25/06/2009
Judul buku : Gus Mus; Satu Rumah, Seribu Pintu
Penulis : Taufiq Ismail dkk
Penerbit : LKiS dan Fak. Adab UIN Yogyakarta
Cetakan : 1, Mei 2009
Tebal : 290 halaman
Peresendi: Muhammadun AS*
Baru saja KH Musthofa Bisri, yang akrab dipanggil Gus Mus, mendapatkan gelar kehormatan berupa Doktor Honoris Causa bidang Peradaban Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 30 Mei 2009. Suasana begitu riuh begitu Gus Mus naik podium menyampaikan pidatonya di hadapan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga. Tidak hanya kaum akademikus yang datang, tetapi juga para seniman, budayawan, politisi, dan tentunya para santrinya dan kaum santri yang kagum karya dan pemikiran kiai-penyair ini.
Suasana riuh semakin menggema tatkala malam harinya Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Amin Abdullah, yang dikenal serius dan teoritikus, menjadi sosok periang, penuh canda tawa, dan humoris, terlebih ketika ikut serta membaca puisi bersama Gus Mus dan Emha Cak Nun. Pastilah ini suasana yang misterius bagi kaum akademikus. Karena setiap kali acara wisuda pastilah menghadirkan wajah yang resmi. Kehadiran Gus Mus menjadikan kaum akademikus menjadi santai dan membaur satu dengan yang lain.
Dunia Gus Mus memang dunia misterius. Inilah yang terekam dari berbagai kisah dan tanggapan para tokoh dalam buku bertajuk “Gus Mus; Satu Rumah, Seribu Pintu”. Buku yang memang dipersiapkan acara penganugrahan Dr. HC memang banyak mengupas sisi misterius dalam diri Gus Rembang ini. Setiap kesan yang meluncur dari pena para kawan karibnya selalu menghadirkan misteri baru yang belum terungkap. Satu persatu dari penulis membawa misteri dari Gus Mus.
Mengawali sisi misterius Gus Mus adalah M Imam Aziz yang menjadi pengantar buku ini. Mas Imam, pangggilan akrabnya, secara blak-blakan menjuluki Gus Mus sebagai sosok misterius. Sejak awal pembuka tulisan sampai merampungkan tulisannya, bagi Mas Imam, Gus Mus adalah misteri yang yang bergelayut dalam dirinya sampai sekarang. Khususnya melihat kepribadiannya yang kompleks dan sepak terjangnya dalam pergolakan di tubuh Nahdlatul Ulama’ (NU), Gus Mus dinilai sebagai sosok misterius. Gerak-geriknya kadang blak-blakan, frantal, tanpa tedeng, tetapi kadang juga “diam”, membisu, sukar ditafsirkan.
Dalam dunia tulis, Slamet Efendy Yusuf melihat sosok Gus Mus sebagaia misteri juga. Waktu itu, Slamet masih aktif di Majalah Arena IAIN Sunan Kalijaga. Ada yang mengirim cerpen, pengirimnya adalah M. Ustov Abisri. Dengan nama samaran (yang plesetan) ini, Gus Mus ingin membangun misteri dalam diri karyanya.
Misteriusitas Gus Mus juga terbaca dari tulisan-tulisan Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Ahmad Thohari, Syu’bah Asa, Jamal D Rahman, dan sebagainya. Dunia Gus Mus di pesantren yang dikenal khusyu’ dan tawadu’ sangatlah berbeda dengan dunia Gus Mus di luar pesantren, dimana beliau bisa bergerak dengan eklektik dan fleksibel dalam berbagai jala kehidupan.
Cak Nun menjuluki Gus Mus bisa menjadi air zamzam di tengah comberan. Yang dimaksud Cak Nun adalah Gus Mus mampu menjadi mata air yang sejuk dan menenangkan ketika dia harus aktif dalam gelanggang hidup yang pongah dan jengah. Air zamzam Gus Mus selalu hadir dalam setiap sepak terjang hidupnya. Walaupun kadang misterius yang dilakukan, tetap saja publik menerimanya sebagai mata air yang menentramkan, karena Gus Mus mampu menjadi ruh penyejuk yang ditunggu-tunggu pengagumnya.
Menurut Syu’bah Asa, Gus Mus bisa menerapkan pergaulan keislaman yang stel kendo. Islam yang ditampilkan selalu santai, sejuk, nyaman, dan menetramkan. Bervisi inklusif, toleran, dan harmonis. Gus Mus tidak menghendaki Islam yang stel kenceng. Islam yang dipraktekkan dengan amarah, otoriter, dan penuh intimidasi. Karena menekuni gaya ber-Islam yang stel kendo, Gus Mus selalu bisa diterima semua pihak. Termasuk dalam berbagai konflik di lingkungan NU dan lingkungan kiai, Gus Mus selalu ditempatkan sebagai penengah yang bijak.
Sementara di mata kaum akademikus, Gus Mus dinilai sukses mencipta karya tulisan dan karya kiprah di masyarakat yang sejuk, harmonis, dan toleran. Karya karya Gus Mus begitu dekat dengan spiritualitas, khususnya dekat dengan spiritualitas pesantren. Bukan sekedar spiritualis, tetapi Gus Mus juga menghadirkan kritik sosial yang berani dan menggugat. Inilah analisis yang disajikan Abdul Wachid BS, Aning Ayu Kusumawati, dan Maman S Mahayana.
Terlepas dari itu semua, bagi keluarga dan santrinya, Gus Mus adalah sosok kepala rumah tangga dan kiai yang sejuk dan demokratis. Putra-putrinya diberikan kebebasan menentukan pilihan hidup yang akan dijalani. Sekolah tidak harus di pesantren, boleh di sekolah umum. Terbukti anak pertamanya, Ienes Tsuroyya memilih sekolah SMA di Semarang, dan Gus Mus mengizinkan. Dalam memilih jodoh pun, Gus Mus mengembalikan kepada putra-putrinya.
Sementara sebagai kiai, Gus Mus sangat demokratis, tetapi sangat teguh memegang prinsip dan nilai kepesantrenan. Yahya C Tsaquf mengkisahkan bahwa ketika mau meminta bantuan kepada pejabat negara dan meminta tanda tangan sang paman, Gus Mus marah-marah. Gus Mus tidak ingin membangun pesantren dari dana-dana siluman yang tak jelas jalurnya. Sang ayah (KH Bisri Musthofa) dan sang kakak (KH Kholil Bisri) tidak mengajarkan demikian.
Segala pernak-pernik hidup yang melekat dalam diri Gus Mus, memang terus menjelma misteri. Karena ibarat rumah, tulis Hamdy Salad, Gus Mus memiliki seribu pintu. Setiap orang bisa masuk dan keluar dari mana saja yang disuka.
* Peresensi adalah pengagum Gus Mus, alumnus PP Sunan Ampel Jombang
Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18147
No comments:
Post a Comment