08/09/2008
Judul Buku: Gus Dur Garis Miring PKB (Kumpulan Tulisan Khusus tentang Gus Dur dan PKB)
Penulis: A. Mustofa Bisri
Penerbit: Mata Air Publishing
Cetakan: I, Mei 2008
Tebal: 137 halaman
Peresensi: Ahmad Shiddiq Rokib
Boleh dibilang, antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH A.Mustofa Bisri (Gus) Mus), ibarat dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Apalagi kedua tokoh tersebut memang lengket sejak menempuh studi ke Mesir hingga kembali ke Tanah Air, meskipun keduanya beda jalan dalam mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Gus Dur sibuk mengurus partai politik (Partai Kebangkitan Bangsa/PKB) sebagai instrumen. Sedangkan Gus Mus sendiri lebih banyak menyapa umat lewat tulisan, lukisan, dan pengajian. Namun, keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.
Ada banyak hal yang membedakan kedua tokoh ini. Salah satunya, Gus Dur lebih banyak melontarkan pernyataan kontroversial, sehingga menimbulkan pro-kontra, ada yang benci oleh sebagian orang sekaligus dipuji pengagumnya. Gus Mus yang bergelut dengan sastra yang identik dengan estetika (keindahan) dan kelembutan membuat kiai bersahaja selalu menjadi penengah atau mengakurkan orang yang bertikai, tidak terkecuali saat konflik menyerang PKB. Selain, itu sering kalangan yang berkonflik menyebut-nyebut namanya untuk segera “turun gunung” meredakan api yang membara.
Buku yang ditulis Gus Mus berjudul ”Gus Dur Garis Miring PKB, Kumpulan Tulisan Khusus tentang Gus Dur dan PKB” ini merupakan respons seorang kiai kesohor sekaligus pendiri partai berlambang bola dunia dengan dikelilingi bintang sembilan, terhadap konflik yang tak kunjung usai, meskipun sudah banyak makan korban atau lebih tepatnya adanya kepentingan tidak terakomodasi secara rapi. Bisa dibayangkan, sudah tujuh kali menyelenggarakan Muktamar, hampir semuanya menjadi catatan merah di tangan Gus Mus.
Ada yang menarik dari penuturan Pengasuh Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, itu tentang kemelut di PKB. Pertama, terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syura PKB untuk pertama kali di Surabaya dan masih menjadi Presiden RI dengan Dewan Tanfidznya Mathori Abdul Djalil. Sejak itulah PKB identik dengan Gus Dur atau sebaliknya Gus Dur identik dengan PKB, tepatnya Gus Dur menjadi institusi sendiri dalam partainya. Kedua, Gus Dur yang merupakan tokoh besar untuk PKB, sehingga mempersempit sekaligus tidak menyisakan ruang gerak bagi kader-kader PKB. Seperti, Mathori Abdul Jalil, Alwi Shihab dan yang terakhir Muahimin Iskandar menjadi “adanya seperti tidak adanya”.
Ketiga, lemahnya kader partai yang belum matang berorganisasi dan belum terbiasa berpartai, sehingga memperparah sekaligus memicu ketidakstabilan organisasi. Konflik yang terjadi antarelit di PKB, seharusnya bisa diminimalisasi kubu yang berseberangan dan tidak perluh mengikutsertakan pengikut yang tidak tahu apa pun.
Gus Mus sendiri telah mewanti-wanti untuk menyelesaikan persoalan yang tidak berujung secara kekeluargaan. Sebab, tidak akan menguntung pada PKB sendiri, utamanya kiai dan warganya yang mulai kebingungan, bahkan kecewa atas tingkah laku pembesar partai. Gus Mus sering melayangkan surat berupa masukan maupun teguran pada partai, meski pada diri Gus Mus sendiri harus mengorbankan perasan demi terciptanya tatanan yang harmonis dan mewujudkan tujuan awal dibentuknya partai yang harapkan menampung aspirasi warganya. Misal, surat yang ditujukan pada Pimpinan Partai berisi keresahan warga NU atas perilaku pinpinan yang sibuk bertikai dan kebijakan yang diambil seringkali menimbulkan keributan di bawah tanpa memberikan klarifikasi yang jelas. Dari klarifikasi tersebut, menjadi semacam jembatan pada tingkat akar rumput agar tidak meninbulkan pro-kontra antarpendukung.
Namun, disatu sisi, Gus Mus menjadi seorang romantisme sejati terhadap sahabatnya. Hal itu terlihat dari surat Gus Mus yang ditujukan pada Gus Dur, dengan maksud merindukan sosok yang dianggap selalu demokrat, egalitarian, dan romantis yang dibangun sejak kuliah di Mesir, berubah legal-formal lantaran jarak kekuasan, yang menurutnya mengurangi keakraban antara keduanya. Dengan sangat indah, Gus Mus menulis kata-kata, layaknya orang kasmaran dan tak lupa di sela-sela kalimat romantisnya menyelipkan pesan agar orang yang disayangi itu tidak terjebak pada bithanaah. Pasalnya, Gus Mus berpandangan, tokoh sebesar Gus Dur pasti akan dikerumuni banyak orang yang mempunyai kepentingan untuk diri sendiri. (halaman 123)
Kumpulan tulisan tentang Gus Dur dan PKB yang tersebar di berbagai media ini ditulis dengan gaya fimilar, mudah dicerna siapa pun, membuat orang yang membaca ingin melanjutkan kata demi kata dan judul demi judul. Demikian juga buku ini patut dibaca para politisi, simpatisan partai, dan insan akademis yang menaruh perhatian pada perjalanan sebuah partai besar. Di samping masih ada kekurangan yang tidak begitu subtansial seperti kesalahan pengetikan teks dan tidak ada tanggal penulisan yang jelas. Namun, patut mendapat apresiasi, hal ini membuktikan bahwa ia memang menaruh perhatian besar dan menyayangi Gus Dur dan PKB.
Meski demikian, tetap saja konsekuensi yang barangkali sangat disadari Gus Dur sendiri dari sikapnya yang tidak suka memendam sikap dan cueknya terhadap reaksi pro-kontra orang lain. Gus Dur pun menjadi tokoh kontroversial sejati yang dipuja sekaligus dalam waktu yang sama dibenci. Konsekuensi ini justru lebih merugikan pihak yang memuja dan membencinya, ketimbang Gus Dur sendiri, bukankah begitu, Gus ?
Peresensi adalah mantan Aktivis Ikatan Pelajar NU Sumenep, Madura, Jawa Timur, saat ini studi di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya
Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=14100
No comments:
Post a Comment