17/05/2007
Penulis : Dr. Ahmad Ali Riyadi, Penerbit : Ar-Ruzz Media Yogyakarta, Cetakan : Pertama, Januari 2007, Tebal : 216 Halaman, Peresensi : M. Husnaini*
Selama ini, kajian tentang NU telah banyak dilakukan oleh para pemerhati keislaman. Tidak hanya dalam negeri, para intelektual dari luar negeri juga sudah banyak yang melakukan penelitian seputar dinamika pergerakan NU di tanah air. Clifford Geertz, Andree Feillard, dan Martin Van Bruinessen adalah sederet nama yang pernah muncul ke permukaan bumi nusantara. Namun sayangnya, dalam setiap karya yang ada, “cap” tradisionalis masih seringkali dilekatkan pada tubuh NU. Hal ini seakan menutup cela adanya kemungkinan untuk melakukan perubahan dalam tubuh NU. Namun, tidak demikian adanya setelah kita membaca buku ini.
“Dekonstruksi Tradisi; Kaum Muda NU Merobek Tradisi” adalah buku karya Dr. Ahmad Ali Riyadi yang menguak fakta lebih dalam tentang perubahan radikal hasil kreasi anak muda NU. Pada awalnya buku ini adalah hasil penelitin disertasi yang kemudian diterbitkan oleh Ar-Ruzz Media, Yogyakarta pada bulan Januari 2007 lalu. Buku ini sangat menarik untuk dikaji, karena di samping menampilkan pemikiran anak-anak muda NU yang sangat kritis terhadap tradisi mereka selama ini, juga menampilkan profil latar belakang pendidikan pemikir-pemikir muda yang mampu menggetarkan jagad nusantara.
Pergulatan pemikiran kaum muda NU memang tidak berangkat dari ruang hampa. Selain corak pemikiran keagamaan dari Barat dan Jazirah Arab, perkembangan ilmu-ilmu sosial modern yang berkembang pesat saat ini juga turut mewarnai arah pemikiran mereka. Perkembangan ilmu seperti, ilmu sosiologi, antropologi, ilmu bahasa, semiotik, dan ekonomi juga turut memberi andil yang cukup besar dalam pola gerak kaum muda.
Beberapa indikasi yang menandai format baru gerakan perubahan dalam tubuh NU. Pertama, bangkitnya kretifitas kaum muda dalam berfatwa sehingga kecenderungan untuk patuh terhadap fatwa ulama tua semakin memudar. Kedua, melemahnya penonjolan masalah-masalah fiqhiyah dan kian maraknya isu-isu yang lebih menonjolkan aspek kemanusiaan. Ketiga, pudarnya sikap-sikap sektarian dan semakin tumbuh suburnya non-sektarian di tubuh NU. Dalam hal ini, kaum muda ini lebih mengonsepsikan diri sebagai komunitas Muslim yang kedudukan dan peranannya tersebar di berbagai institusi sosial yang ada sehingga memunculkan kelompok ktritis yang lebih toleran, inklusif.
Pemikiran NU dianggap telah mengalami kejumudan sehingga perlu adanya pembaruan yang mendasar dalam tubuh NU. Sebagai generasi baru, mereka langsung melakukan kritik terhadap kemapanan yang selama ini dianggap kurang responsif dalam mengatasi permasalahan kekinian. Gagasan yang mereka ajukan lebih menitikberatkan peran lembaga (organisasi NU) sebagai agen gerakan sosial (social movement) ketimbang sebagai gerakan politik (political movement).
Dalam pandangan mereka, agama yang diturunkan ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan umat manusia harus dipahami secara produktif, bukan menjadi sesuatu yang amat menakutkan. Pemikiran dan perilaku keagamaan tidak akan mampu membebaskan jika agama menjelma menjadi tiran yang membelenggu pemeluknya. Oleh karena itu, agama harus ditransendenkan sedemikia rupa sehingga mempunyai kritik, tidak memihak pada sikap yang anti kritik.
Semangat inilah yang memompa kaum muda untuk melakukan perombakan total bangunan keagamaan, khususnya dalam lingkup NU. Pemikiran ini kemudian mendorong sikap kritis terhadap sesuatu yang sudah baku dengan selalu berusaha menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru. Karena pada dasarnya, kemampuan agama untuk hidup dalam masyarakat secara normal bukan karena pemeluknya yang membela secara mati-matian, tapi lebih karena akselerasi doktrinalnya yang terus berubah dalam menghadapi realitas zaman.
Untuk merealisasikan gagasan yang mereka ajukan, kaum muda menggunakan sarana yang beraneka ragam. Tak hanya melalui tulisan, gagasan mereka juga dituangkan dalam bentuk kajian-kajian keislaman atau lembaga penelitian. Ada kelompok kajian kaum muda yang dibentuk secara organisatoris berada di bawah payung organisasi NU, seperti, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam), Lembaga kajian Pesantren dan Sumber Daya Manusia (LKPSM), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ada lembaga yang dibangun dalam kultur NU, semisal, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Bahkan ada juga lembaga yang melepaskan diri secara penuh dari NU, dan tidak bernaung di bawah NU dalam menyalurkan aspirasi intelektualnya, seperti Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), dan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang diprakarsai Ulil Abshar Abdallah.
Meski relatif muda, namun gerakan pemikiran kaum muda NU ini membawa pengaruh yang luar biasa terhadap kultur yang terbangun dalam tradisi keagamaan NU selama ini. Tak pelak, tanggapan yang muncul ke permukaan pun bervariasi. Pertarungan wacana pro dan kontra mewarnai hadirnya pemikiran baru ini. Ada pihak yang setuju, namun ada juga pihak yang setuju dengan kritik, bahkan ada pula pihak yang menolak mentah-mentah. Pihak yang menerima menganggap bahwa gagasan yang terlontar dari anak muda NU tersebut adalah bagian dari ijtihad berfikir. Berijtihad menandakan adanya kebebasan berekspresi untuk mengungkap fakta kebenaran dalam Islam. Oleh karenanya Islam sangat menghargai hal itu. Salah satu yang mendukung gagasan ini adalah KH. Abdurrahman Wahid.
Pada aras lain, pihak yang menolak tidak kalah kuatnya. Mereka mengatakan bahwa kaum muda ini telah melenceng dari asas Ahlussunnah wal Jama’ah. Puncaknya, penolakan ini mencuat pada Muktamar NU XXXI di Asrama Haji Donohudan Boyolali Jawa Tengah. Selain itu, ada pula pihak yang menerima dengan disertai kritik. Pihak ini mengatakan bahwa bagaimanapun juga, pendapat dan gagasan anak muda NU ini adalah aset yang perlu mendapat apresiasi tersendiri. Mereka cenderung lebih berhati-hati dengan selalu mengikuti jejak historis pendapat kaum muda tersebut.
Akhirnya, kehadiran buku ini menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk menjelaskan sistematisasi pola pembaruan yang ditawarkan oleh anak muda NU sehingga dapat menciptakan nuansa keberagamaan yang pluralis dan bervisi humanis. Semoga..!
(Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya)Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=9232
No comments:
Post a Comment