Friday, June 15, 2012

Pakai Pisau Asing, Tusuk Bangsa Sendiri

Gatra, Friday, 15 June 2012 00:02

Kritik Hasyim Muzadi atas tudingan intoleransi agama di Indonesia dari Dewan HAM PBB mendapat perhatian luas. Sebagai figur berpengaruh, sikap Hasyim dinilai jitu dan tepat mewakili suara mayoritas diam (silent majority). Ia menyangkal memberi angin kepada gerakan garis keras.

Rilis KH Hasyim Muzadi ini beredar cepat ke berbagai media cetak, online, jejaring sosial, dan beberapa grup BlackBerry Messenger, pekan pertama Juni ini. Ketua Umum PBNU 1999-2009 itu merespon rekomendasi Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, 23 Mei lalu, tentang intoleransi agama di Indonesia. "Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun setoleran Indonesia," tulis Presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) itu.

Hasyim menuding intoleransi agama di beberapa negara Eropa lebih buruk daripada di Indonesia. "Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss, yang sampai sekarang tidak memperbolehkan menara masjid. Juga lebih baik dari Prancis yang masih mempersoalkan jilbab. Indonesia pun lebih baik dari Denmark, Swedia, dan Norwegia, yang tidak menghormati agama, karena di sana ada Undang-Undang Perkawinan Sejenis," Hasyim menambahkan.
Sekretaris Jenderal International Conference for Islamic Scholars (ICIS) itu juga memberi catatan pada beberapa kasus aktual yang kerap dijadikan indikasi intoleransi: Ahmadiyah, GKI Yasmin Bogor, penolakan diskusi Irshad Manji, dan konser Lady Gaga. Tentang Irshad Manji dan Lady Gaga, Hasyim menyatakan, "Bangsa mana yang mau tata nilainya dirusak? Kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya untuk kebanggaan intelektualisme kosong."
Banyak komentator di jejaring sosial memberi apresiasi. Ada pula yang menambahkan dua bukti lain keunggulan toleransi agama Indonesia: hari besar enam agama jadi hari libur nasional dan pendidikan enam agama jadi kurikulum sekolah. Di Barat dan Timur Tengah, hari besar agama hanya untuk agama mayoritas.

Sebagian komentar memberi catatan minor. Hasyim dinilai menutup mata atas pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah dan diskusi Irshad Manji. "Saya juga anti-kekerasan," Hasyim merespons. "Saya yang pasang badan mencegah FPI menyerang gereja di Pandaan. Saya nggak hanya bicara di media, juga turun lapangan. Tapi nggak mungkin semua saya tulis dalam rilis singkat itu."

Untuk mendalami pandangan Hasyim tentang potret toleransi agama di Indonesia dalam komparasi internasional, wartawan Gatra Asrori S. Karni mewawancarai Hasyim yang sedang berada di rumahnya, kompleks Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur via telepon, Selasa pagi lalu. Berikut petikannya:

Apa yang mendorong Anda menulis rilis itu?
Rekomendasi Dewan HAM PBB yang membuat saya menulis pernyataan itu. Dengan PBB menyerang Indonesia, berarti masalah sudah dalam. Kalau ndak ada sikap PBB, saya ndak bikin tanggapan, cukup diatasi secara lokal. Kalau PBB sudah campur tangan, apalagi menunjukkan kasus-kasusnya, pasti ada laporan dari sini. Sebagai anak bangsa, saya harus meluruskan.

Apa yang keliru dalam laporan dari lembaga internasional di Indonesia?
Kita menyayangkan lembaga di Indonesia yang bekerja untuk kepentingan internasional, tapi merugikan bangsa sendiri, dengan menyetorkan borok-borok bangsa ke internasional supaya bangsa kita dipukul. Itu tidak nasionalis. Kalau lembaga itu berbuat untuk kebaikan Indonesia di mata internasional, itu yang benar.

Kemendagri perlu me-review, mana lembaga asing yang bermanfaat untuk Indonesia ke dunia internasional dan mana yang hanya menjadi agen kepentingan internasional. Itu bisa ada di banyak sektor. Tidak hanya HAM, bisa ekonomi, politik, agama, dan sebagainya, untuk memperlemah posisi Indonesia di mata internasional.

Khusus potret toleransi agama di Indonesia, apa catatan Anda?
Saya ini di Indonesia bisa disebut sebagai pemadam kebakaran konflik lintas agana. Di mana pun ada konflik lintas agama, saya datang. Sebagai Presiden WCRP, itu kewajiban saya. Saya datang ke Ambon, NTT, Bogor, Solo, Bekasi, Pandaan (Pasuruan), Batu, dan Malang. Alhamdulillah, semua selesai, kecuali kasus GKI Yasmin Bogor. Seluruh kegiatan saya merukunkan konflik agama alhamdulillah berhasil. Sampai kasus HKBP di Sumatera Utara, saya membantu menyelesaikan. Tapi mentok dalam kasus GKI Yasmin.

Mengapa kasus GKI Yasmin tidak selesai?
Saya sudah berkali-kali ke Bogor bertemu berbagai pihak. Saya bilang ke GKI, kalau begini, ada masalah politisnya, selain masalah hukum. Bagaimana kalau saya mediasi? Mereka tidak mau. Saya jadi terkejut setelah ke Polandia, ternyata Indonesia diserang soal kasus GKI Yasmin. Mereka iuran untuk membantu GKI Yasmin. Saya diberitahu Menteri Agama, ada utusan dari Amerika Serikat, keturunan India, mempersoalkan GKI Yasmin.

Saya hanya berpikir, kenapa harus menggunakan kekuatan internasional untuk menekan bangsa sendiri. Ini yang saya nggak suka, gitu lho, Mas. Saya tawarkan diri untuk mediasi, ditolak. Mungkin saya dianggap ecek-ecek. Saya berdiskusi dengan Menag. Kesimpulan saya, GKI Yasmin memang tidak ingin menyelesaikan masalah. Maunya internasionalisasi masalah. Kalau begitu, ya, semakin sulit.

Apa kata kunci kasus-kasus lintas agama yang bisa Anda mediasi penyelesaiannya?
Kata kuncinya, mereka bersengketa masalah agama saja. Setelah masalah agamanya diredakan dengan saling pengertian antartokoh, maka selesai. Tapi, kalau ada masalah tambahan di luar konflik agama, ini yang susah. Sebagian besar kasus yang saya mediasi itu persoalan pendirian gereja atau mau diserbu FPI. Yang menghadang FPI supaya tidak menyerbu gereja juga saya.

Berkembang anggapan, justru Anda pembela FPI?
Salah. Waktu FPI dikejar-kejar mau dibubarkan, saya memberi nasihat, "FPI, sampeyan harus berhenti dari kekerasan, karena kekerasan itu proses bunuh diri untuk Anda sendiri." Alhamdulillah, selama enam bulan reda. Ndak tahu kalau kemudian kambuh. Saya di Malang dan Surabaya berkali-kali menghentikan serangan FPI ke gereja. Saya pernah menyelamatkan gereja di Pandaan, Pasuruan.

Saat itu (April 2006), sekelompok anak FPI mau menyerbu sehabis Jumatan. Saya sehabis Jumatan persis sudah di gereja itu. FPI juga pernah berencana menyerang gereja di Batu, Malang. Saya berada di tengah jalan yang mereka lalui. FPI, kalau tahu saya, ndak jadi nyerang, Mas. Saya itu orang yang berani bicara di tengah-tengah orang garis keras dan marah-marah kepada mereka.

Waktu saya membela habis-habisan Kristen, mereka (pengkritik Hasyim) diam saja. Sekali saya menyentuh Ahmadiyah dan GKI Yasmin, saya dibilang pembela FPI. Kalau saya membela minoritas, nggak teriak-teriak di media saja, Mas, saya juga turun ke lapangan. Saya tidak membela FPI-nya. Saya membela kepentingan negara secara keseluruhan dengan mencegah penggunaan tangan asing untuk memukul kepala bangsa sendiri.

Pada kasus Ahmadiyah, Anda menyebut akarnya pada pandangan Ahmadiyah yang menyimpang, bagaimana dengan penyerang masjid Ahmadiyah?
Harus dipahami, saya paling mengutuk kekerasan terhadap Ahmadiyah. Kesalahan mereka yang menyerbu Ahmadiyah juga sama. Tapi saya harus memberitahu umat bahwa ajaran Ahmadiyah menyimpang. Kalau ajaran menyimpang, cara membetulkannya bukan dengan merusak masjid, melainkan dengan meluruskan paham keagamaan melalui dakwah.

Kekerasan tidak bakal menghentikan Ahmadiyah. Harus diluruskan secara dakwah. Mungkin mereka orang terpinggirkan atau butuh santunan. Itu bisa menjadi pekerjaan baru bagi kepala daerah dan masyarakat. Cuma, saya juga tidak senang kenapa orang asing cuma ngurusin Ahmadiyah, padahal yang menyelewengkan ajaran bukan hanya Ahmadiyah. Menurut saya, karena Ahmadiyah ada unsur internasionalnya.

Solusi Anda agar Ahmadiyah pindah agama apakah mutlak?
Itu salah satu. Kalau dia jadi agama sendiri, pasti reda. Di London itu, kalau saya bertemu dalam dialog interfaith, unsur Islam sendiri, unsur Ahmadiyah sendiri. Dan Ahmadiyahnya mau dipisahkan dari Islam.

Pemerintah juga harus seimbang. Kekerasan dengan dalih apa pun harus dicegah. Tindakan pemerintah mencegah kekerasan memang kurang, Mas. Pemerintah harus tegas. Kalau FPI nggak suka Ahmadiyah, minta ke pemerintah, jangan merusak masjid.

Saya khawatir, selain akibat kesalahan teman-teman garis keras, juga ada penyusupan. Setiap gerakan massa dalam konflik sangat rawan penyusupan dan pembelokan arah. Maka, sebenarnya tidak perlu gerakan massa.

Penyusupnya dari mana?
Ini dugaan saya, dari kelompok ateis, orang yang tidak menyukai semua agama. Dia dengan mudah menjadi Islam, sorenya jadi Kristen, besok paginya jadi Buddha. Dia bisa enak saja, wong dia nggak percaya Tuhan. Dia mendorong konflik lintas agama untuk justifikasi bahwa agama tidak menyelamatkan kemanusiaan. Gerakan ini harus dicegah. Caranya, jangan bikin keributan.

Dari perbandingan internasional, Anda melihat kondisi Indonesia relatif baik?
Ya. Misalnya ada konflik dalam pendirian gereja, kan bisa diselesaikan, minus GKI Yasmin tadi. Kalau nggak ada masalah sama sekali, ya, nggak mungkin. Yang penting, masalahnya bisa diselesaikan. Jangan hanya kesulitan pendirian gereja yang disorot. Masjid di Kupang juga ditolak masyarakat dan DPRD. Di Papua (Manokwari), masjid didemo. Semua harus dilihat secara komprehensif. Saya ingin bangsa ini menyadari kepentingan bangsanya. Jangan parsial mengatasi masalah. Paling bahaya kalau menusuk bangsa sendiri memakai pisau asing.

Anda juga berpengalaman mengunjungi sejumlah negara yang umat Islamnya minoritas.
Ya. Di negara yang Islamnya minoritas, umat Islam juga mendapat perlakuan isolatif. Ada pembatasan-pembatasan. Cuma, intensitasnya berbeda. Ada yang tinggi dan rendah. Pembatasan itu variatif, mulai lunak sampai keras. Paling lunak di Swiss. Menara masjid ndak boleh. Itu undang-undang lho, Mas. Berarti disengaja, bukan accident.
Di Roma boleh mendirikan masjid, tapi jangan lebih tinggi dari Saint Peter's Basilica. Saya sudah lima kali ke Vatikan, jadi paham. Kalau di daerah sekuler murni seperti Denmark, Austria, dan Norwegia, masalahnya tidak hanya pada minoritas. Seluruh agama harus dipisahkan, sehingga tidak boleh undang-undang diganggu dengan alasan agama. Katolik dan Kristen juga dirugikan oleh negara.

Apa pesan khusus Anda pada kaum muslim di negara minoritas Islam?
Selama saya ketemu kaum muslimin di berbagai negara, terutama Eropa dan Amerika, saya selau bilang, "Anda tidak dituntut melakukan sesuatu di luar kemampuan Anda." Kalau keadaan sulit, ya, ibadah saja, belajar yang baik. Tidak usah melibatkan diri pada konflik sosial dan politik dan tidak usah mengganggu sistem negara itu.

Ada negara yang umat Islamnya menderita karena umat Islam sendiri. Misalnya di Filipina, Islam minoritas, tapi mau berontak. Memberontak itu bukan kewajiban agama. Itu dimensi politik. Yang dimensi agama adalah ibadah, pendidikan, dan sosial berdasarkan tauhid. Selebihnya kondisional. Saya berkali-kali ke Thailand Selatan dan pernah ketemu Nur Misuari di Filipina. Saya bilang, Anda ini mau beragama atau mau jadi kepala negara.

Apa rekomendasi Anda pada penyelenggara dalam pemeliharaan toleransi agama?
Pertama, secara ideal kembali pada Pancasila. Bahaya laten yang mengancam Pancasila itu saat ini ada tiga: neoliberal, neo-ateisme, dan neo-Kartosuwiryo (pendukung negara Islam). Tarikan tiga sudut itu tidak akan pernah berhenti, lalu saling memanfaatkan. Kedua, pemerintah segera menyusun konsep tentang visi HAM. Apakah humanisme seperti pandangan Ghandi, my nationality is humanity, atau westernisme, ukurannya dari Barat semua, atau Indonesianisme.

HAM harus menopang kreativitas dalam mengangkat ideologi, nilai, norma, hukum, dan kepentingan Indonesia. Kalau tidak, HAM akan menjadi monster yang membongkar tata nilai, tata budaya, dan tata hukum Indonesia. Ketiga, kalau menghadapi kebenaran dan kezaliman, yang tegas saja. Kalau ragu-ragu, akhirnya rusak semua.

Profil:
Nama                         : Ahmad Hasyim Muzadi
Tempat & tanggal lahir : Bangilan, Tuban, Jawa Timur, 8 Agustus 1944
Ayah & Ibu                 : H. Muzadi & Hj. Rumyati
Istri                            : Hj. Muthomimah
Anak                          : Enam putra dan putri

Jabatan :
Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang, Jawa Timur dan Depok, Jawa Barat Presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS) Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 1999-2009 Calon Wakil Presiden dalam Pemilu 2004 Anggota DPRD Jawa Timur Fraksi PPP (1984-1987)

Pendidikan:
Doktor Honoris Causa IAIN Sunan Ampel Surabaya (2006) Sarjana IAIN Malang (1964-1969) Pondok Pesantren Sarang, Lasem, Jawa Tengah (1963) Pondok Pesantren Senori, Tuban, Jawa Timur (1963) Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (1956-1962) SD - SMP di Tuban, Jawa Timur (1950-1956)

Retrieved from: http://www.gatra.com/nasional-cp/1-nasional/14148-pakai-pisau-asing-tusuk-bangsa-sendiri


Wednesday, June 6, 2012

KH Hasyim Asy’ari, Sang Penjaga Islam Tradisional

Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’arie, bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.

Keturunan Raja Pajang
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).

Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.

Berikut silsilah lengkapnya. Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)

Pendidikan
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.

Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Kesan Akhlak dan Kecerdasan
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.

Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”

Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Perjuangan dan Penjajahan
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.

Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.

Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.

Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.

Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.

Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.

Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.

Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.

Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Mendirikan Benteng Islam Tradisional
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.

Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Kisah Pendirian Nahdhatul Ulama’
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.

Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.

Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.

”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.

Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).

Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.

Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Rep/Red: Shabra Syatila
Sumber: masphi.blogspot
Retrieved from http://www.fimadani.com/kh-hasyim-asyari-sang-penjaga-islam-tradisional/

Monday, June 4, 2012

The constrained place of local tradition: the discourse of Indonesian Traditionalist ulama in the 1930s

Feillard, Andree. 2011. The constrained place of local tradition: the discourse of Indonesian Traditionalist ulama in the 1930s. In Michel Picard and Rémy Madinier (eds.). The politics of religion in Indonesia: syncretism, orthodoxy, and religious contention in Java and Bali. Abingdon, Oxon: Routledge.pp. 48-70.

The passage from Hinduism to Islam in the late fifteenth and early sixteenth centuries is commonly presented in Indonesian chronicles as having been the result of a smooth process, underlining continuity and compatibility rather than rupture and confrontation. This is also the way Indonesia’s largest Islamic organization, the Nahdlatul Ulama, relates Java’s Islamization...

The ‘wisdom’ of the saints (wali) reputed to have Islamized Java in the sixteenth century was their ability to adapt to the feelings and ways of life of the people. This may have been, Aboebakar suggests, a ‘tactic’ not to frighten the Hindu rulers and their people. This questioning of the wali’s ultimate intention is quite interesting: if such is the case, could today’s ulama not ask how much accommodation they should still allow, four centuries later, after Islamization has progressed significantly?

One thing, however, is often forgotten: both Reformists and Traditionalists see Islamic law as binding and both hold as ‘blameworthy’ associationism (shirk), i.e. wrongly giving to others than God faculties which only belong to God. Concretely, incense for offerings, Javanese keris, and parts of gamelan, for example, are among the forbidden items found in pre-Islamic rituals. It is the degree of preoccupation and the effort towards purification which vary, the Traditionalists being generally more accommodative than the Reformists to local traditions, in particular toward the saints cult which was partly Islamized (Chambert-Loir and Guillot 1995: 244).

How accommodative the Javanese ulama (kiai) were is difficult to ascertain because of so many variations. Tensions have been described that reveal a complex trilateral relationship between Javanism, Reformist and Traditionalist Islam.

The prominent historian also notes a decrease in tolerance towards Javanism in the twentieth century, and in particular since independence in 1945.5 The events triggering this decrease, he writes, were mainly the Madiun affair of 1948, the political competition exacerbated by the 1955 elections, and the 1965 communist divide.

For the period of the New Order, Hefner has revealed the Nahdlatul Ulama’s strongly oppositional relationship to Javanist Islam in the region of Pasuruan, East Java (Hefner 1987: 533–7; 1990: 197). In the months following September 1965, many Javanists were killed by Muslim youth groups from NU strongholds.6 Guardian spirits (danyan) cults were attacked, pressures increased on Javanists, regarded as heathens, and dakwah (predication) activities focused on countering adat custom, as part of a rather successful Islamization programme with the support of some local authorities (Hefner 1987: 544–6).

Later, in the late 1980s, a Traditionalist current of thought emerged, calling for a return to indigenous culture (pribumisasi), arguing in favour of maintaining Javanese rather than Middle Eastern aesthetics. For example, maintaining a Javanese aesthetic in mosque architecture and using the national Indonesian language in  day-to-day greetings instead of Arabic, thus countering the so-called trend of ‘Arabization’ (Arabisasi) (Feillard 1995: 200–3, 280). The Reformist-minded Muhammadiyah followed suit in the 1990s, albeit more timidly (Mulkan 2000; Thoyibi et al. 2003; Zakiyuddin and Jinan 2003).

Many questions remain as to the relationship between Traditionalist/orthodox ulama and Javanist tradition before independence, although it seems that Islam had already progressed by then in Javanist areas, to the NU’s advantage (Hefner 1990: 196–7). If indeed there was, as Ricklefs suggests, an ‘absorption’ of established kiai and zealous haji in the mid-1950s, when did this movement start? Can we trace back this growing divide between Traditionalists and Javanists exposed clearly after 1948, 1955 and 1965? This
question is essential in comprehending today’s ‘pribumisasi’ current of thought: is it a natural child of NU’s earlier ‘accommodative stance on Javanism’?

This chapter sheds some new light on this delicate question by examining the ulama’s stance on local pre-Islamic tradition in the 1930s, in reports in one of Nahdlatul Ulama’s official publications, the bi-monthly Berita Nahdlatoel Oelama (BNO, ‘News of the Nahdlatul Ulama’). Reading the BNO for the period of June 1936 to January 1939, it appears that besides the Reformist movement, the Reformist movement, the Nahdlatul Ulama also contributed to a normalization of the religious order.