10/08/2009
Judul: Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual
Penulis : Syaiful Arif
Penerbit : Koekoesan, Jakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : 330 Halaman
Peresensi : Muhammad Yunus*
Sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mungkin telah mengalami defisit politik. Setidaknya hal itu bisa dilihat dari berbagai kekalahan strukturalnya, sejak kegagalan pencalonan presiden pada Pemilu 2004, hingga terlepasnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari otoritasnya, pada Pemilu 2009 ini. Gus Dur seakan hilang dari peta politik nasional, dan kiprahnya tinggal sejarah yang diperingati.
Namun, membincang sosok yang sering terdaulat sebagai guru bangsa ini, tak sesempit politik praktis. Senyatanya, kebesaran cucu Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari ini tetap terasakan, dengan bukti seabrek tanya kritis dan harapan yang tetap tertumpu padanya, dalam konteks pencarian Indonesia alternatif. Hal ini beralasan sebab perjuangan Gus Dur di negeri ini tidak sebatas PKB. Perjuangannya, telah menjulur lama sejak negeri ini terhegemoni negara Leviathan Orde Baru.
Buku karya Syaiful Arif, santri Pesantren Ciganjur asuhan bertajuk Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif:Sebuah Biografi Intelektual, yang membuktikan hal ini. Buku tersebut bahkan mengcover Gus Dur tidak sebagai politisi, melainkan pemikir sosial yang mampu menggerakkan diskursus ilmu sosial transformatif. Jadi tesis utamanya adalah, jika pada era Orde Baru, Koentowijoyo memiliki ilmu sosial profetik, Cak Nur memiliki pembaharuan pemikiran Islam, Moeslim Abdurrahman memiliki Islam transformatif, dan Amien Rais dengan tauhid sosial, maka Gus Dur sebagai pemikir muslim telah menggerakkan ilmu sosial transformatif.
Hal ini merupakan penemuan baru dalam jagad penulisan pemikiran Gus Dur, karena buku ini berhasil menggali akar intelektualitas penulis Jurnal Prisma ini, bahkan sebelum beliau menjabat Ketum PBNU. Apa yang digagas Arif adalah satu tesa bahwa Gus Dur merupakan pioneer bagi diskursus teologi pembebasan yang pada dekade 1970 sedang menggeliat di Dunia Ketiga, guna mengimbangi hegemoni pembangunanisme. Tak ayal Gus Durpun terposisi berseberangan dengan ideologi negara tersebut, dan dengan cantik mampu mengolah keilmuan klasik Islam, sehingga membentuk suatu teori Islam transformatif yang bertujuan untuk perubahan sosial-politik.
Penulisan pemikiran dan praksis Gus Dur, sejak 1970 hingga 1990 ini terasa mampu menyajikan ulasan komprehensif atas intelektualisme Gus Dur. Kenapa? Karena yang dikaji bukan cabang pemikiran seperti Islam dan demokrasi misalnya, melainkan struktur politik (baik negara maupun kuasa pengetahuan) yang melatari pemikiran Gus Dur, dan bagaimana Gus Dur menanggapi latar politik tersebut. Hasilnya, kita bisa menemukan keutuhan; berpijak dari apa, struktur pemikirannya apa saja dan bagaimana, serta untuk membela apa, suatu pemikiran Gus Dur, terlontar.
Bagi publik politik, buku ini bermanfaat karena memberikan peta ulang ideologi di Indonesia, yakni developmentalisme Orde Baru, dan bagaimana Gus Dur menghadapi ideologi tersebut, berbasis kekayaan pemikiran Islam tradisional. Peta ulang ini penting, karena saat ini kita tengah mengalami pembuyaran ideologi, sehingga arah politik kita tiada jelas. Bagi kalangan intelektual, buku ini menyajikan ulasan ilmu sosial versi NU. Satu hal yang masih langka, karena di negeri ini, kalangan nahdliyin terlihat minim pergulatan dalam hal tersebut. Ilmu sosial NU mampu mengisi “celah lubang” bagi kekeringan ilmu sosial kita yang tak mampu berangkat dari tradisionalitas Islam Indonesia. Dalam buku ini, Arif berusaha menemukan mekanisme epistemik, bagaimana logika NU menggerakkan ilmu sosial untuk mengimbangi ilmu sosial negara Orde Baru.
Bagi kalangan NU, buku ini penting sebab NU sekarang –meminjam Arif- telah kehilangan Gus Dur sebagai supra-intelektual. Dengan kehilangan tersebut, NU tak mampu lagi mengelaborasi kekuatan kreatifnya guna menahbiskan diri sebagai oposisi kultural terbesar, vis a vis negara. NU pasca Gus Dur adalah NU politis, yang tak lagi diperhitungkan dalam carut politik nasional. Hal ini terjadi sebab NU tiada lagi memijakkan diri pada pemikiran, padahal pemikiranlah yang menjadi potensi terbesar bagi kaum sarungan ini. Melalui buku ini, warga nahdliyin bisa melakukan muhasabah, bagaimana NU melakukan peran idealnya bagi perjuangan masyarakat sipil, yang teramanatkan oleh Khittah 26.
* Peresensi adalah Mahasiswa Fakultas Ushuludin, UIN Jakarta
Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18870
No comments:
Post a Comment