Koran Jakarta Jumat, 13 Agustus 2010
Menegakkan NU Miring
oleh Mukhamad Zulfa
Judul : Dari Kiai Kampung ke NU Miring
Penulis : Acep Zamzam Noor dkk.
Penerbit : Ar-Ruzz Media
Tebal : 248 halaman
Tahun : I, 2010
Harga : Rp 35.000
Buku ini merupakan antologi dari tulisan anak-anak muda yang mengaku berdarah, berwatak, hingga bermental NU. Bermula dari note jejaring sosial dalam dunia maya yang dipajang Binhad Nurrohmat berjudul Dari NU Miring ke Muktamar NU.
Muncul komentar berlalu lalang muncul dari teman-temannya dengan latar belakang tempat yang berbedabeda. Didapuk dengan tulisan Acep Zamzam Noor Kiai Kampung.
Akhirnya kedua judul itu dielaborasi menjadi judul buku ini. Membuka buku pada halaman awal kita akan disuguhi tentang Kiai kampung ala Acep Zamzam Noor. Menurutnya, Nahdlatul Ulama (NU) berbasis pesantren.
Kiai, santri, dan pondok tidak lepas akan unsur yang meliputi pesantren itu sendiri. Sebutan kiai merupakan suatu pengakuan dari masyarakat bahwa mereka yang mencerahkan dalam artian mendidik memberikan kontribusi, dan menunjukkan akan kiprah pada masyarakat sekitar.
Kiai kampung inilah yang menopang kehidupan NU. Mereka tersisihkan oleh kejamnya politik. Kadang dijadikan pijakan dan dieluelukan perannya ketika pemilihan bupati, DPR, dan sederet yang pemilihan lainnya.
Karakter yang sabar, ulet, tulus, lurus, menghargai proses, dan tahan banting, inilah yang disalahgunakan sebagian kalangan yang tak bertangggung jawab yang mengatasnamakan NU.
Berbeda dengan tanggapan yang diutarakan Mujtaba Hamdi, dia menghadirkan seorang tokoh kiai musala yang, menurutnya, menganut lakon NU condong. Miring juga berarti condong.
Berbeda dengan mainstream. Posisi yang berbeda dengan elite-elite NU posisi subversif. Selain itu hal yang ingin disampaikan olehnya bahwa jam’iyyah NU masih pro-mustadhafin (orang yang dikebiri haknya/lemah) ataukah sudah memenangkan mustakbirin (orang yang congkak oleh harta dan kekuasaan).
Ia dan Nahdliyyin awam sekalipun akan mengingat bahwa Nahdlatul Ulama adalah kebangkitan kaum alim. Tidak peduli apakah mereka seorang kiai yang memunyai bejibun santri, atau imam di musala kecil, bahkan intelektual yang faham akan sejarah Islam dan ilmu agama.
Yang menjadi pertanyaan adalah makna kebangkitan itu sendiri. Untuk siapakah kebangkitan itu dihadirkan? Masih pada mustadhafi nkah. Setelah memangku NU secara struktural menjadi tanfidziyah PBNU (1984-1999), almarhum Gus Dur pada puncaknya menjadi presiden.
Dia menurut penilaian Ngasiran juga melakukan tindakan miring . Ketika Gus Dur membubarkan Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen) reaksi dari DPR dianggap oleh beliau seperti kekanakkanakan.
Suasana persidangan yang kaku dibuat luruh oleh Gus Dur. Desakralisasi yang dilakukannya ini membawa dampak positif dengan terbukanya lembaga kepresidenan, antara pemerintah dan rakyat.
Sehingga menyimbolkan bahwa presiden bukanlah seorang yang berkesan keagungan pribadi (personal glory) bertolak belakang dengan presiden yang sebelumnya. Demikian pula banyak tokoh NU yang berlaku miring (hal 224).
Kontributor buku ini merupakan kalangan nahdliyin muda yang berharap dengan laku miring yang mereka lakukan dapat menegakkan NU yang benar. Walaupun hal itu tak berimbas besar pada NU. Toh, mereka berijtihad dengan tulisan.
Peresensi adalah Mukhamad Zulfa, aktif di Pesanggrahan KALAMENDE.
Masih menuntut ilmu di IAIN Walisongo Semarang
No comments:
Post a Comment