Friday, December 28, 2012

Gus Dur Mencapai Cita-citanya

Oleh: Syu’bah Asa

SUATU kali Abdurrahman Wahid marah-marah kepada seorang tokoh Islam. Masalahnya, seorang wartawan TEMPO mengadu kepadanya. Ia dimarahi tokoh itu, karena datang ke rumahnya dengan cara melompat pagar pekarangan yang terkunci setelah tidak mendapat cara lain untuk masuk. Ini terjadi pada akhir 1970-an, zaman ketika telepon belum populer, sedangkan si wartawan memang punya janji dengan si tokoh. Mendengar pengaduan itu malah Gus Dur yang tersinggung dan membela si wartawan. “Sok kenes! Keba­rat-baratan!” katanya, ditujukan kepada tokoh yang tidak mendengar kemarah­annya itu.

Kemarahan Gus Dur dikarenakan ia tidak terlalu menganggap serius perbuatan lompat pagar yang dilakukan dengan terpaksa itu, dibanding keperluan yang mendorongnya. Itu paling-paling, kan, kenakalan anak muda. Begitu saja kok marah. Repot-repot amat. Ini semua menurut cerita si wartawan.

Tetapi, itulah Gus Dur yang dikenal kawan-kawan di TEMPO: bersahabat, tidak formal, punya empati besar, cepat bereaksi, di samping luas perhatian dan banyak guyon. Di masa-masa itu, ketika TEMPO masih berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, sekitar akhir 1970-an sampai 1980-an, Gus Dur kerap datang untuk menulis kolomnya. Produktif sekali. Kalau tidak salah, yang satu belum dimuat, sudah datang yang lain. Andaipun terpaksa ada kolom yang harus kembali, saya kira dia juga tidak peduli. Repot-repot amat. Tapi, saya lupa menge­nai itu. Yang jelas, produktivitas Gus Dur membuat Goenawan Mohamad, Pe­mimpin Redaksi ketika itu, menyarankan kepada saya agar mengurus satu meja khusus plus mesin ketik untuk dia.

Gus Dur orangnya segar. Datang dengan gaya seperti selalu siap untuk ngobrol, pakai sandal, tidak pernah sepatu, pakai hem lengan pendek, tidak pernah pakai peci, apalagi dasi. Selalu punya lelucon yang membuat orang tergelak-gelak. Setelah ger-geran sedikit, baru ia menuju mejanya dan mulai mengetik. Sekitar dua jam kemudian ia mendatangi Goenawan, atau saya, menyerahkan tulisannya. “Ini. Terserah Mas Syu’bah.” Atau, “Terserah Mas Goen.” Sudah itu ia tidak peduli mau diapakan kolomnya: diedit, dibolak-balik, dikurangi, terserah. Repot-repot amat. Asal masih tetap pikiran dia, tentu saja. Biasanya Goenawan menaruh lagi kolom yang diberikan Gus Dur itu di meja saya. Tapi, kalau sudah dia sentuh sedikit-sedikit, ya, saya teruskan saja ke pracetak.

Hampir tiap minggu Gus Dur menulis. Ini, kemudian, diakuinya sendiri di satu wawancara televisi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekeluarga. Ada saja idenya. Juga ide yang bagi orang lain sering dianggap sepele, akan ia ke­mukakan dalam kalimat-kalimat serius, sehingga membuatnya penting. Kolom­nya tentang lelucon, misalnya, tentunya bisa dimasukkan ke situ. Karena pulang-pergi naik kendaraan umum, ia juga dapat ide tentang bus kota nomor sekian yang tiap hari Minggu mengubah trayek menjadi Kebayoran-Kwitang. Sopir bus itu tahu kebutuhan umat Habib Al-Habsyi yang tiap Ahad pagi berbondong-bondong ke pengajian. Lalu Gus Dur, dengan beberapa contoh lain, bicara dengan segar tentang “komersialisasi keberagamaan” dengan kedua pihak sama-sama setuju.

Ungkapan-ungkapan Gus Dur memang rata-rata menyegarkan. Judul seperti Menunggu Setan Lewat, misalnya, adalah asli dari dia dan bukan dari penyunting. Berpikirnya ringan tetapi amot, perbendaharaannya banyak, dan pengungkap­annya prosais. Hanya saja, karena rata-rata dikerjakan dengan cepat, tanpa selalu sempat memilih ungkapan yang efektif, terkadang karangan agak boros kata, dan itu mengaburkan barik (tekstur).

Sebaliknya, karena ide, atau unit pikiran kecil-kecil, sering banyak sekali, ia juga bisa agak melompat, mengira orang sudah paham, padahal diperlukan jem­batan — yang sering hanya dua-tiga kata. Betapapun, tulisan Gus Dur tidak termasuk yang ditangani, misalnya sampai ke tingkat “dikerjain”. Sekadar men­jaga bagaimana agar ketajaman pikiran dan analisisnya tidak dikaburkan oleh semak belukar kata. Kalau ternyata malah sudah beres dengan sendirinya, sudah.

Itu penting. Apalagi untuk penulis produktif dengan spektrum pemikiran yang luas seperti dia. Memang, lebih luas dari siapa pun. Kalau dibandingkan dengan Nurcholish Madjid atau Amien Rais, spektrum perhatian Gus Dur masih lebih luas. Tulisan-tulisannya mulai dari masalah-masalah sosial, politik, agama, bu­ruh, tani, dakwah, musik, sampai sepak bola—nasional maupun internasional.

Dan itu sesuai dengan keluasan ruang geraknya dan banyaknya komunitas yang dia masuki. Ia orang santri dari kalangan pesantren yang, sebagai orang intelek ilmu agama, punya lingkungan keilmuan Islam. Lalu, lingkungan ilmu­wan sosial dia masuki. Ikut seminar-seminar. Dia kan punya perangkat leori sosial, belajar ilmu sosial. Juga lingkungan pergerakan keagamaan dengan aktif di NU. Jadi orang LSM. Orang gerakan demokrasi dan hak asasi. Masuk ling­kungan antaragama. Sampai ke tingkat antarnegara. Tapi juga, sebelumnya, orang Taman Ismail Marzuki.

Ia bukan seniman, hanya kecenderungan humanioranya besar sekali. Bacaan novelnya, atau majalah budaya, paling tidak terbitan Timur Tengah atau terjemahan sana, dulu, waktu sekolah di Mesir, tidak bisa disamai intelektual mana pun yang bukan budayawan. Karena wawasannya pula ia dipilih menjadi salah satu ketua Dewan Kesenian Jakarta. Tentu, jabatannya di NU memperkuat kans­nya sebagai ketua di DKJ. karena kita kan senang kalau, ternyata, masyarakat ini bisa dibikin tidak terkotak-kotak.

Termasuk dalam perhatiannya yang luas adalah kegemarannya pada perkem­bangan politik berbagai negara, lengkap dengan ideologi-ideologi. Jangan-ja­ngan, inilah yang paling dia gemari, walaupun bukan yang paling banyak dia tulis. Sehingga, melihat kolom-kolomnya saja kita sebenarnya tidak heran kalau Gus Dur menjadi presiden. Mungkin ada benarnya, meskipun ini karena kita berpikir sekarang, sebetulnya dari kecil Gus Dur bercita-cita ingin jadi “sesuatu”, ingin jadi somebody yang berhubungan dengan kekuasaan. Tentu kita semua juga ingin jadi somebody, tapi kan tidak semua somebody punya kaitan dengan kekuasaan. Pada saya, misalnya, tidak.

Tapi, Gus Dur datang dari keluarga aktivis besar, dalam pengertian yang dekat dengan negara. Kakeknya termasuk pendiri Masjumi dan, kemudian, pendiri NU. Ayahnya menteri agama dan sangat terkenal di kalangan Islam. Dua-duanya pahlawan nasional. Yang saya tahu, keluarga besar Gus Dur umumnya berpenda­pat dia itu mestinya menjadi menteri agama, supaya ada yang meneruskan “warisan” ayah dan kakeknya.

Dan nanti akan kita lihat, Gus Dur sendiri, paling tidak sebagai aktivis, kalau bukan juga sebagai kolumnis, tidak bisa jauh dari kekuasaan. Ia selalu bergerak di dekat-dekat situ, meskipun oleh pemerintah waktu itu tidak dibolehkan men­jadi pemain. Ini bisa dibandingkan dengan para intelektual lain mana pun yang umumnya, memang, bermental swasta. Kalaupun hidupnya berhubungan dengan pemerintah, ya paling-paling makan upah, sebagai pegawai atau dosen. Gus Dur tidak pernah makan upah.

Kolom-kolomnya sendiri, sebagian, sudah mencerminkan antusiasmenya terhadap politik dan masalah kenegaraan. Tidak hanya Gus Dur yang menulis soal luar negeri. Tetapi, rasa-rasanya, hanya dia yang datang dengan ide lebih dahulu (dan itulah yang membuatnya menjelaskan apa yang sedang terjadi, dan bukan sebaliknya) dan menulis sambil seolah-olah berkata, “Mestinya kan be­gini. Repot-repot amat.” Karangannya bisa menyangkut negara apa saja, Timur maupun Barat.

la bukan ilmuwan spesialis, misalnya ahli negara tertentu. Pengetahuannya yang mendetail (misalnya saja tentang Israel mutakhir) merupakan hasil dari minatnya yang besar, dan ia menulis dengan gaya seakan-akan masalahnya ri­ngan saja. Jadi. soal seperti lelucon ia “perjuangkan” dengan kalimat-kalimat serius untuk diberi perhatian, sementara soal politik dan kenegaraan sering ia tulis dengan segar, khas seseorang yang yakin bahwa ia mampu. Ini karena pada dasarnya ia budayawan. Sekarang ini kita bisa berkata, ia budayawan (lebih dari agamawan) yang masuk ke dunia politik.

Karena itu, tidak heran ketika masuk Istana, menjadi kepala negara, ia tidak mmder atau kelihatan sebagai junior. Ia jenis tokoh yang “matang di luar”. Tidak lewat pendidikan formal, misalnya ilmu politik. Dan seperti pernah dikatakan Munawir Sjadzali kepada saya waktu beliau masih menteri agama, orang itu “tidak punya obsesi gelar”. Itu benar. Gelar K.H. pun bukan dia sendiri yang pasang. Padahal, setahu saya Gus Dur tidak pernah mengajar ngaji kitab. Kan “Gus” itu panggilan putra kiai.

Jadi, Gus Dur itu hanya membaca, mendengar, diskusi, membaca, mendengar, diskusi, sambil ketawa-ketawa. Waktu sekolah di Mesir pun, saya bilang tadi, bacaannya novel. Sekolahnya sendiri entah lulus entah tidak, nggak pentinglah. Ada yang cerita, pernah ia naik bus ke sekolah, tapi waktu bus berhenti dekat sekolah, ia tidak turun, karena sebenarnya ia mau nonton. Saya pernah mende­ngar cerita yang hampir seperti itu tentang Bung Karno, entah benar, entah tidak. Katanjga, waktu dibuang Belanda ke Digul, kalau Bung Hatta kan kerjaan­nya membaca. Kalau Bung Karno tidak. Mancing.

Tapi, Gus Dur membaca. Dan banyak. Matanya saja sampai rusak. Mungkin lebih banyak membaca daripada Bung Karno. Apalagi dibanding Pak Harto. Habibie juga membaca, saya kira. Tapi, saya yakin dengan bahan yang lebih terbatas. Dalam buku otobiografi Deliar Noer dituliskan, waktu Pak Deliar me­wawancarai Kiai Wahid, ayah Gus Dur, untuk keperluan disertasinya, ia melihat anak kecil pakai kacamata asyik membaca di lantai. Mungkin, kata Deliar, itu Abdurrahman Wahid.

Tapi, Gus Dur bukan pembaca tipe anak sekolah, yang hanya membaca buku yang ditentukan guru atau yang ada dalam disiplin ilmu tertentu. Gus Dur mem­baca semua yang menarik dia, kalau perlu karcis bioskop dia baca. Dari situ ia dapat ide (lalu ketawa-ketawa). Ia membaca bagian yang penting-penting. Kan, zaman sekarang kita membaca buku dengan scanning atau skimming atau lewat indeks. Jadi, bisa banyak. Kecuali membaca sajak, lho, atau novel. Mana ada novel pakai indeks.

Kecerdasannya menonjol. Cepat menangkap sesuatu dan menentukan sumber masalah. la kerap berangkat dari asumsi dan akumulasi pengetahuan yang dia punya dan, memang, analisisnya pada umumnya tepat. Tentu bukan tidak pernah keliru. Ketika ia menulis tentang Filipina, TEMPO, beberapa hari kemudian tulisan yang bagus itu ditebang oleh Mahbub Junaedi di harian Kompas. Mahbub adalah kolumnis dengan dukungan sistem kliping yang baik, seperti Pater Brouwer. Waktu itu Goenawan berkala kepada saya, kira-kira, “Bagaimana, ya, cara­nya menasihati Gus Dur supaya lebih memperhatikan data. Orangnya sangat pintar, cuma nggak begitu peduli.” Dua hari kemudian, waktu saya singgung tulisan Mahbub itu, Gus Dur enteng saja menanggapi: “Ah. kita bicara ini, dia bicara itu.”

Saya kira-kira paham juga yang dimaksud Gus Dur dengan “bicara ini, bicara itu”. Memang ada benarnya. Hanya, kalau mau mencari kelemahan Gus Dur, kelemahan itu ada pada hal-hal kecil. Bisa termasuk data teknis, meskipun ia orang yang akrab dengan perpustakaan. Percakapan saya dengan dia itu sendiri berlangsung di perpustakaan — dan perpustakaan TEMPO, kan, cukup bagus. Gus Dur ke perpustakaan mencari ide, menimba, atau mengecek pikiran atau gagasan. Tokoh seperti dia kan suka ide-ide segar, termasuk yang bagi banyak orang terasa menyentak. Misalnya, yang terakhir, kata-katanya di perayaan Cap Go Meh bahwa sekarang inilah saat kita mengembangkan perbedaan. “Makin berbeda kita, makin jelas di mana titik-titik persatuan kita.”

Itu pikiran besar — kalimat orisinal — yang abstrak, tampaknya, tapi bisa mempengaruhi kebijaksanaan atau, jelas, akan sejalan dengan keputusan-keputusan yang akan diambil selanjutnya. Yang seperti itu dari Gus Dur banyak. Nah, para pembantunyalah, sekarang, yang harus lintang-pukang menyuplai sang presiden dengan hal-hal teknis, termasuk data, apa saja, agar “kebesaran” itu tidak tertumbuk dengan data atau dengan info yang tidak benar. Dokter lang­ganan saya, kebetulan keturunan Cina, sehabis mendengar dua-tiga pidato Gus Dur yang pertama, bilang, “Itu orang jenial, bukan, Pak?” “Iya, Bu. Ia salah satu putra terbaik kita.”

Perjalanannya ke kursi presiden itu sangat cepat. Bikin partai, kampanye se­dikit, terus jadi presiden. Begitu. Kecuali kalau jabatannya sebagai pemimpin NU, juga di Forum Demokrasi, sudah kita pandang sebagai kegiatan politik. Pendapat Dawam Rahardjo, misalnya, sejalan dengan itu. Suatu kali saya sendiri diajak Gus Dur ke Jawa Timur. Berdua kami berkeliling dari satu kiai ke kiai lain, dari satu pesantren ke pesantren lain. Juga beberapa famili yang menjadi pejabat di daerah.

Misalnya, kami menginap di satu kabupaten yang bupatinya kemenakannya. Biasanya mereka mengumpulkan sejumlah orang untuk menyambut cucu Hadratusy Syaikh (Hasyim Asy’ari, red.) itu, tapi yang datang tidak banyak. Kan Gus Dur belum terkenal. Di Lamongan, misalnya, kalau tidak salah cuma sekitar 40 orang. Dalam kesempatan seperti itu biasanya Gus Dur bicara, lalu menyuruh saya meneruskan. Sudah itu tanya-jawab. Dia yang jawab.

Saya berpikir, seakan-akan Gus Dur sedang mencari atau mengurut mata-mata rantai yang lepas-lepas, sambil bersilaturahmi. Kan dia belum begitu lama pulang dari Irak. Dia banyak bertanya tentang famili atau kenalan yang berada di sini atau di sana, jadi apa dia sekarang, bagaimana posisinya, pengaruhnya, keluarganya, dan seterusnya. Gus Dur sedang akan memakai jaringan yang sudah ada, yang bisa juga dari warisan, dengan maksud mengaktualkan kembali jaring­an itu dengan dirinya sebagai pemain.

Saya mencatat, perjalanan kami berdua itu berada dalam kerangka perjalanan Gus Dur sendiri, tahap awal, untuk naik ke atas. Tidak lama kemudian dia akan masuk ke dalam jajaran kepengurusan PB Nadlatul Ulama, kalau tidak salah, mula-mula sebagai wakil katib (sekretaris). Kami juga mengunjungi Kiai Ahmad Siddiq (almarhum). Malahan Gus Dur meninggalkan kami berdua agak lama. Dan nanti kita akan lihat bahwa dalam soal kembalinya NU ke Khitah 1926 pada Muktamar Situbondo 1984, yang berdiri di belakangnya tak lain kedua tokoh itu: Gus Dur dan Kiai Siddiq. Dari situ Gus Dur melesat ke atas.


*Tulisan diambil dari Pengantar Buku Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO (2000).
Syu'bah Asa (1941-2001) adalah esais budaya, aktor teater dan redaktur senior TEMPO.

Tuesday, December 25, 2012

Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

KASUS “Fatwa Natal” dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghebohkan juga. Lembaga itu didesak agar “mencabut peredaran” fatwa yang melarang kaum muslimin untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain.

Ini sungguh merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI. Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah.

Padahal, masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI menggunakan terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para ulama umumnya? Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI mengeluarkan fatwa seperti itu, karena memang masih demikianlah pengertian para ulama sendiri? Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang harus dipergunakan oleh MUI?

Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia menyangkut penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip keagamaan yang sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir keagamaan kaum muslimin.

Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghubung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa memerlukan kontak ke luar), sudah tentu sangat gegabah untuk diharapkan dapat berfungsi demikian. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang memberikan keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah kepada kaum muslimin.

Tidak lebih dari itu. Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai “tidak bersifat operatif dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan Majelis-majelis Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu merumuskan sendiri pedoman pengambilan keputusan atas nama umat Islam, mengapakah bukan tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan “perwakilan” di dalamnya?

Main Mutlak-mutlakan Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status keputusan yang dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan kepada siapakah ia selalu harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur dicaci maki pihak yang terkena).

Bagaimana halnya dengan ujung persoalan “Fatwa Natal”? Apakah lalu akan keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa sama sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu Hindu, haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya tertulis kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!

Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari seperangkat postulat yang main mutlak-mutlakan dalam pemikiran keagamaan kita.

Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif seperti itu. Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah mencuri-curi perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai di tempat perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.

Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas tentang wilayah “kajian” (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut pandangan agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut pandangan agama, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan kemiskinan (haram, halal, mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga di bawah? Bagaimana pula kaum muslimin seyogianya bersikap terhadap ketidakadilan, terhadap kebodohan?

Jawabannya tentulah harus terperinci dan konkret, jangan cuma sitiran satu dua hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang kubur saja. Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus “Fatwa Natal”, yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri?

Kolom TEMPO, 30 Mei 1981

Thursday, December 20, 2012

Al-Tawassuṭ wa-l I‘tidāl: The NU and Moderatism in Indonesian Islam

Burhani, Ahmad Najib. 2012. "Al-Tawassuṭ wa-l I‘tidāl: The NU and Moderatism in Indonesian Islam". Asian Journal of Social Science, 40 (5-6): 564-581. 

Abstract
Moderate Islam is a paradox. In the United States, Muslim intellectuals and activists use this term with super caution and reservation, avoid it when possible. In contrast to that, their counterparts in Indonesia enthusiastically and proudly claim to be the champions of moderate Islam. The question is why those intellectuals and activists from the same religion but coming from different continent and type of country responded the idea of moderate Islam differently, if not contradistinctively. Given that this term is commonly used as a translation of Qur’anic term umma wasaṭ, it is also important to ask the meaning of this term in Islamic history, how Muslim exegetes throughout Islam history conceptualise umma wasaṭ? And finally, how Indonesian Muslims define moderatism after the 9/11 and what are the criteria of moderate Islam in their views? By analysing the concept of moderate Islam as adopted by the Nahdlatul Ulama (NU), the largest Islamic movement in Indonesia, this article shows that the meaning moderate in Indonesia is more theological, while in the US it is more political. Moderate Islam in Indonesia is more related to the doctrine of Aswaja, while in the US this notion has more connection with George W. Bush’s ‘war on terror.’


Affiliations: 1: University of California Santa Barbara

Available at: http://booksandjournals.brillonline.com/content/10.1163/15685314-12341262