Hasil Penggalian Otentik atas Jatidiri NU
Peresensi : Rijal Mumazziq Z *
Dalam pejalanan NU selama 80 tahun, Khitthah 1926 yang merupakan landasan dasar pergerakan NU adakalanya mengalami sebuah masa ketika rumusan yang meneguhkan NU hanya merupakan organisasi sosial keagamaan murni (jamiyyah ijtimaiyyah diniyyah mahdhah) sedikit terlupakan. Sebab, dengan dinamisnya pergerakan NU, bukan tidak mungkin jika kemudian organisasi ini mengadakan sebuah langkah akomodatif dengan situasi dan kondisi agar lebih shalih li kulli zaman wa makan (relevan di setiap situasi dan kondisi).
Hingga kemudian, sejarah mencatat bahwa NU bermetamorfosis menjadi sebuah partai politik. Tak pelak, akibat persinggungan NU dengan dunia politik yang semakin kompleks, nada sumbang kian bergema akibat semakin terkurasnya perhatian NU ke wilayah politik daripada membuktikan diri sebagai ormas sosial keagamaan murni.
Inilah yang kemudian melatar belakangi beberapa kader menggali dan merumuskan kembali Khitthah NU yang sempat ter(di)abaikan. Secara historis, keputusan penguasa orde baru yang melebur partai-partai Islam (termasuk NU) dalam satu wadah bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan titik klimaks yang mencederai kiprah NU di panggung politik nasional.
Akibatnya, Partai NU yang sebelumnya mendapatkan suara signifikan dalam pemilu 1971 menjadi keok saat berfusi di dalam tubuh PPP. Hingga kemudian arus yang berkembang dalam tubuh PPP faksi NU mengalami sebuah kekecewaan akibat dominasi faksi MI (yang beranggotakan politisi PSII dan Parmusi.
Dari pengalaman yang membuktikan NU bukan lagi (menjadi) sebuah organisasi sosial religius inilah, kemudian. Almaghfurlah KH. Achmad Shiddiq menggali (meminjam bahasa Bung Karno) dan merumuskan kembali landasan pergerakan NU yang sempat tertimbun selama puluhan tahun. Wacana kembali ke Khitthah 1926 ini mencapai puncaknya saat berlangsung Muktamar NU ke-27 di Asembagus Situbondo. Namun, secara genetis, embrio gagasan kembali ke Khitthah 1926 ini sebenarnya lahir saat Muktamar ke-26 di Semarang yang dicetuskan oleh KH.Achmad Siddiq, meski saat itu belum menjadi acara pembahasan, apalagi keputusan. Lalu bagaimana sebenarnya hasil penggalian KH. Achmad Siddiq atas rumusan Khitthah 1926 tersebut?.
Dalam buku yang ditulis pada 1979 ini, (diterbitkan kembali oleh Penerbit Khalista setelah sempat “tertimbun” beberapa tahun), terungkap betapa luhurnya cita-cita yang diperjuangkan oleh founding fathers NU. Dalam risalah (demikianlah kiai asal Jember ini menyebut buku ini) yang sempat dibagikan dalam Muktamar ke 26 di Semarang ini, terdapat sebelas poin utama yang menjadi titik tekan NU dalam bergerak dan berorganisasi, diantaranya, ciri diniyyah, kedudukan ulama, Ahlussunnah wal jamaah, bahaya-bahaya bagi kemurnian ajaran Islam, sistem bermadzhab, karakter tawassuth wal I’tidal, pola berorganisasi, konsepsi da’wah, ma’arif dan mabarrot (sosial), ekonomi muamalah dan diakhiri dengan rumusan Izzul Islam wal Muslimin.
Dalam “Pencerminan dan Penjabaran Ciri Diniyyah” (sub bab Ciri Diniyyah), KH. Achmad Siddiq mengemukakan bahwa ciri diniyyah NU tercermin dalam beberapa hal seperti, didirikan atas motif dan asas serta cita-cita keagamaan, yaitu izzul Islam wal muslimin menuju rahmaan lil alamin, sehingga segala sikap, tingkah laku dan karakteristik perjuangannya selalu disesuaikan serta diukur dengan norma hukum dan ajaran Islam. Lebih lanjut, KH. Achmad Siddiq menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama menitikberatkan aktivitasnya pada domain yang berinteraksi langsung dengan religiusitas, seperti masalah ubudiyyah, mabarrat, da’wah, maarif, serta muamalah (hal 15). Jadi dari pemaparan ini, dapat terbaca jika aktivitas di bidang lain dibatasi sekedar mendukung dan memenuhi persyaratan perjuangan keagamaannya.
Begitu pula saat KH. Achmad Siddiq mengulas tentang karakteristik urgen Nahdlatul Ulama, yaitu al-tawassuth wa al-I’tidal. Beliau lebih dulu menyitir Surat al-Baqarah ayat 143 sebagai penopang karakter at-Tawassuth, serta Surat al-Maidah ayat 9 yang menjadi tiang pancang sikap I’tidal, yang kemudian disertai dengan kutipan Surat al-Hadid ayat 25 sebagai dasar atas sikap at-Tawazun Nahdlatul Ulama.
Selanjutnya beliau pun mengulas bahwa sikap at-Tawassuth (termasuk al-I’tidal dan at-Tawazun) bukanlah sikap serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan berarti mengucilkan diri dari menolak persinggungan dengan semua unsur (hal 62). Bagi KH. Achmad Siddiq, prinsip dan karakter at-Tawassuth yang sudah menjadi karakter Islam harus diterapkan di segala bidang, supaya agama Islam serta ti
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8249
No comments:
Post a Comment