Thursday, February 2, 2012

NU dan Moderatisme

Sinar Harapan, 1 Februari 2012

Oleh: Ali Rif'an
Kader Muda NU, Anggota Jaringan Gusdurian Indonesia (JGI), Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Tanggal 31 Januari 2012, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 86 tahun. Untuk ukuran organisasi, NU saat ini sudah memasuki usia yang relatif mapan. Ibarat semakin tinggi dan rindang sebuah pohon maka akan semakin kencang dan besar angin badai yang menerpanya. Bagitu pula yang dialami NU saat ini. Dalam perspektif sosial-historis, NU memiliki tanggung jawab yang berat, yakni mengawal bangsa ini, mulai dari perjuangan pra-kemerdekaan hingga sekarang.

Sebagai organisasi kultural keagamaan yang mengusung nilai-nilai Aswaja, NU adalah bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa sekaligus sebagai wujud kegairahan luhur para ulama dalam membangun peradaban. NU bukan ormas yang eksklusif terhadap perbedaan dan keragaman. Justru keragaman dan pluralitas itulah spirit yang hendak diembuskan NU.

NU seumpama cahaya penerang dari maraknya kebengisan, sukuisme, primordialisme, dan fanatisme berlebihan sebagian anak bangsa, yang acap mendatangkan konflik horizontal. NU bukan ormas yang melulu mengeluarkan fatwa benar dan salah atau stempel hitam dan putih. Tapi, ia semacam katalisator juru damai yang berada di garis tengah. Kebinekaan dan kemajemukan menjadi roh NU dalam menancapkan misi perjuangannya. Ia secara terang-terangan mengatakan bahwa Pancasila adalah asas final bagi Indonesia. Ia pun tampil menjadi ormas garda depan yang berwatak kebangsaan.

Sikap dasar kebangsaan NU jelas, yakni keseimbangan antara akhuwah Islamiah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Pandangan NU tentang paham kebangsaan digali dari pemikiran-pemikiran politik Sunni Abad Pertengahan. Al-Ghazali dan al-Mawardi merupakan tokoh utamanya.

NU melihat pandangan politik dua tokoh itu senapas dengan watak orang Jawa yang mementingkan keselarasan hubungan antarmanusia, seperti sikap moderat dan cenderung memilih “jalan damai”. Ini karena jalan tengah dirasa sejalan dengan tradisi Jawa yang ditandai pencarian suatu harmoni yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat (Ali Masykur Musa, 2011 : ix).

Karena itu, dengan amat gigih dan penuh perjuangan, NU hendak mengelola pilar-pilar perbedaan sehingga bisa mewujudkan harmonisasi yang konsisten. Seperti diungkapkan Ketua Umum PB NU Said Agil Shiraj, NU adalah organisasi reformis dan dinamis yang senantiasa dinaungi spirit moral yang bercahaya.

Metamorfosis
Harus diakui, dalam perjalanannya, NU adalah organisasi terbesar di Indonesia yang tampil dan mampu mengikuti arah retak zaman. Ia menerjemahkan prinsip-prinsip dasar yang dicanangkannya ke dalam perilaku konkret. Dalam bidang pendidikan, NU mewujudkannya dalam bentuk pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan moral dan adiluhung dalam hidup dan berbangsa.

Dalam bidang sosial-ekonomi, NU mengusung ekonomi kerakyatan dan transformasi-transformasi sosial yang terejawantah dalam aksi-aksi sosial dengan membela kaum minoritas dan termarginalkan. Dalam ranah teologi, NU menampilkan wajah Islam yang ramah; ramah terhadap budaya lokal, adat setempat, dan agama-agama yang ada. Sementara itu, dalam bidang politik, NU mengajak kepada moralitas politik, bukan tipu muslihat politik.

Tentu saja, dalam kehidupan sejarah berbangsa ini, NU telah banyak mengambil kepeloporan dalam peta sejarah Indonesia. NU merupakan organisasi yang mampu tumbuh secara adaptif dan responsif terhadap dinamika yang terjadi. Karena memang dalam sejarahnya, NU lahir atas keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi.

Tak kuat dengan kondisi itu, sekumpulan kaum terpelajar kemudian tergugah untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Tahun 1908, muncullah apa yang disebut “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan inilah yang akhirnya menjadi daya dobrak sekaligus titik kisar dimulainya benih-benih perjuangan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespons Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916.

Tahun 1918, Taswirul Afkar atau dikenal juga Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) berdiri sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatul Tujjar (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Organisasi-organisasi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal berbagai kiai berkesepakatan membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin KH Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Memang dalam perkembangannya, NU pernah masuk ke dalam politik praktis. Itu terlihat pasca-kemerdekaan Indonesia, orientasi NU lebih terkonsentrasi pada transformasi bidang sosial-politik. Pada titik ini, NU sebenarnya hendak berkiprah secara total dalam upaya membangun tatanan nasional. Tapi, “politik” tampaknya bukanlah “rumah” NU yang sesungguhnya.

Karena itu, era transformasi bidang sosial-politik itu berakhir saat NU memutuskan kembali ke Khitah 1926 dalam Muktamar Ke-27 NU pada 1984 di Situbondo. Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi bidang sosial-ekonomi. Tentu absennya NU dalam panggung politik di bawah kekuasaan rezim Orba bukan lantaran NU ingin lari dari masalah kebangsaan. NU justru ingin menyelamatkan bangsa ini dari kaos.

Ketidakhadiran NU dalam kancah politik praktis justru akan mampu menekan warga NU untuk tidak terbuai dengan kekuasaan yang korup, kolutif, dan manipulatif. NU tak boleh dipolitisasi oleh segelintir orang yang hanya mengejar kekuasaan, tapi miskin misi kebangsaan.

Moderatisme
NU dikenal sebagai organisasi yang moderat, yaitu sikap yang mengedepankan jalan tengah. Dalam bahasa NU, prinsip ini dikenal dengan istilah tawassuth yang mencakup tawazun (keseimbangan dan keselarasan), i’tidal (teguh dan tidak berat sebelah), dan iqtishad (bertindak seperlunya dan sewajarnya, tidak berlebihan) (Ali Maskur Musa, 2011 : vii-viii).

Baik melalui jalur politik praktis, transformasi sosial-ekonomi, ataupun pendidikan, NU selalu menampilkan dua watak, yakni kebijaksanaan dan keluwesan. Kebijaksanaan, bagi NU, adalah tindakan yang kondusif untuk memperoleh manfaat/menghindari kerugian. Kewajiban untuk mengurangi atau menghindari segala bentuk risiko atau akibat buruk juga merupakan salah satu tema sentral dalam tradisi ijtihad politik NU. Sementara itu, keluwesan NU adalah sikap kompromistis dan menghindari segala bentuk ekstremistis.

Tentu saja, moderatisme NU sangat dibutuhkan sebagai perekat di tengah-tengah konstelasi pemikiran, baik keagamaan maupun politik kebangsaan, yang cenderung ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ataupun santernya gerakan-gerakan ekstremisme yang mengatasnamakan golongan dan agama yang belakangan kerap menyembul. Ini karena NU adalah ormas yang selalu mengusung kedamaian dan kesantunan--atau jalan tengah--dalam menerjemahkan visi dan gerakannya.