Judul buku: Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967
Judul asli: Ulama and Politics in Indonesia a History of Nahdlatul Ulama 1952-1967
Penulis: Greg Fealy Penerjemah: Farid Wajidi, Mulni Adelina Bachtar
Penerbit: LKiS Yogyakarta-The Asia Foundation, Maret 2003
Tebal buku: xx + 438 halaman
Historiografi Kebudayaan “Jalan Tengah” Ulama Indonesia
Argumen pokok yang dibangun buku ini adalah bahwa tindakan NU dalam berpolitik sama sekali bukan tanpa prinsip; NU sebenarnya selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang meletakkan prioritas tertinggi pada “perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya” (Greg Fealy).
***
Masyarakat memandang ulama mempunyai tempat yang sangat tinggi dalam kehidupan sosial. Hal ini antara lain karena faktor sejarah penyebaran Islam di Indonesia terjadi ketika supremasi institusi khilafah (politik) sangat lemah. Memang ada lembaga politik Islam bernama sultan (: kesultanan dari Aceh hingga Nusa Tenggara) pada awal-awal Islam di Indonesia, tetapi lembaga ini tidak mempunyai legitimasi yang kokoh di dalam masyarakat Islam.
Oleh karena itu, ketika kesultanan terserap dalam sistem politik dan ekonomi kolonial, ulama membangun basis sosialnya dan semakin kokoh dengan munculnya banyak pesantren. Maka ulama tak lagi semata-mata berurusan dengan perumusan aspek-aspek doktrinal dari Islam, tetapi ia berpolitik dengan merumuskan bentuk ‘ideologis’ dari Islam, sebagai akibat dari dialog yang intens dengan lingkungan sosial politik, termasuk membentuk solidaritas umat. Sebagian kelompok ulama yang intens berpolitik itu bergabung dalam wadah Nahdlatul Ulama (NU) (M Imam Aziz, kata pengantar, hlm. xv).
Wadah NU
Bergabungnya ulama dalam sebuah wadah NU yang selanjutnya menjadi bersifat politis tak lepas dari keberadaan ulama sebagai pemegang otoritas keagamaan yang sering dijadikan legitimator bagi kekuasaan. Selain itu, sebagaimana dicatat Zamakhsyari Dhofier dalam disertasi monumetalnya Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (1982), karena ulama memiliki kharisma dan wibawa yang tinggi di tengah masyarakat. Kharisma dan wibawa tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan lewat proses panjang dan teruji. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pembentukannya karena sifat kejujuran, kesederhanaan, dan sopan satun. Sifat-sifat yang demikian membuat sosok kiai begitu dihargai dan dihormati oleh masyarakat.
Selama kurun waktu yang cukup panjang NU telah kenyang membangun jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) maupun bertarung di arena politik praktis. Berbagai dunia pernah digeluti dan secara kasat mata tampak berubah-ubah. Keputusan dari satu wilayah perjuangan ke wilayah lain, tentu membutuhkan kejeniusan sekaligus ketajaman berpikir dan bertindak, meskipun di sisi lain ada orang yang menganggap NU berpolitik sebagai oportunis dan tidak berprinsip.
Asumsi “Berlebihan”
Greg Fealy melalui buku ini menunjukkan bahwa kesimpulan ‘NU oportunis dan tidak berprinsip’ sangatlah berlebihan. Karena sikap NU sejak awal selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang sudah lama dianutnya. Yakni, mendasarkan diri pada fiqih Sunni klasik yang meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya (umat). Para elit NU selalu bersikap hati-hati, luwes, dan memilih “jalan tengah”.
Akibat seringnya NU memilih “jalan tengah”, lalu banyak akademisi mencirikan NU sebagai oportunistik. Selain itu, para pengkiritik menunjuk pada seringnya NU mengubah sikap politiknya demi menyelematkan posisinya di pemerintahan. Sebagai contoh, pada kurun 1950-an NU menyatakan komitmennya kepada solidaritas Islam, namun berulang kali membangun aliansi dengan kubu nasionalis untuk melawan Masyumi.
Namun demikian, kata Fealy, tindakan NU sama sekali bukan tidak berprinsip; NU sebenarnya selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang sudah lama dianutnya. Ideologinya didasarkan pada fiqih Sunni klasik yang meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya.
Ideologi ini menuntut kaum muslimin, terutama para ulama yang memimpin mereka, agar menjauhi segala bentuk aksi yang dapat mengancam kesejahteraan fisik dan spiritual masyarakat. Dalilnya adalah maslahah (mengejar kemanfaatan) dan mafsadah (menghindari kerusakan), amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), dan akhaffud dararain (memilih yang paling kecil resikonya dari dua pilihan yang sama-sama buruk) (hlm. 362).
Prinsip-prinsip ini membawa beberapa konsekuensi terhadap pendekatan politik NU. Pertama, prinsip-prinsip ini lebih menekankan perlunya bersikap hati-hati., luwes dan memilih jalan tengah karena pendekatan ini jelas tidak begitu membahayakan dibandingkan dengan sikap memusuhi dan konfrontasi.
Kedua, prinsip-prinsip ini membentuk pandangan yang realistis dengan menempatkan kekuasaan sebagai penentu utama dalam memilih strategi. Sebelum mengambil keputusan-keputusan penting para ulama harus terlebih dahulu memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan pemerintah atau kekuatan lain di masyarakat. Melakukan perlawanan terhadap kekuatan yang lebih besar hanya akan memperbesar resiko kerugian bagi Islam.
Ketiga, prinsip-prinsip ini memberikan dorongan yang kuat kepada NU untuk menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah. Bila ingin menggunakan politik untuk mencapai tujuannnya, maka NU juga harus ikut memiliki andil kekuasaan dalam pemerintahan.
Penerapan prinsip-prinsip ini tampak jelas dalam pendekatan politik NU periode 1950-an dan 1960-an. Keterlibatannya dalam kabinet pertama dan kedua Ali Sastroamidjojo pada 1953 dan 1956, juga dalam Kabinet Karya 1957 dijustifikasi berdasarkan prinsip amar makruf nahi munkar. Dua pendapat ini pula yang menjadi alasan NU masuk dalam DPR Gotong Royong pada 1960 dan Nasakom. Meskipun keputusan-keputusan yang rujukan eksplisitnya dapat ditemukan dalam arsip partai, ada kemungkinan bahwa pertimbangan tersebut banyak dipakai dalam pembahasan berbagai perundingan politik penting lainnya (hlm. 363).
Ulama Tunisia, Pakistan, Persia
Perilaku para ulama NU tidak jauh berbeda dengan perilaku organisasi-organisasi lain, di manapun di dunia, yang dipimpin para ulama. Arnold Green (1983), dalam artikel tentang politik Islam di Tunisia, misalnya, menyebutkan bahwa kecenderungan kalangan para ulama untuk mendukung atau melawan suatu rezim didasarkan pada ancaman terhadap kepentingan sosial dan ekonomi umat yang kemungkinan akan timbul akibat keputusannya. Green juga mencatat bahwa ulama cenderung bersikap pasrah (permisif) bila berhadapan dengan penguasa yang kuat dan totoriter.
Pengamatan Leonard Binder (1961) atas politik di Pakistan, khususnya organisasi ulama tradisionalis Barelvi, Jamiyyatul Ulama Islam, ternyata memiliki banyak kesamaan dengan NU. Ulama Barelvi cenderung menyejajarkan pengakuan politik oleh pemerintah terhadap kekuasaannya dengan posisi dan perkembangan Islam di negaranya. Mereka juga menekankan bahwa pemerintah harus memberikan perlindungan sebagai imbalan atas dukungannya.
Penelitian Ann Lambton (1983) tentang perilaku ulama Persia menunjukkan adanya sikap ambivalensi mereka mengenai kerjasama dengan pemerintah dan juga mencatat bahwa banyak ulama yang memilih untuk berkompromi sebagai sarana untuk mengikat pemerintah dan memperkukuh pengakuan bagi hukum Islam. Dan disertasi karya Fealy ini telah menunjukkan bahwa ulama NU juga dapat digambarkan dengan cara yang sama (hlm. 369).
Meskipun demikian, dengan pengertian menurut Fealy ini, sayangnya, prinsip politik NU yang mengutamakan kemaslahatan, keselamatan, dan kesejahteraan umat ini sangat jarang dijadikan rujukan. Orang lebih suka melihat sekilas atas perilaku para elit politik NU yang kemudian dijadikan justifikasi: “itulah NU yang oportunis, NU yang tidak berprinsip, dan NU yang mencari selamatnya sendiri”.
Dilema bagi Ulama
Dan hal ini memang diakui oleh Fealy, bahwa posisi dan sikap demikian kerap menimbulkan dilema bagi ulama. Di satu sisi, tugas dan wewenangnya diperoleh dari kedudukannya sebagai penyangga syariat dan pemimpin umat. Perannnya bukanlah sebagai pengatur, melainkan memberikan nasehat kepada pemerintah mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan dan kesejahteraan umat Islam. Bahkan peran tersebut sering menyeret mereka ke dalam konflik dengan pemerintah. Otonomi ulama dari negara karena itu menjadi kondisi ideal yang dijunjung tinggi, karena otonomi akan membuat mereka lebih leluasa memenuhi kewajibannya terhadap Islam dan masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah memerlukan kerjasama dan legitimasi keagamaan dari ulama dan pemerintah, pada umumnya, juga memiliki kekuasaan untuk memaksa ulama agar bersedia memenuhi tuntutannnya. Bagi ulama, hubungan baik dengan pemerintah tidak saja hanya dapat memberikan perlindungan terhadap berbagai bentuk tekanan, tetapi juga dapat mendatangkan hak-hak istimewa, berbagai sumberdaya dan pengaruh yang dapat digunakan untuk pengembangan pendidikan Islam, layanan sosial, dan penegakan hukum agama. Budaya dan tradisi intelektual para ulama telah membuat mereka cenderung bersikap konservatif, mempertahankan status quo serta menghormati penguasa –unsur-unsur yang bukan hanya menopang prestise para ulama, melainkan juga pemerintah (hlm. 370).
Abdurrahman Wahid dalam buku Muslim di Tengah Pergumulan (Jakarta: LAPPENAS, 1981, hlm. 66) memandang bahwa kalau setiap kali ulama memberi dukungan kepada pemerintah, lalu disebut ada muatan politisnya, ini tentu tidak sehat lagi. Praduga-praduga seperti ini justru sudah menyesatkan dan akan membahayakan bagi masyarakat. Padahal kalau mau jujur, apa yang dilakukan ulama bukanlah untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan adalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Dan yang lebih penting lagi, agama mengajarkan agar ulama dan pemerintah bisa menjalin kerjasama yang baik antara ‘ulama dan umara’ (pemerintah), maka berbagai persoalan yang melanda bangsa akan bisa diatasi. Tapi kalau ulama selalu dipertentangkan dengan umara’, maka justru kelamlah yang akan terjadi.
Ulama Dipertanyakan
Bila ditengok secara seksama sedikit ke belakang, ulama di Indonesia memiliki peran signifikan dalam dinamika politik umat Islam. Namun, demikian menyimak pengalaman Pemilu 1999, eksistensi ulama (-ulama tertentu) justru dipertanyakan. Beberapa kasus, seperti himbauan politik dari lembaga keulamaan (MUI) yang ditujukan kepada massa politik Islam agar tidak memilih partai politik dan caleg non-Muslim, merupakan picu konflik yang mencemaskan. Selain himbauan tersebut tidak efektif, terbukti partai-partai Islam kalah, berbagai kalangan memandang bahwa langkah tersebut tidak mendukung proses demokratisasi (M Alfan Alfian, "Memahami Polarisasi Politik Ulama", Kompas, 25/08/1999).
Mengapa himbauan itu bisa muncul? Selain signifikansi tersebut, kukuhnya sikap ulama bukan berarti tanpa resiko. Jika berdasarkan buku ini digambarkan bahwa sikap politik ulama selalu mengambil “jalan tengah”, dewasa ini asumsi tersebut tidak sepenuhnya merepresentasikan gambaran ulama Indonesia. Sebab kenyataan ada pergeseran otoritas, atau setidaknya, ada kelompok ulama yang “setia di garis politik sampai mati”.
Lima Resiko Ulama
Atas sikap ini menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip M Alfan Alfian (Ibid) ada lima resiko yang harus dihadapi: Pertama, resiko perpecahan umat. Dalam konteks ini adalah konflik atau pertikaian terbuka yang melibatkan kekerasan antarmassa pendukung partai berbasis umat Islam yang telah terbukti pada Pemilu 1999 (kasus perkelahian massa PPP-PKB di Dongos Pati Jawa Tengah hingga berakibat korban nyawa, salah satu contoh). Sementara itu dulu, dalam Pemilu 1955 –tatkala pertikaian nyaris tak berbentuk kekerasan—konflik lebih disebabkan oleh masalah-masalah furu’iyyah (perpedaan pendapat) seperti soal ijtihad, taklid, beda madzhab, qunut, talkin, dan persoalan fiqih praktis lainnya. Konflik karena furu’iyyah konon nyaris terhenti di dataran bahasa (felt conflict), namun tak sampai menuju (manifest conflict) yang diwarnai unsur kekerasan.
Kedua, resiko menguatnya subyektifitas politik. Setting politik nasional membikin masyarakat terkotak-kotak dalam warna politik yang berlainan. Mengentalnya subyektifitas kiai dalam menyikapi persoalan-persoalan politik boleh jadi lantas melupakan obyektivitas-obyektifitas sehari-hari. Akibatnya umat merasa bingung dan ‘kehilangan pegangan’ yang pasti. Atau, bahkan di sisi lain umat semakin fanatik membela kotak-kotak politik yang membingkainya, apalagi setelah memperoleh legitimasi dari para kiai. Kotak-kotak politik pun makin menajam, apalagi akan tambah seru dan mencemaskan bila egoisme politik dan gejala komunalisme muncul.
Ketiga, resiko terkurasnya energi umat ke persoalan-persoalan non-substansial. Berpolitik memang merupakan ibadah yang perlu dipikirkan masak-masak, agar mampu melempangkan jalan menuju cita-cita ideal umat. Artinya, politik bukan persoalan sepele. Tetapi ia butuh energi yang luar biasa besar. Politik bagaimanapun sekedar jalan untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Tetapi bagi kalangan awam tentu sulit membedakan mana yang substansial dan mana yang artifisial.
Keempat, resiko kegagalan eksperimentasi politik. Pemilu 1999 merupakan eksperimentasi politik sipil terbesar di Indonesia setelah Pemilu 1955. Umat Islam merupakan mayoritas sipil yang memiliki potensi politik besar. Melihat peta politik umat Islam belakangan, untuk mencapai hal-hal yang strategis dan kompak di antara seluruh kekuatan politik Islam, amatlah sulit dan tidak gampang. Dalam konteks ini tampilnya para ulama di panggung politik memunculkan resiko yang fatal, apabila massa politik –biasanya mengerucut di level akar rumput tak mampu menerjemahkan secara rasional pesan-pesan politik yang disampaikan para kiai, sehingga yang muncul radikalisasi.
Kelima, resiko merosotnya wibawa kultural ulama. Inilah resiko yang bagaimanapun siap diterima oleh para ulama-politik. Ulama jenis ini di mata masyarakat dinilai sudah tidak mampu mengayomi semua kalangan, karena hanya membela kepada salah satu kekuatan politik tertentu saja. Bagi ulama besar semacam Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pilihannya membela PKB dan meninggalkan posisinya sebagai pucuk pimpinan PBNU untuk sementara, yang tidak langsung disambut positif oleh segenap warga NU, bahkan banyak yang menyayangkannya. Gus Dur telah menyempitkan posisi dirinya dalam lingkup mikro, dibanding posisinya dulu yang dikenal sebagai tokoh Islam kultural yang kritis terhadap kekuasaan.
***
Buku karya Greg Fealy ini berusaha membongkar dan menelanjangi kepalsuan akademik dalam kajian ormas Nahdlatul Ulama (NU) yang dilakukan oleh para intelektual dunia yang selama ini dianggap mumpuni. Dalam buku ini Greg Fealy menjelaskan bahwa terdapat dua macam model historiografi Nahdlatul Ulama (NU). Pertama, model penulisan yang sangat kritis terhadap NU, dapat dikatakan bahwa model ini didominasi oleh peneliti modernis. Kedua, model penulisan yang menggunakan pendekatan yang lebih simpatik, menghargai, dan memahami tradisi budaya NU.
Model kedua mengkritisi model pertama bahwa asumsi modernis yang mengabaikan peran NU tersebut disebabkan; Pertama, kedangkalan analisa, terutama dalam memahami langkah politik NU yang bersandar pada nilai hukum Islam klasik (fikih), suatu hal yang tidak dipahami dengan baik oleh peneliti kelompok modernis atau Barat.
Kedua, penelitian model pertama diawali dengan prasangka negatif, semua pandangan dari kalangan NU dianggap sebagai pembenaran yang hanya memberi bobot keagamaan atas kepentingan NU semata (hlm. 10-11). Buku Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967 ini dapat dikategorikan dalam model penulisan kedua.
Buku karya postgraduate ini mencoba menggali peranan ulama NU dengan proses penelitian melibatkan kiai dan pesantren secara langsung. Pelibatan ini dimaksudkan bukan sekedar sebagai penambah-penderita, melainkan sebagai penyempurna dan penjelas atas fenomena keulamaan di Indonesia yang kian tergerus zaman. Maka tak berlebihan jika buku ini dinilai sebagai sebuah karya yang menggugat otoritas palsu di balik baju akademik terhadap karya-karya NU sebelumnya yang tak melibatkan dua entitas itu.
Melalui buku ini Fealy ingin mengemukakan bahwa wibawa para ulama tetap terjaga di masyarakat sepanjang sejarah karena selalu mengayomi masyarakat sesuai doktrin teologis (Islam) pada situasi apapun. Itu dulu. Namun sekarang ketika digelar Pemilu 2004 berupa pemilihan presiden secara langsung ternyata banyak ulama --yang seharusnya berperan sebagai cendekiawan penjaga moral bangsa dan netral secara politik alias tidak bersikap dukung-mendukung—terlibat secara langsung maupun tidak dalam aksi politik praktis. Beberapa di antara mereka tidak teguh dalam bersikap secara politik dan tidak kuat oleh godaan kekuasaan yang ‘menggiurkan’. Menurut Azyumardi Azra, yang demikian ini termasuk dalam kategori “pengkhianatan cendekiawan” karena ulama/kiai termasuk cendekiawan (Kompas, 25/06/2004, hlm. 6).
Akhirul kalam, bagaimanapun, di tengah kebisingan politik praktis antar kelompok saling berebut kekuasaan, diharapkan ulama dapat melakukan penyesuaian diri untuk menjalankan tugas sebagai penjaga keseimbangan masyarakat. Sebab sejarawan akan menjelaskan kepada masyarakat kejadian yang telah berlangsung ini agar generasi berikutnya dapat mengambil pelajaran yang baik bagi masa depan mereka.<::>
Kholilul Rohman Ahmad, Alumnus Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulungagung, Jatim; Pustakawan dan penikmat kebudayaan tinggal di Payaman, Magelang, Jawa Tengah
Keterangan foto: Sebuah tangan memegang handphone berfasilitas kamera sedang mengambil gambar para kiai sedang bai'at dalam acara Istighatsah, Deklarasi, dan Pelantikan DPW&DPC PKNU Se-Jawa Tengah di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Juli 2007.
Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/03/ijtihad-politik-ulama-sejarah-nahdlatul.html
No comments:
Post a Comment