06/04/2009
Judul Buku : Mengislamkan Kursi dan Meja; Dialektika Ulama dan Kekuasaan
Penulis : Muhammad Amin MS
Penerbit : Kerjasama Pustaka Pelajar (Yogyakarta) dengan YLKPN (Pekanbaru)
Cetakan : Pertama, Januari 2009
Tebal : 182 halaman
Peresensi : Supriyadi*
Ulama dalam perpolitikan di Indonesia bukanlah hal yang asing. Semenjak dahulu, peran ulama dalam mendirikan bangsa Indonesia ini memang perlu diakui. Tidaklah mengherankan jika ulama terlibat dengan urusan politik, atau bahkan ulama itu sendiri yang dengan sengaja terjun sendiri ke panggung politik sebagai tokoh utama partai politik. Sementara itu, sosok ulama adalah sosok yang dikenal dengan pemandu umat (Islam) karena kepandaiannya dalam hal keilmuan Islam. Ulama adalah pemimpin umat Islam, pewaris Nabi dalam menegakkan dan menjalankan perintah Tuhan.
Muhammad Amin MS dalam bukunya ”Mengislamkan Kursi dan Meja, Dialektika Ulama dan Kekuasaan” menguraikan dengan paparan yang nyata tentang perpolitikan di Indonesia yang sering kali melibatkan atau menggunakan peran ulama. Bahkan ulama itu sendirilah yang bermain politik dan menjadi tokoh utama dalam suatu partai politik. Kursi diartikan sebagai singgasana yang mana hal tersebut dalam dunia politik disebut dengan kekuasaan. Sementara meja mempunyai arti papan sebagai tempat berkas-berkas birokrasi yang mana menjadi urusan kenegaraan. Jika kursi dan meja tersebut dijadikan dalam satu istilah, kursi dan meja berarti kekuasaan dalam birokrasi politik. Sementara keikutsertaan ulama yang menjadi judul tersebut karena memang ulama mempunyai pengaruh dan daya gertak besar dalam hal tersebut.
Bukanlah hal asing jika ulama yang pada dasarnya telah memiliki umat (santri) yang banyak, mampu memberikan pengaruh kepada mereka sebagai umat karena kharismanya yang dianggap umatnya tinggi, terutama umat yang fanatik terhadap ulama tersebut. Selain itu, ulama adalah sosok yang terpandang di mata masyarakat, kharismanya melebihi lurah, camat, ataupun bupati sekalipun. Karena, tidak sedikti para calon lurah, camat, bupati, atau kepala desa sering melakukan sowan politik kepada para ulama dengan dalih meminta restu.
Ulama sebagai politikus sekarang ini menjadi hal yang biasa karena pada dasarnya, pendiri bangsa Indonesia pun banyak tokoh yang bergelar ulama sehingga perannya di dunia politik menjadi kewajaran belaka. Yang menjadi keresahan adalah bahwa ulama yang lalai akan statusnya sebagai ulama. Ulama yang seharusnya mempunyai karakter agamis, malah melupakan nilai-nilai moralitas keagamaan. Yang lebih parah lagi, menjual dalil-dalil kitab suci dengan harga yang murah hanya demi kepentingan partai politiknya. Padahal, dalil-dalil tersebut merupakan sakralitas dalam ajaran agama, bukan sesuatu yang bersifat profan. Dengan demikian, luntur pula sakralitas teks-teks keagamaan sehingga menjadi profanitas murahan.
Kehadiran sosok ulama hendaknya menjadi teladan bagi elit politik yang lain, juga kepada umat manusia di Indonesia khususnya. Ulama adalah sosok yang dikenal ‘alim (berlimu) dan mempunyai moralitas yang baik. Dengan kehadiran ulama seharusnya bisa mewarnai politik kekuasaan menjadi harmonis, bukan malah menambah kontras permusuhan antargolongan atau antarpartai. Hal ini yang seharusnya diperhatikan oleh ulama.
Sebenarnya yang dititikberatkan adalah peranan ulama dalam melakukan aktualisasinya di hadapan semua umatnya. Jika seorang ulama itu ikut andil dalam dunia politik, maka tidak lain adalah untuk menjadi figur dan teladan yang baik, entah itu bagi tokoh politikus yang lain atau masyarakat yang memandangnya. Namun jika ulama tersebut tidak mau berkecimpung dalam dunia politik, maka sewajarnya menjadi ulama yang sebenarnya. Artinya, ulama yang memang benar-benar mengasuh dan menuntun umat agar mendapat siraman rohani dalam menjalani kehidupan bersosial vertikal dan horizontal.
Belakangan ini, banyak ulama yang tidak mau terjun dalam politik. Namun anehnya, perilaku yang ditunjukkan kepada umatnya adalah sikap yang mengarah kepada politik. Misal, ketika persaingan menjadi kepada daerah, bupati, calon legislatif, atau yang lainnya, ulama yang seharusnya menjadi panutan malah memberi dukungan kepada salah seorang calon. Tentu saja hal ini merupakan permainan politik atau malah sekedar mencari popularitas belaka. Sungguh hal ini jauh dari moralitas dan etika keagamaan. Namun memang sering terjadi, para calon itu melakukan sowan politik kepada ulama dengan harapan ulama tersebut mampu menggerakkan umatnya. Dengan demikian, umat dari ulama tersebut condong dan mengarah kepada calon yang sowan ke ulama tersebut karena pengaruhnya.
Dengan demikian, citra ulama tidak sedemikian relevan dengan gelar yang disandangnya. Secara bahasa, ulama adalah bentuk jamak dari ‘alim yang berarti orang yang berilmu (dalam bahasa Arab). Maksudnya, orang yang berilmu dan mumpuni dalam khazanah kelimuan Islam. Namun ternyata, interpretasi tentang ulama kini berkembang lebih luas seiring banyaknya fenomena yang terjadi. Arti ulama bukan hanya sekedar orang-orang yang berilmu pada bidang keagamaan saja, namun juga berilmu pada bidang politik.
Dengan membaca buku ini, para pembaca diajak untuk meneropong pada kenyataan ulama yang ternyata mempunyai pengaruh besar dalam bidang politik. Pengaruhnya pun disandingkan dengan agama sehingga seringkali berdalil dengan argumentasi kitab suci. Padahal, kitab suci adalah sesuatu yang sakral. Sebenarnya, bukanlah hal yang tidak wajar jika ulama terjun ke dalam perpolitikan. Akan tetapi, menjadi hal yang tidak wajar jika ulama membawa nama agama demi kepentingan politiknya. Yang diharapkan dari keterlibatan ulama dalam urusan politik adalah islamisasi politik, bukan politisasi islam. Maksudnya, merubah cara kerja politik kotor menjadi cara kerja politik yang islami.
*Penulis adalah staf Pembimbing dan santri senior di Pondok Pesantren Krapyak, Yasalma, Yogyakarta
Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=16959
No comments:
Post a Comment