Wednesday, December 21, 2011

‘Pesantren’, new media and moderate Islam


The Jakarta Post   |  Wed, 12/21/2011 4:06 PM  |  Opinion

Tuesday, December 13, 2011

Pembaruan KH Abdurrahman Wahid

Oleh M Dawam Rahardjo
Ketua Yayasan Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

(Kompas, 19/1/ 2007)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0701/19/opini/3250523.htm
==========================
Buku Gus Dur (KH Dr Abdurrahman Wahid) yang berjudul Islamku, Islam
Anda dan Islam Kita, sebuah judul yang diambil dari sebuah artikel
Bab I, “Islam dalam Diskursus ‘Ideologi, Kultural dan Gerakan’”
(halaman 66) ini, yang konon akan diterjemahkan ke dalam tujuh
bahasa dunia, adalah sebuah kumpulan artikel yang tebalnya 410
halaman.

Oleh editornya, Dr Syafi’i Anwar, buku ini dibagi menjadi tujuh bab.
Bab awal memulai dengan pembahasan mengenai pengertian dan persepsi
hal-hal yang mendasar di sekitar Islam; pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan adalah apakah Islam itu sebuah sistem? Jika memang suatu
sistem, apakah perlu, bahkan harus diformalkan? Apakah Islam itu
juga sebuah ideologi politik? Karena itu, apakah ada negara Islam,
ekonomi Islam, teori politik Islam, kebudayaan Islam, kesusastraan
Islam, dan seterusnya?

Apakah “negara Islam” itu merupakan kewajiban yang harus diwujudkan
oleh umat Islam? Apakah Islam harus dijadikan dasar negara, seperti
di Indonesia? Apakah Islam itu sebuah ajaran yang menyeluruh dan
sempurna (kaffah). Apakah Islam itu sebuah sistem hukum yang disebut
syariat ataukah sebuah bimbingan cara hidup? Apakah Islam itu sebuah
ideologi ataukah budaya?

Pertanyaan-pertanyaan itu dicoba untuk dijawab oleh pengarangnya,
yang dijadikan dasar pijakan bagi pemikiran-pemikiran lainnya. Bab
selanjutnya, misalnya, berjudul “Islam, Negara, dan Kepemimpinan
Umat” sebagai tema, diikuti dengan pembahasan mengenai “Keadilan dan
Hak-hak Asasi Manusia”, “Perekonomian Rakyat”, dan diakhiri dengan
bab yang berjudul “Islam, Perdamaian, dan Masalah Internasional”.

Dari judul bab-bab, buku ini memang merupakan sebuah wacana mengenai
pemahaman Islam dalam bingkai atau versi: “Islamku, Islam Anda dan
Islam Kita” yang komprehensif yang dapat dijadikan sebagai sumber
pembaruan pemikiran Islam, yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran
para pembaru sebelumnya, seperti Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib,
Djohan Efendi, Harun Nasution, dan Munawir Sadzali.

Dua macam
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas bisa dinilai dua
macam: jawaban yang betul (right answer) dan salah (wrong answer).
Tentu hal ini bergantung siapa yang menilai. Aliran Islamis-
fundamentalis yang mungkin secara tidak sadar telah dipengaruhi oleh
cara berpikir ilmiah, umpamanya, akan menilai bahwa jawaban yang
benar adalah bahwa Islam itu memang merupakan sistem, bahkan sistem
yang lengkap (a complet civilization).

Mengacu kepada penjelasan Dr H Nasuha mengenai “Teori Sistem” di
atas, maka apakah Islam merupakan suatu sistem ataukah bukan
bergantung dari pendekatan dalam melihat Islam. Jika dipakai teori
sistem, maka ajaran Islam bisa dikonstruksikan menjadi suatu sistem
yang khas, berdasarkan Al Quran dan sunah, misalnya sistem hukum,
sistem kenegaraan dan pemerintahan, sistem ekonomi, sistem
perbankan, dan seterusnya.

Melihat Islam historis sebagai bangunan peradaban Islam, orientalis
HAR Gibb sendiri, sebagaimana dikutip oleh Natsir, menyimpulkan
bahwa Islam bukan saja merupakan suatu religi, tetapi juga sebuah
peradaban yang lengkap (a complete civilization). Tentu saja bisa
timbul pertanyaan: apa yang dimaksud dengan sistem dalam kesimpulan
Gibb tersebut dan apa yang dimaksud dengan peradaban yang membedakan
diri dari religi itu. Salah satu buku Nurcholish Madjid umpamanya,
berjudul Islam Agama Peradaban.

Dengan mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh para ahli
(baca Dr H Nasuha, Sebagai Salah Satu Alternatif) sistem pada
dasarnya adalah suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian atau
elemen-elemen yang berkaitan satu sama lain sehingga melahirkan
suatu fungsi atau proses tertentu untuk mencapai suatu tujuan.

Suatu sistem dapat dipandang baik atau buruk bergantung dari
kriteria penilaiannya. Dilihat dari sudut ekonomi, suatu sistem bisa
dinilai baik jika efisien, dalam arti dengan masukan (input) minimal
akan dihasilkan keluaran (output) yang maksimal. Dari sudut lain,
suatu sistem dapat dinilai kesesuaiannya dengan hukum alam (natural
law), mungkin juga didasarkan pada kesesuaiannya dengan nilai-nilai
yang diajarkan oleh suatu agama.

Dari sudut Islam bisa dilihat kesesuaiannya dengan hukum syariat.
Mungkin juga dari segi kemanfatannya bagi masyarakat, bersifat adil
dan ramah lingkungan (saleh). Dari segi kemanusiaan, sistem tersebut
memenuhi dan tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil
warga negara. Sistem perbankan syariat ternyata dapat diterima oleh
pasar bukan hanya karena antiriba, tetapi juga membuktikan dirinya
dapat melayani kebutuhan masyarakat untuk mengembangkan usaha dan
dari sudut investor mampu memberikan keuntungan yang menarik.

Dari segi manajemen, suatu sistem dapat dinilai baik karena efisien
atau dari segi sosial bermanfaat bagi rakyat kecil. Namun, perda-
perda syariat banyak ditolak oleh masyarakat karena telah
menimbulkan diskriminasi, melanggar prinsip kesetaraan jender, dan
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil.

Karena itu, jawaban terhadap pertanyaan Gus Dur itu tidak selalu
hitam-putih, bergantung dari sampai seberapa jauh konsep tersebut
memenuhi kriteria yang dipakai, yaitu dipakai oleh masyarakat luas
yang terbuka dan plural. Masalahnya di sini adalah apakah tepat jika
suatu agama seperti Islam ditransformasikan menjadi suatu sistem
sehingga agama menjadi bersifat mekanis?

Konsep ideologi
Berdasarkan pandangan Dr H Nasuha, Islam bisa juga dikembangkan
menjadi konsep ideologi negara dan pemerintahan. Tentu saja Islam
bisa dikembangkan menjadi sebuah ideologi dan karena itu hendak
dijadikan sebagai dasar negara.

Namun, perlu diingat, apa pengertian ideologi? Secara sosiologis,
ideologi pada dasarnya adalah hasil pemikiran manusia dalam
merancang masa depan sebagai respons terhadap suatu kondisi
masyarakat. Penjajahan akan melahirkan nasionalisme, kepincangan
sosial-ekonomi, dan eksploitasi terhadap manusia akan menimbulkan
sosialisme, kediktatoran akan menimbulkan demokrasi.

Jika demikian, apakah agama yang merupakan sekumpulan doktrin dan
norma itu dijadikan suatu ideologi?

Sementara itu, Daniel Bell mengatakan bahwa zaman wacana ideologi
telah berakhir (end of ideology). Mengapa baru sekarang Islam hendak
dijadikan suatu ideologi. Apakah ini tidak berarti reduksi Islam itu
sendiri? Karena itulah, Gus Dur berpendapat bahwa Islam tidak perlu
dijadikan ideologi. Karena Islam memberikan pedoman tingkat laku,
maka Islam hendaknya dipandang sebagai sumber kebudayaan.

Pernah dalam sejarah politik di Indonesia dikembangkan konsep Islam
sebagai dasar negara, bahkan konsep negara Islam. Sekali lagi,
berdasarkan keterangan Nasuha tentang teori sistem (negara juga
sebuah sistem, khususnya sistem politik), maka mungkin saja dibangun
sebuah konsep teori politik Islam dan dari sana dikembangkan konsep
negara Islam.

Masalahnya, seperti dikatakan oleh Munawir Sadzali, apakah Islam
memberikan pedoman mengenai negara dan pemerintahan? Soal pemilihan
dan suksesi kepala negara, tidak ada petunjuknya dalam Al Quran
maupun sunah Nabi. Bahkan, menurut Dr Qomaruddin Khan, tidak ada
istilah dalam Al Quran yang merupakan padanan “negara”
atau “pemerintah”.

Kata al daulah, yang biasa dikutip sebagai istilah untuk negara,
bukan istilah Al Quran, melainkan para ahli fikih. Yang ada hanya
petunjuk-petunjuk normatif yang bisa saja dijadikan landasan
teoretis mengenai negara, misalnya keadilan, prinsip amanah,
musyawarah, dan semacamnya.

Masalahnya adalah, menurut Nurcholish Madjid, konsep seperti itu
harus dianggap sebagai hasil pemikiran manusia, dan bukan wahyu.
Karena itu, maka agama tidak bisa dijadikan legitimasi terhadap
konsep negara Islam.

Apalagi hasil pemikiran manusia itu. Sekalipun berdasarkan sumber
yang sama, akan beragam, bahkan bisa saling bertentangan, misalnya,
antara otoritarian dan demokrasi.

Mana di antara konsep-konsep itu yang paling benar dan dapat
diformalkan menjadi konsep negara Islam? Di sinilah akan timbul
persengketaan yang saling mengklaim kebenaran atas nama Tuhan.
Karena itu, Cak Nur menganjurkan lebih baik ajaran Islam
dikembangkan menjadi suatu konsep keadilan sosial.

Ahli ekonomi
Mantan Presiden Republik Islam Iran Rafsanjani yang juga ahli
ekonomi itu pernah mengembangkan teori keadilan sosial. Imam
Khomaini juga telah mengembangkan konsep negara dan pemerintahan
Islam. Prinsip kedaulatan Tuhan diterjemahkan sebagai al Wilayah al
Faqih, semacam dewan ulama. Tapi, konsep itu tidak bisa disebut
universal dan mewakili konsep Islam yang resmi. Karena itulah maka
Gus Dur tidak menyetujui gagasan negara Islam. Baginya negara,
seperti Indonesia, adalah sebuah negara kebangsaan yang sekuler.

Gus Dur juga berpendapat bahwa Islam adalah sebuah ajaran
kemasyarakatan. Masalah kemasyarakatan ini memang banyak petunjuknya
dalam Al Quran. Karena kita bisa menjumpai perintah untuk membentuk
suatu masyarakat (QS Ali Imran: 104 dan 110).

Sedangkan perintah untuk mendirikan negara tidak ada sama sekali.
Tapi, memang ada perintah agar orang menghukumi sesuatu dengan hukum
Allah yang diartikan sebagai hukum syariat. Tetapi, yang dimaksud di
sini adalah hukum Allah yang berlaku dalam alam semesta (kauniyah)
dalam masyarakat dan sejarah (sunatullah) yang banyak disebut oleh
Cak Nur.

Yang dimaksud juga prinsip-prinsip yang dianjurkan dalam Al Quran,
misalnya adil. Karena itu, menghukumi suatu masalah dengan hukum
Allah berarti menghukum berdasarkan prinsip keadilan. Inilah yang
antara lain diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Daud sebagai
seorang penguasa. Anaknya, Nabi Sulaiman, dikenal dengan keadilannya
sebagai raja-hakim.

Perintah untuk membentuk suatu negara biasanya mengacu kepada
pembentukan negara Madinah. Tapi, yang lebih tepat adalah masyarakat
(umat) Madinah, daripada suatu negara, yang sebenarnya hanyalah
interpretasi dari orientalis dan sejarawan saja. Sebab, masyarakat
Madinah adalah merupakan hasil dari suatu kontrak sosial (social
contract), meminjam pengertian Rousseau, yaitu sebagai hasil
perundingan, musyawarah, dan negosiasi antara nabi dan tokoh-tokoh
masyarakat serta agama di sekitar Yatsrib (sebelum disebut Madinah
yang artinya kota).

Menurut Dr Ali Abdul Razik, ulama-sarjana Al Azhar, murid Abduh itu,
misi nabi adalah keagamaan dan bukan politik. Adapun negara yang
dibentuk dan dipimpin oleh Khulafa’ al Rashidin yang sering
dijadikan referensi itu adalah hasil ijtihad, karena tidak ada
petunjuknya yang jelas dalam Al Quran maupun sunah.

Bagi Gus Dur, tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan
sebuah “Negara Islam”. Tetapi, ada perintah dalam Al Quran untuk
membentuk suatu masyarakat yang mengacu kepada nilai-nilai keutamaan
(viruies) yang menjalankan amar makruf (membangun kebaikan) dan
mencegah keburukan, nahi mungkar, untuk menegakkan iman dan keadilan
di muka bumi. Karena itu, maka Islam jangan direduksi menjadi negara
Islam, melainkan dikembalikan sebagai agama.

Dengan demikian, maka pembaruan Gus Dur adalah mempertegas
perspektif gerakan kultural dan gerakan kemasyarakatan, yang
sekarang lebih populer dengan sebutan membangun civil society yang
bersifat komplementer dan mendukung sebuah negara Pancasila yang
telah dimulai oleh para Bapak Pendiri Bangsa (founding fathers).
Itulah kurang lebih gambaran Gus Dur tentang “Islamku” dan
juga “Islam Anda” dan semoga juga “Islam Kita”.

Thursday, December 8, 2011

Syaikhona Kholil Gurunya Para Kiai

NU.or.id, 28/11/2011 07:50


Judul: KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1835-1925
Penulis    : Muhammad Rifa’i
Editor: Meita Sandra
Penerbit: Garasi Yogyakarta
Cetakan: 2010
Tebal: 148 hlm.
Peresensi: Moh. Riwann Rifa’I, S. Pdi

KH Mustafa Bisri (Gus Mus) menyebutnya, kekeramatan atau karamah yang memancar pada diri Kiai Kholil Bangkalan bukan datang secara tiba-tiba, namun lahir dari proses penempaan diri yang sangat panjang. Semenjak remaja, beliau terbiasa menjalani pola hidup yang sederhana dan memprihatinkan, pahit manis, suka dan duka dalam perjalanan hidupnya ia pernah jalani. Maka tidak berlebihan jika banyak orang memuji Kiai Kholil. Zamakhsyari Dhofier dalam penelitiannya tentang jaringan intelektual Islam Indonesia, Syaikhona Kholil Bangkalan adalah termasuk salah satu tokoh yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.

Selain itu, Syaikhona Kholil termasuk salah satu gurunya para Kiai se  Jawa dan Madura bahkan seluruh Indonesia. Adapan diantara murid-muridnya yang pernah berguru adalah, KH. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (organisasi terbesar di Indonesia), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), Kiai Bisri Syansuri (Jombang), Kiai Abdul Manaf (Lirboyo-Kediri), Kiai Maksum (Lasem), Kiai Munawir (Krapyak-Yogyakarta), Kiai Bisri Mustofa (Rembang Jateng), Kiai Nawawi (Sidogiri), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Abdul Majjid (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Abi Sujak (Astatinggi Kebun Agung, Sumenep), Kiai Usymuni (Pandian Sumenep), Kiai Muhammad Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Khozin (Buduran Sidoarjo). Bahkan Ir. Soekarno Presiden RI pertama, menurut penuturan Kiai Asa’ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Kiai Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Kiai Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya (hal.51-53).

Dalam mendidik santri-santrinya, Kiai Kholil sangatlah luar biasa dalam mengemban sebuah amanah dan tanggung jawab sebagai seorang guru. Dari beberapa santri di atas, mayoritas semua menjadi tokoh publik dan bisa dipertanggung jawabkan intergritas keilmuannya sebagai seorang santri. Juga mayoritas santri Kiai Kholil menjadi orang  yang sukses, menjadi seorang Kiai, dan pengasuh pesantren. Dalam mendidik santrinya, Kiai Kholil yang terkenal menekankan sikap zuhud dan ikhlas dalam menuntut ilmu, beliau juga memiliki metode tersendiri dalam menggembleng para santrinya. Sebagai seorang pendidik, beliau tidak mau hanya mengajar biasa saja, yaitu membacakan kitab kuning, menyuruh santri mendengarkan dan menulis pelajaran, kemudian mempelajarinya, ataupun menghafalnya.

Pengabdian dan perjuangan Kiai Kholil sangatlah luar biasa, beliau salah satu Kiai yang ikut membantu membidani berdirinya Jam’iyah Nadlatul Ulama (NU). Walaupun Kiai Kholil tidak pernah masuk dalam struktural NU, tetapi semua tokoh NU mengetahui terhadap sumbangsih Kiai Kholil atas berdirinya organisasi terbesar di Indonesia (NU). Jadi posisi Kiai Kholil dalam sejarah proses berdirinya Nahdlatul Ulama adalah inspirator. Karena latar belakang sejarah berdirinya NU tidaklah mudah. Untuk mendirikannya, para ulama meminta izin terlebih dahulu kepada Allah SWT. Adapun permohonan pertama diprakarsai oleh Kiai Hasyim Asy’ari yakni melalui salat istikharah. Namun petunjuk itu tidak langsung melalui Mbah Hasyim, melainkan melalui Kiai Kholil Bangkalan.

Buku biografi singkat Kiai Kholil Bangkalan ini, juga menjelaskan beberapa karamah-karamah yang beliau miliki. Di antara karamah yang beliau miliki, ke Makkah Naik Kerocok (sejenis daun aren yang dapat mengapung di atas air). Suatu sore di pinggir pantai daerah Bangkalan, Kiai Kholil ditemani oleh Kiai Syamsul Arifin ayahanda dari Kiai As’ad Situbondo. Bersama sahabatnya itu, mereka berbincang-bincang tentang pengembangan pesantren dan persoalan umat Islam di daerah pulau Jawa dan Madura. Persoalan demi persoalan dibicarakan, tak terasa, saking asyik dan enaknya berdiskusi, matahari hampir terbenam. Padahal Kiai Kholil dan Kiai Syamsul Arifin belum melaksanakan kewajiban shalat asar, sementara waktunya hampir habis. Kata Kiai Kholil, tidak mungkin kita melaksanakan shalat asar dengan sempurna dan khusyuk. Akhirnya Kiai Kholil memerintah Kiai Syamsul Arifin untuk mengambil “kerocok”, untuk kita pakai perjalanan ke Makkah. Setelah mendapatkan kerocok, lantas Kiai Kholil menatap ke arah Makkah, tiba-tiba kerocok yang ditumpanginya berjalan dengan cepatnya menuju ke arah Makkah. Sesampainya di Makkah, adzan shalat asar baru saja dukumandangkan. Setelah mengambil wudlu, Kiai Kholil dan Kiai Syamsul Arifin segera menuju shaf pertama untuk melaksanakan shalat asar berjamaah di Masjidil Haram (hal.105).

Dalam buku ini, juga dijelaskan tentang pemikiran kerakyatan Kiai Kholil. Sebagai seorang Kiai dan seorang pemimpin yang dihormati di daerah Bangkalan, Madura bahkan di Jawa, Kiai Kholil menampilkan diri sebagai sosok pemimpin yang memikirkan rakyatnya. Oleh karena itu, beliau tidak menjadi seorang pemimpin dan tidak menjadi seorang intelektual yang hanya berada dalam pesantrennya saja. Beliau terjun langsung untuk mengetahui seperti apa keberadaan rakyatnya dan sedang menghadapi kesulitan seperti apa masyarakatnya. Sosok Kiai Kholil inilah, justru mampu menampilkan sebagai pemimpin yang merakyat, dan mengayomi semua kalangan.

Sejarah biografi Syaikhona Kholil Bangkalan telah banyak orang yang menulisnya, seperti yang ditulis Oleh KH. A. Aziz Masyhuri (99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara), Muhammad Hasyim (Khazanah Khatulistiwa, Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-Kiai Nusantara). Dan penulis buku ini, kebanyakan data-datanya mengambil dari buku-buku yang telah terbit sebelumnya. Namun buku ini tetaplah menarik untuk dibaca oleh semua kalangan khususnya para santri pondok pesantren. Dengan harapan bisa mentauladani dan mengambil hikmah apa yang pernah dilakukan, diperjuangkan oleh Syaikhona Kholil Bangkalan.  Wallahu  a’lam

Staf Pengajar Nasy’Atul Mutallimin Candi Dungkek Sumenep Madura

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/34865/Buku/Syaikhona_Kholil_Gurunya_Para_Kiai.html

Wednesday, December 7, 2011

Ulil dengan Liberalismenya


Oleh: Abdurrahman Wahid

Ulil Abshar Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan "orang santri", istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi dua hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainya, yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang "menghina" Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap "abangan". Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap "aneh" bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.
Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan "kemerdekaan" berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinanya sendiri akan "kebenaran" Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap hal ini.
Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan "Assalamu'alaikum" dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan hal itu. Segera penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak mengerti maksud penulis sebenarnya, sehingga KH. Syukron Makmun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang bersholat. Penulis, demikian kata Kyai yang dahulu kondang itu, menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan selamat pagi dan selamat sore. Padahal penulis tahu definisi shalat adalah sesuatu yang dimulai dengan "Takbiratul Al-Ihram" dan di sudahi dengan ucapan "Salam". Jadi, menurut paham Mazhab Al-Syafi'i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan perubahan salam sebagai ungkapan. Baik ketika orang bertemu dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non muslim. Di lingkungan Universitas Al-Azhar di Kairo misalnya, para Syaikh/ Kyai yang menjadi dosen juga sering merubah "tanda perkenalan " tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan "selamat pagi yang cerah" (Shabah Al-Nur). Kurangnya pengetahuan Kyai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.
*****
Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar Abdalla adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab suci Al-Qur'an: "Dan tak ada yang abadi kecuali kehadirat Tuhan " (Wallau yabqo illa Wajhah), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena Sabda Nabi Muhammad SAW: "Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir" (Man kaffarahu akhahu musliman fahuwa kafirun).
Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros), yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam. Sebagai akibat Averros juga di "kafir" kan orang, tentu saja oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan-perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham sumber tertulis "Ahl Al-Nahqli" dan penganut paham serba akal "Ahl Al-Aqli" (kaum rasionalisme) dalam Islam memang sangat lebar. Kedua hal ini pun, sekarang sedang ditantang oleh paham yang menerima "sumber intuisi" (ahl Al-Dzauq), seperti dikemukakan oleh Al-Zaribi dari Universitas Yar'muk di Yordania. Sumber ketiga ini, diusung oleh Al-Imam Al-Ghazali dalam magnumopus (karya besar), " Ihya'ulum al-din", yang saat ini masih diajarkan di pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan tinggi di seantero dunia Islam.
Jelaslah, dengan demikian "kesalahan" Ulil adalah karena ia bersikap "menentang" anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci Al-Qur'an menyatakan "Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini" (Alyauma akmaltu dinakum) dan "Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh " (Udkhulu fi al-silmi kaffah), maka seolah-olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan ) dalam keyakinan agama yang diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut.
Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Abdalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam. Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri Ulil tentu paham "kebebasan" yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia "terganggu" oleh kenyataan akan lebarnya spektrum di atas. Karena ia khawatir pendapat "keras" akan mewarnai jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para "Muslim pinggiran" merasa dirumah mereka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif yan g diambil Ulil Abshar Abdalla tersebut.
Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika di benarkan, tentu saja kita akan "membiarkan" Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya di masa depan. Disadari, hanya dengan cara "menemukan" pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan sekulerisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih mengharapkan Ulil masih mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti "perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat " (Ikhtilaf Al-A '-Immha rahmah Al-ummah).
Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil "berpikir" dalam media khlayak, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan antara "larangan terbatas" untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orang-orang seperti Ulil. Padahal pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai "orang luar". Pendapat kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada radikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandangan inilah lahirnya terorisme yang sekarang "menghantui" dunia Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham "serba kekerasan", yang saat ini sedang menghingapi dunia Islam. pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit di lakukan, bukan?
Jakarta, 28 Januari 2003
Penulis adalah Mustasyar PBNU

Monday, December 5, 2011

Menyingkap Prilaku Nyleneh Gus Dur

NU.or.id, 05/12/2011 13:08

Judul buku: Sunan Gus Dur Akrobat Politik ala Nabi Khidir
Penulis: M. Mas’ud Adnan
Penerbit : Harian Bangsa (Jawa Pos Group)
Edisi : Cetakan pertama,  April 2011
Tebal: XIV + 250 halaman
Peresensi: Aryudi A. Razaq

Gus Dur, siapa tak kenal dia? Selain dikenal sebagai tokoh NU, dia juga populer sebagai budayawan, cendekiawan, ulama dan setumpuk laqob (gelar) lain yang menghiasi namanya. Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang nyleneh. Ini Karena banyak gagasan, pemikiran dan ucapan yang dilontarkan Gus Dur tidak lazim sebagaimana tokoh besar yang selalu menjaga dan mengonsep kata-katanya sebelum diucapkan. Apa yang menurut Gus Dur benar, itulah yang dikatakan. Tak peduli ucapannya itu melawan arus. Karena itu, Gus Dur nyaris tak pernah sepi dari konflik dan kontroversi. Tapi dari ketidak laziman itulah, nama Gus Dur kian menjulang dan ketokohannya makin berkibar. Tidak ada orang yang menjulangkan namanya, tapi waktu yang menjawabnya, karena di kemudian hari ternyata ucapan atau ramalan Dus Dur itu terbukti kebenarannya. Orangpun dibikin terperangah.

Kenylenehan Gus Dur –yang kerap berujung dengan konflik itu— nyaris terjadi di semua area, terutama di panggung politik. Sejak mendirikan PKB, Gus Dur selalu “menciptakan” konflik dalam tubuh partai berlambang bumi dikelilingi bintang sembilan itu. Selesai yang satu, muncul yang lain. Mulai berseteru dengan Matori Abdul Djalil, hingga Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Namun konflik Gus Dur, tidak bisa lantas dilihat secara hitam putih. Karena nyatanya, orang yang dimusuhi Gus Dur, justru tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mandiri, lepas dari bayang-bayang kebesaran sang pendekar demokrasi itu. Sebut saja misalnya, perseteruan Gus Dur dengan Cak Imin. Itu tak lebih dari sebuah “sandiwara politik”. Menurut Cak Imin, dirinya dan Gus Dur pernah dipanggil oleh sekelompok tokoh di daerah dekat gunung Lawu. Intinya keduanya diminta islah, bahkan disumpah agar “rukun” selalu. Namun dalam perjalanan pulang dari tempat tersebut, Gus Dur berbisik kepada Cak Imin:  “Min, meski kita sudah islah tapi di publik kita tetap beda” kata Gus Dur. Cak Imin mengaku sempat heran dan bertanya-tanya apa makna di balik semua itu. Dan sampai wafat, Gus Dur tetap “beda” dengan Cak Imin. Cerita seputar konflik dan keanehan Gus Dur ini dapat kita jumpai di buku “Sunan Gus Dur Akrobat Politik ala Nabi Khidir” (hal. 14).

Buku yang ditulis M. Mas’ud Adnan ini mengupas prilaku nyleneh Gus Dur, yang kerap memancing konflik. Namun berdasarkan analisa spiritual-supranatural penulis dikaitkan dengan fakta yang ada, konflik yang dibikin Gus Dur bukan sesuatu yang hampa, tapi mempunyai tujuan bagi kepentingan regenerasi ke depan. Cuma sayangnya, publik tidak banyak tahu makna dari konflik itu. Pola “pelatihan” ini mirip sekali dengan cara mendidik Nabi Khidir terhadap santrinya, Nabi Musa. Nabi Musa memang selalu protes dan bertanya tentang perbuatan Nabi Khidir yang dinilainya tidak benar, padahal apa yang dperbuat Nabi Khidir mempunyai tujuan mulya.

Rata-rata orang yang “dimusuhi” Gus Dur adalah kadernya sendiri. Gus Dur-lah yang pertama kali melambungkan nama mereka, namun Gus Dur pula yang berusaha “menenggelamkan” mereka. Dimaklumi bersama bahwa umur manusia terbatas, sehingga harus ada regenerasi. Seorang calon pemimpin juga tidak bisa terus berada di ketiak orang yang melambungkan namanya. Ia harus mandiri dan mempunyai karakter kepemimpinan tersendiri. Maka dalam konteks itulah, signifikansi konflik ala Gus Dur. Sejatinya konflik itu adalah bagian dari upaya Gus Dur untuk melatih dan mendidik mantan anak buahnya agar mempunyai mental yang kuat, berkepribadian dan tahan banting ketika terjun di belantara persaingan yang sesungguhnya. Hanya saja ada kader yang sabar dan ikhlas  menerima, ada yang tidak, bahkan akhirnya juga terprovokasi sehingga menyerang Gus Dur secara membabi-buta. Biasanya orang yang sabar itulah yang tampil sebagai pemimpin tangguh dikemudian hari. Sebut saja misalnya, KH Hasyim Muzadi, KH Said Aqiel Siroj, Helmy Faisal Zaini, Lukman Edy, Imam Nahrawi dan Cak imin sendiri.

Tidak berlebihan kiranya jika orang –termasuk penulis— menilai Gus Dur adalah waliyullah. Berdasarkan kriteria yang ada, Gus Dur telah banyak mendapat karamah dari Allah. Karamah itu, misalnya bisa dilihat dari “nalar” Gus Dur yang kerap jauh menerawang ke depan. Contohnya adalah ramalan Gus Dur soal presiden. Empat tahun sebelum pemilihan presiden (1999), Gus Dur pernah menyatakan  bahwa dirinya akan menduduki kursi presiden RI. Tentu saja pernyataan itu dianggap lelucon politik. Tak ada yang merespon, apalagi percaya. Pasalnya, ketika itu hegemoni kekuasaan Soeharto masih begitu kuat menancap di bumi pertiwi. Cengkeraman Orde Baru juga begitu super dan menggurita hingga ke pelosok desa. Tak ada tanda-tanda Soeharto bakal tersungkur. Dua tahun kemudian, ketika kekuatan Soeharto mulai tergerus, muncul dua nama  yang disebut-sebut pantas menjadi presiden: BJ. Habibie dan Megawati. Nama Gus Dur tidak masuk dalam kalkulasi politik. Apalagi saat itu Gus Dur cenderung mendukung Mega.

Namun ternyata di tengah arus dukungan politik nasional yang terbelah dua, yaitu kepada BJ. Habibie dan Megawati, nama Gus Dur justru muncul sebagai pilihan alternatif. Ini untuk menghindari bentrok massal antara kubu BJ. Habibie dan Megawati. Dan benar, MPR RI akhirnya mengangkat Gus Dur sebagai presiden ke-4 RI.

Contoh lain, tahun 2004 ketika menghadiri Muktamar NU  ke-31 di Boyolali Jawa Tengah, di sebuah kamar hotel Gus Dur pernah berucap bahwa Indonesia akan dilanda bencana besar dengan korban ribuan nyawa melayang. Ternyata, tak berapa lama kemudian, terjadilah tsunami Aceh yang begitu mengerikan itu.

Di bagian empat buku ini juga diulas bagaimana tingginya prilaku zuhud Gus Dur. Suatu ketika Gus Dur diberi uang oleh seorang anggota DPR RI sebesar Rp. 15 juta. Gus Dur lalu menaruh uang itu di lacinya. Selagi Gus Dur masih ngobrol dengan orang tersebut, datanglah seorang artis berinial MM. Ia sering muncul di koran karena didzalimi pejabat atau menteri Orde Baru, dinikahi hingga punya anak namun kemudian dicampakkan. MM mengeluh kesulitan uang kepada Gus Dur. Tanpa pikir panjang Gus Dur mengambil uang itu di lacinya dan  memberikan kepada MM.

Imam Nahrawi –Sekjend DPP PKB-- juga berkisah. Suatu saat Gus Dur kedatangan tamu di kantor PBNU. Orang itu memberi amplop berisi uang Rp. 35 juta. Selang beberapa saat kemudian datang seorang kenalan Gus Dur yang mengaku perlu uang untuk membangun rumahnya. Gus Dur langsung memberikan uang itu kepada orang tersebut. Anehnya, dia langsung ngacir. Para tamu yang berada di sekitar Gus Dur, termasuk Imam Nahrawi heran, bahkan ada yang mengingatkan Gus Dur bahwa orang tadi tidak jujur dan sering menipu. “Saya tahu. Kan lebih baik menipu saya dari pada menipu orang lain,” kata Gus Dur enteng.

Ya, begitulah Gus Dur. Ia sudah tidak memikirkan uang dan kepentingan pribadinya. Menurut Sulaiman, ajudan Gus Dur,  jika menerima uang, Gus Dur selalu Terima-Kasih. Maksudnya, uang diterima lalu dikasihkan kepada orang lain.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan penulis di beberapa media cetak dan online. Karena tulisan itu sifatnya temporal, maka di beberapa topik kita membacanya sudah terasa basi. Namun hal ini bisa “dihibur” dengan sajian tulisan yang mengungkap lakon nyleneh Gus Dur yang penuh misteri dan tak pernah kadaluarsa. Latar belakang penulis –

yang alumni pesantren—cukup mendukung untuk mengupas sisi spiritual dari pola pengkaderan ala pesantren yang ditunjukkan Gus Dur selama ini. Yang menarik, dalam buku ini juga disajikan tulisan tentang ayah Gus Dur, KH. A. Wahid Hasyim dan paman Gus Dur, KHM Yusuf Hasyim. Dua tokoh ini –seperti Gus Dur—juga penuh kontroversi. Uniknya, ide-ide mereka yang semula dianggap nyleneh, kemudian dipraktikkan para kiai di pesantren-pesantren. Padahal semula para kiai itu menentang gagasan-gagasan kontroversial tersebut.

* Kontributor NU Online Jember


Retrieved from: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/35142/Buku/Menyingkap_Prilaku_Nyleneh_Gus_Dur__.html

Sunday, December 4, 2011

Dari Paris bersalju, menengok kehidupan Gus Dur yang bergolak

Sabtu, 9 Januari 2010 | 09:12 WIB
http://www.surabayapost.co.id/images/hRule2.gif

Oleh : Andrée Feillard - Peneliti Senior bidang sejarah di CNRS (Pusat Penelitian Prancis)

Berada sangat jauh di kota Paris yang dingin---hari ini bersuhu di bawah 7 derajat celcius dan salju dimana mana---kabar mengenai wafatnya Gus Dur
menjadi sulit dipercaya. Pernah Gus Dur mengunjungi saya disini, satu hari siang pada bulan september 1999 di pinggiran kota Paris yang hijau -- sekarang putih semua. Waktu pulang, dia pun terpaksa naik kereta api seperti orang biasa untuk menghindari kemacetan lalu lintas. Orang lain mungkin sudah menggerutu, tetapi Gus Dur tidak. Ia pun bersukacita dan bergurau,
mirip seorang pemuda ceria yang melakukan kegiatan jalan-jalan yang tak
terduga. Gus Dur senang dengan hal-hal yang tak terduga. Di kereta api
pinggiran kota itu, kami berbicara sebentar tentang arah politik yang mau ia
ambil, dan tentang kesempatan yang akan dilewatkannya bila itu terjadi
(termasuk rencana mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Prancis bersama
isteri dan empat putrinya, sesuatu yang sudah lama diinginkannya).

September 1999 itu merupakan bulan terakhir dalam hidupnya sebagai pemimpin
sebuah komunitas keagamaan untuk menjadi kepala negara di sebuah negara yang
multiagama.

Abdurrahman Wahid bukan sembarangan orang untuk memegang posisi seperti ini.
Bukankah dia adalah anak pertama Wahid Hasyim, mantan menteri agama
Indonesia, yang pidatonya pada 2 Januari 1950 mungkin bisa dilihat sebagai
sebuah pertanda prophetic?

Izinkan saya mengutip pidato Wahid Hasyim itu yang diucapkan di tempat
khusus pada hari khusus : di istana negara, pada perayaan Maulud Nabi..
Pidato ini saya baca pertama kali waktu mulai meneliti Nahdlatul Ulama, pada
tahun 1980an, di buku Aboebakar Atjeh yang diterbitkan Departemen agama
setelah wafatnya Wahid Hasyim. Entah kenapa, pidato itu muncul kembali di
benak saya:

"Bismillah hirrahman nirrahim. Sungguh sangat menggembirakan hati, bahwa
hari-hari pertama daripada Republik Indonesia Serikat, sebagai bentuk jang
dianggap sah daripada kemerdekaan Rakjat Indonesia jang telah ditjapai pada
17 Agustus 1945, djatuh pada hari-hari dari dua orang pemimpin dunia jang
sangat kenamaan, jalah Nabi Muhammad s.a.w. pembawa adjaran-adjaran
al-Qur'an dan sjari'at Islam, serta Nabi Isa bin Marijam a.s., pembawa
adjaran-adjaran Indjil dan sjari'at Nasrani.

Djarang terdjadi dalam perhitungan tahun, bahwa dua peristiwa itu berlaku
dalam masa jang berdekatan, ialah hari lahir suatu negara dengan hari lahir
seorang nabi Allah. Tetapi lebih djarang lagi terjadinya hari lahir sesuatu
negara dengan hari-hari lahir dua orang pesuruh Allah seperti pada peristiwa
lahirnya Republik Indonesia Serikat ini.... " (Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup
KH Wahid Hasjim, 1957, hlm. 677).

Sekarang ini, sebagian besar pers Indonesia merayakan Gus Dur sebagai "tokoh
pluralis," dan ini tampaknya dibenarkan dengan rasa duka mendalam dari kaum
Buddha dan Kristen yang bersatu untuk berkabung dengan kaum Muslim.

Memang, selama ini, tak diragukan, banyak orang datang pada Gus Dur untuk
meminta perlindungan dan "keadilan" pada masa transisi yang riuh: pada
1990an, kaum minoritas datang waktu mereka sedang mengalami efek buruk
"identity politics" (politik identitas menekankan perbedaan kelompok untuk
tujuan politik), dengan perusakan gereja yang makin banyak. Demikian juga
datang kaum demokrat yang saat itu menghadapi rezim Soeharto yang mencoba
bertahan "at all costs". Selanjutnya pada 2000an, yang datang pada Gus Dur
adalah kaum Muslim pluralis (dan liberal) saat mereka menghadapi kelompok
Islamist radikal. Mereka semua mendatangi Gus Dur dengan harapan besar,
mungkin juga harapan yang terlalu besar, yang terkadang bisa saja
dikecewakan. Namun siapa lagi selain dia yang bisa menyatukan begitu banyak
kelompok lemah? Dan siapa lagi yang memiliki keberanian untuk melakukan
pembelaan dengan membawa gaung yang begitu kuat?

Tahun 1980an dan tahun 1990an berbeda. Pada 1980an, Gus Dur mengambil peran
kunci untuk menghentikan kebuntuan politik, setelah mendengarkan ulama
senior yang lelah dengan politik dan dampak negatifnya terhadap kegiatan
keagamaan. Sedangkan sepuluh tahun kemudian, pada 1990an, peran kuncinya
adalah menjaga pluralisme. Saya teringat pada satu momen istimewa di
Lampung pada tahun 1992, ketika di suatu malam yang sunyi, duduk bersama
beberapa kaum intelektual, dia menyampaikan ungkapan panjang amarah yang
merupakan ungkapan rasa kekecewaannya yang mendalam dengan pembentukan ICMI,
yang Gus Dur lihat sebagai sindrom akan munculnya politik identitas.
Diprediksinya ini akan menghancurkan masyarakat Indonesia yang pluralis
sejak kemerdekaan sekaligus akan membendung gelombang demokrasi yang sedang
coba muncul sejak akhir tahun 1980an. Beberapa orang intelektual yang hadir
menyimak dalam kesunyian.

Saat saya melakukan kunjungan tahunan saya ke Indonesaia pada November 1996,
Gus Dur mengajak saya untuk melakukan perjalanan ke Malang, tempat dia
diundang setelah pembakaran serangkaian Gereja dan sekolah di Situbondo pada
Oktober 1996. Saat itu tepat satu bulan setelah insiden pembakaran tersebut.
Aula tempat pertemuan sudah penuh ketika kami tiba, orang-orang datang dari
tempat yang jauh. Kami mendengarkan berbagai laporan yang mengkhawatirkan
dari tokoh katolik lokal mengenai ketegangan dan ancaman terselubung. Kita
semua baru menyadari sedang muncul satu era baru yang tak terduga. Itu kali
pertama saya melihat orang Katolik berdoa begitu dalam bagi seorang teman
mereka, Gus Dur, yang dinilai satu-satunya yang mungkin mampu membalik arus.
Perkembangan baru memang begitu antinomis bagi reputasi pluralisme
Indonesia, yang kontras dengan kekerasan yang dialami Pakistan sejak
berdirinya tahun 1947. Waktu itu negara itu muncul dengan memisahkan diri
dari Hindia dalam pertumpahan darah (bloodbath) yang menakutkan. Saya
mengakhiri perjalanan di Jawa Timur dengan satu kunjungan menyedihkan di
Situbondo, saat sebuah perayaan massa digelar dalam sebuah gereja katolik
yang usai dibakar, tanpa atap, tanpa kursi, tanpa benda2 sakral, hanya
tembok-tembok tinggi yang menghitam. Orang-orang duduk di atas tikar di
lantai. Hidup berlanjut. Misa belum selesai, saya pun meneruskan perjalanan
dengan teman-teman NU yang mendampingi saya.

Mengapa Gus Dur begitu penting sepanjang tahun-tahun tersebut? Pasti ada
banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Keberaniannya mungkin berasal dari
keunikannya. Dia mempunyai legitimasi keagamaan yang luar biasa tinggi lewat
garis keturunanya, sebagai cucu dari sekaligus dua kiai pempimpin ormas
Islam terbesar di Indonesia : Hasyim Asy'ari dan Bisri Syansuri. Legitimasi
ini menjadi sangat penting dengan makin banyaknya rujukan religius dalam
politik Indonesia selama tahun 1990an. Keberanian ini ditambah dengan
kepercayaan diri yang berasal dari didikannya yang tinggi : ia telah membaca
literatur Barat dan Arab. Bukan itu saja, dia bukan seorang intelektual yang
hanya tahu buku, dia kenal banyak manusia setelah bertemu orang dari
berbagai ras, agama dan negara. Yang mungkin lebih penting, dia biasa
bertemu banyak orang Indonesia, dari kepala negara hingga kaki lima, selama
perjalanan atau di rumahnya yang terbuka bagi orang-orang lintas batas
sosial. Mungkin itu semua bergabung untuk menjadikannya sosok yang berani
sangat vokal.

Meskipun memiliki garis keturunan luar biasa, namun tahun-tahun 1990an tetap
menjadi masa yang berat bagi Gus Dur setelah ia menjadi target dari para
politisi yang jelas-jelas terganggu dengan kehadirannya. Pada 1994, di
Cipasung, tanpa perlindungan dan pembelaan intensif dari para kiai senior,
dia tak akan terpilih lagi sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama. Namun menarik
dicatat bahwa tidak ada kiai yang ikut bergabung dengan Forum Demokrasinya.
Kenapa? Terlalu banyak risiko politik buat mereka justru pada saat Presiden
Soeharto telah berhasil mengkooptasi sebagian elit intelektual muslim dengan
menunjukkan wajah yang lebih bersahabat pada agama islam.

Era pasca Soeharto membawa satu kemenangan besar bagi Gus Dur dengan
terpilihnya sebagai Presiden Indonesia, namun tahun-tahun itu juga justru
menjadi masa penuh tantangan dan kesakitan. Sebagian pengamat telah
menyalahkan para lawan politiknya yang kurang fair. Gus Dur sendiri yakin
bahwa dia menjadi korban dari sebuah plot. Yang jelas, salah langka
strategis sedikit bisa fatal bagi mereka yang berada di puncak kekuasaan.
Segala bisa dijadikan senjata yang siap pakai oleh para sekutu kecewa.
Menawarkan hubungan komersial dengan Israel dan rehabilitasi komunisme tentu
akan membuat musuh di koalisi yang baru memilihnya sebagai presiden -- yang
justru paling anti-Israel dan paling anti-komunis. Gus Dur sang intelektual
dengan kuat meyakini misinya dan menjalankannya segera. Namun Gus Dur sang
kiai dituntut mencari penyesuaian pada seting politik baru. Dan ini jauh
lebih rumit dibandingkan dunia agamis homogen yang mengelilingnya di NU.
Tetapi mungkinkah menjadi presiden saat itu adalah misi tak mungkin, "une
mission impossible"?

Sebuah ironi bahwa adalah hal politik (penolakan terhadap politik praktis)
yang mengantarkan Gus Dur pada garda depan ruang publik pada awal 1980an
(ingat para kiai yang menyebut politikus sebagai "tikus-tikus" pada 1979?),
dan justru politik lagi (sekali ini pilihan kembali ke politik praktis
dengan menjadi calon presiden) yang ikut menjatuhkannya dua puluh tahun
kemudian. Akhir 1999 adalah satu momen bahaya memang, seperti diakui oleh
para kiai senior, Sahal Mahfudh dan Kiai Muchith Muzadi, yang telah
memberikannya nasehat agar tidak maju mencalonkan diri pada jabatan nomor
satu negeri ini.

Menengok ke belakang, sungguh luar biasa bagaimana satu orang saja bisa
mempunyai pengaruh begitu besar dalam perpolitikan selama tiga puluh tahun
sementara mengemban amanat sebagai presiden hanya kurang dari dua tahun.

Sementara itu, orang akan terus berziarah di makamnya seperti halnya saat
mereka mencoba menyentuh mobil yang Gus Dur naiki seusai pengajian,
istighosah atau pertemuan lainnya. Bila orang berbicara tentang "barokah"nya
terkadang membuatnya tertawa, namun terkadang dia juga menyikapinya dengan
serius. Sesewaktu dia menarik tangannya dengan cepat bila orang ingin
mencium tangannya, namun di lain waktu dia juga membiarkan tangannya itu
dicium. Gus Dur selalu akan merupakan orang yang berbeda untuk orang yang
berbeda di masa yang berbeda. Dia akan tetap demikian.

Tak diragukan, bagaimanapun, di samping semua kekurangan yang akan
disebutkan orang, dia akan juga dikenang (tentunya saya akan mengenangnya)
sebagai seorang teman (bahkan pahlawan?) dari pluralisme dan kebudayaan
lokal. *

Penulis buku NU vis-à-vis Negara, Pencarian Bentuk, Isi dan Makna, LkiS,
1997.

Friday, December 2, 2011

Di Bawah Naungan Pohon Jati: Fragmen Kehidupan di Pesantren (2)

by Shohib Sifatar on Sunday, November 27, 2011 at 4:35am

Moh. Shohibuddin


Latar

Senori, desa kelahiranku, dan desa tetangganya tempat orang tuaku kemudian bermukim, Bangilan, merupakan daerah berkapur di Kabupaten Tuban yang seluruh penjuru wilayahnya dikelilingi oleh hutan-hutan jati. Karena itu dapat dikatakan bahwa jika secara kultural Senori adalah "desa santri" (lihat Fragmen Kehidupan di Pesantren 1), maka secara ekologis desa ini dan desa-desa sekelilingnya adalah "desa jati".

Geografi daerah ini memang bagian dari Pegunungan Kendeng Utara yang didominasi batuan gamping atau karst yang cocok sebagai habitat pohon jati. Kawasan karst ini membentang sepanjang garis pantura, meliputi Kabupaten Pati (bagian selatan), Grobogan (bagian utara), Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro (bagian utara) dan Lamongan (bagian barat). Air permukaan sangat minim di kawasan ini akibat sifat batuan kapur yang mudah meloloskan air. Tingginya tingkat porositas (lolosan) air, dan sifat batuan kapur yang mudah larut oleh air hujan, menciptakan banyak sekali rekahan alami yang membentuk gua-gua alam dengan stalaktit dan stalakmit yang menakjubkan. Proses alam yang sama juga menghasilkan jaringan sungai bawah tanah yang rumit dan unik di daerah ini.

Dari segi struktur tanah, daerah ini didominasi tanah kapur yang terbentuk dari proses panjang pelapukan batuan gamping. Tepatnya, jenis tanah di daerah ini adalah mediteran, yaitu campuran dari proses pelapukan batuan gamping dan batuan sedimen. Warna tanah jenis ini adalah kemerahan sampai coklat. Renzina adalah jenis tanah kapur lainnya  yang berwarna hitam dan miskin zat hara, seperti dijumpai di daerah Gunung Kidul (DIY). Meski tanah mediteran kurang subur untuk pertanian, namun jenis ini amat cocok untuk tanaman-tanaman tertentu seperti palawija, tembakau, jambu mete dan, termasuk juga, pohon jati.

Pohon jati, atau tectona grandis sp. dalam istilah latin, tumbuh dengan ideal pada tanah yang mengandung banyak kapur dan fosfor, memiliki kadar keasaman rendah (basa), dan tidak banyak tergenang air. Semua syarat itu ditemukan dengan baik di Senori dan desa-desa sekitarnya, sehingga pohon yang bernilai ekonomi tinggi ini dapat tumbuh subur dan mendominasi lanskap perbukitan setempat. Seperti disinggung di atas, kondisi inilah yang menyebabkan daerah ini dapat disebut sebagai "desa jati".

"Di bawah naungan pohon jati", dengan demikian, adalah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan pengaruh ekologi hutan jati terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, sebagaimana perumpamaan "di bawah naungan kitab kuning" menggambarkan pengaruh tradisi pesantren terhadap kehidupan sosial-budaya mereka. Berada di bawah dua "naungan" ini, pertanyaan yang selalu menggoda adalah bagaimanakah dua faktor ini (agro-ekologis dan kultural-ideologis) saling berinteraksi satu sama lain di daerah ini? Ini adalah pertanyaan besar yang menarik untuk dikupas lebih dalam, dan ia tidak akan cukup untuk sekedar disinggung dalam sebuah catatan pendek semacam ini.


Perjumpaan

Terkecuali para santri kalong, yakni mereka yang tetap tinggal di rumah orang tuanya di sekitar pesantren, kebanyakan santri, terutama yang berasal dari luar daerah, menetap di kompleks pemondokan pesantren. Mereka tinggal di bilik-bilik kecil yang disebut gothakan, terikat dengan berbagai aturan hak dan kewajiban santri, mengikuti rutinitas pengajian di ndalem kyai dan sekolah di Madrasah, dan sebagainya.

Namun para santri di Senori tidak pernah terkucil dari kehidupan luarnya. Sebagai misal, sebagian santri harus mencari sumber penghidupan dengan bekerja pada warga desa sekitar, mereka juga mengurus sendiri belanja dapurnya dengan pergi ke pasar yang buka tiap hari Pon dan Kliwon dalam penanggalan Jawa, mereka berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan keagamaan desa, dan masih banyak lagi interaksi sosial dengan warga di luar pesantren. Lagi pula, para santri juga tidak pernah mau ketinggalan jika ada layar tancap di lapangan Sendang atau Wanglu Kulon; dan bilamana putaran kompetisi bulu tangkis atau sepak bola sedang berlangsung, atau Mike Tyson akan bertanding tinju, maka rumah-rumah warga desa yang memiliki televisi akan dipadati oleh para santri yang berjubel menonton.

Maka mondok di pesantren tidak membuat para santrinya berada di luar "naungan pohon jati" sama sekali. Pesantren adalah satu rumah tangga juga (atau tepatnya himpunan rumah tangga), sebagaimana halnya rumah tangga warga desa pada umumnya. Dan banyak sekali kebutuhan rumah tangga berasal dari hutan jati sekitar, baik yang terkait dengan kebutuhan pangan, papan atau energi. Rumah tangga pesantren-pesantren di Senori juga tidak terlepas dari situasi ini, meski lokasinya berada di pusat kota kecamatan dan tidak berbatasan langsung dengan kawasan hutan jati. Pesantren-pesantren itu turut pula menjadi situs dari sirkulasi aneka barang yang berasal dari hutan jati, berikut aneka gagasan, regulasi dan agensi yang menyertainya. Dus, perjumpaan dengan hutan jati dalam aneka manifestasinya turut membentuk kehidupan sehari-hari para santri; dan dalam arti itu, maka ia merupakan sebuah kenyataan rutin ketimbang perkecualian.

Bahwa bangunan pesantren dan Madrasah, demikian pula meja, kursi dan papan tulis, kebanyakan atau semuanya terbuat dari kayu jati, barangkali hal itu dianggap given oleh para santri. Semua itu sudah ada sebelum mereka datang ke pesantren, dan diterima sebagaimana adanya. Namun, tentulah tidak demikian halnya dengan hal-hal yang terkait dengan kebutuhan subsistensi mereka, yakni kebutuhan makan mereka sehari-hari. Pada saat saya mondok di Senori paroh akhir 1980-an, hampir semua tahapan dalam penyiapan makanan tak terlepas dari interaksi dengan benda-benda yang berasal dari hutan jati, mulai dari tahap belanja bahan masakan, proses memasaknya, hingga makanan dihidangkan dan siap dikonsumsi.

Daun jati adalah bungkus semua jenis makanan yang amat populer di daerah ini, bahkan hingga saat ini (lihat foto di bawah). Dalam kondisi masih segar (basah), daun ini bukan hanya berfungsi sebagai pembungkus. Ia juga digunakan sebagai pemberi aroma dan penambah rasa pada masakan tertentu. Sayur gulai (atau becek dalam istilah setempat) akan memiliki rasa dan aroma yang lebih nikmat jika dituangkan panas-panas pada nasi yang ditaruh di atas daun jati. Demikian pula sayuran lodeh, demikian pula nasi rames, nasi pecel, dan banyak masakan lain yang menggunakan kuah santan. Para santri, yang anggaran belanjanya selalu terbatas, akan mengoptimalkan kiat ini untuk bisa makan enak. Salah satu fragmen ritual makan di pesantren yang saya alami sewaktu mondok melibatkan tahapan berikut ini.

Kelompok masak saya pada satu kesempatan bermaksud memasak sayur lodeh buah labu, artinya buah itu dimasak dengan bahan santan. Anggota kelompok pun segera berbagi tugas. Ada yang pergi berbelanja ke pasar membeli cikalan (kelapa tua yang sudah dikupaskan), ada yang membersihkan panci dan mencuci beras (mususi), dan ada yang pergi ke sungai di belakang pesantren untuk mencari serpihan kayu jati dan ranting bambu sebagai bahan bakar--syukur jika berhasil pula menemukan jamur liar.
Setelah semua anggota kelompok berkumpul kembali dan siap memulai kegiatan memasak, maka inilah pernik-pernik bagian hutan jati yang dipergunakan dan mengalami perubahan wujud (konversi) selama proses memasak para santri. Tidak mampu membeli rencek, yakni kayu jati yang sudah dikampak menjadi potongan-potongan kecil untuk bahan bakar, serpihan kayu jati yang telah dipungut dari pinggiran sungai digunakan sebagai bahan bakar utama memasak. Untuk menyalakannya, kadangkala minyak tanah dipergunakan sebagai pemicu awal. Namun minyak tanah adalah bahan energi utama untuk penerangan di malam hari, dan santri yang hemat akan memanfaatkan daun-daun jati kering dan ranting bambu untuk memulai pembakaran.
Dalam tulisan sebelumnya sudah saya sampaikan bagaimana makanan dihidangkan di nampan dan para santri jongkok berkeliling untuk menyantapnya. Di sini perlu saya tambahkan bahwa bilamana sayuran itu berbahan santan, seperti masakan lodeh buah labu di atas, maka nampan akan dialasi terlebih dulu dengan susunan daun-daun jati segar. Baru setelah itu nasi dan sayuran dituangkan di atasnya, dibiarkan beberapa saat supaya aroma daun jati meresap, dan hidangan pun siap dinikmati. Tambahan lain, cara kami memasak sayur lodeh saat itu amatlah unik. Setelah kelapa diparut dan kemudian diperas untuk diambil santannya, maka ampasnya tidak dibuang melainkan dimasukkan sekalian ke dalam kuali dan menjadi bahan sayur itu sendiri.. :)

Bukan hanya barang-barang dari hutan jati yang mendatangi pesantren, namun juga orang-orangnya. Teman santri saya yang berasal dari Jatirogo dan Parengan berasal dari desa di pinggir kawasan hutan jati. Dan keduanya tidak sendirian. Ada kawan dari Mlagen di Pamotan, Rembang yang saya rasa juga merupakan desa yang berbatasan langsung dengan hutan jati. Beberapa kawan dari Bojonegoro juga berasal dari desa dengan ciri serupa. Dan masih ada beberapa lagi. Mereka ini berasal dari desa-desa yang interaksinya dengan hutan jati demikian erat, berbeda dengan pusat Kecamatan Senori (yakni, Jatisari, tempat pesantren kami berada) yang tidak berbatasan langsung dengan hutan jati. Sebagai anak kecil (saya mulai mondok saat usia 11 tahun dan keluar pada usia 15 tahun), saya belum begitu maklum mengenai masalah pelik yang terjadi di desa-desa semacam itu, selain berita sayup-sayup yang kadangkala saya dengar mengenai "pencurian" kayu oleh para blandong. Baru beberapa tahun kemudian, setelah meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan sekolah di luar, saya dapat memahami lebih mendalam konflik agraria yang mewarnai desa-desa sekeliling hutan jati itu yang ternyata sudah berusia panjang sejak era kolonial.

Demikianlah, ilustrasi mengenai barang-barang dan orang-orang dari kawasan hutan jati yang datang ke pesantren. Dan dalam contoh terakhir, yang datang itu juga mewujud sebagai regulasi dan ideologi: bahwa ada hukum tertentu yang mengatur hutan jati, dan mengambil kayunya dapat dianggap sebagai tindakan "mencuri".

Perjumpaan pesantren dan hutan jati tidak hanya bersifat satu arah. "Arus balik" juga terjadi, dalam arti para santrilah yang mengunjungi hutan jati, baik sekedar sebagai "perlintasan" maupun sebagai "tujuan". Dalam arti paling sederhana, mendatangi hutan jati sebagai perlintasan adalah sekedar melewati hutan jati dalam suatu perjalanan. Tidak ada yang istimewa dari hal ini karena ke arah manapun seseorang meninggalkan desa Senori dari titik perempatan jalan di pusat kotanya, perjalanannya itu pasti akan melewati pinggiran hutan jati. Toh, cuma melewati hutan jati tidaklah tanpa makna sama sekali. Saya selalu mengalami perasaan syahdu yang sulit dijelaskan kalau melewati hutan jati Nglirip yang teduh dan senyap dalam perjalanan menuju Tuban, misalnya. Saya juga selalu senang jika diajak Mbah Yik mengambil uang pensiun di kantor pos Jatirogo karena kami akan naik kereta api melewati areal hutan jati yang cukup panjang (bahkan monyet-monyet liar yang berlompatan di pohon bisa saya saksikan dari balik jendela kereta saat itu).

Salah satu penyakit yang biasa dialami para santri pada masa itu adalah penyakit kulit, mulai dari gatal-gatal sampai korengan. "Belum sah seseorang mondok kalau belum pernah mengalami penyakit kulit," demikian pameo yang biasa diujarkan. Pernah satu ketika penyakit ini berjangkit seperti wabah, dan hampir semua santri menderitanya pada saat bersamaan. Pengobatan yang biasa dilakukan para santri adalah pergi ke nganget, yakni pemandian air panas alami yang mengandung belerang. Lokasi nganget yang terkenal di Kabupaten Tuban berada di Desa Nganget, Kecamatan Parengan. Di tempat ini terdapat pusat perawatan penderita kusta yang konon sudah berdiri sejak jaman Belanda. Namun, Bapak saya biasanya tidak membawa saya berobat ke tempat yang sudah tersyohor itu, melainkan ke nganget terdekat yang berada di Kecamatan Bangilan, tepatnya di Mojo, desa Sidorejo. Kedua nganget ini, baik yang terkenal maupun bukan, berada di dalam kawasan hutan jati.

Sepanjang riwayat saya mondok di Senori, sudah beberapa kali saya terjangkit penyakit kulit ini. Jika diajak berobat ke nganget Mojo, Bapak akan memboncengkan saya naik sepeda, melewati Sambong Lombok di mana pemerintah kolonial dulu membangun bendungan irigasi (yang tetap bertahan kuat sampai sekarang, meskipun airnya sudah tidak ada lagi), sampai kemudian perjalanan bersepeda berakhir saat tiba di stasiun kereta api Mojo. Di sini sepeda harus dititipkan karena perjalanan selanjutnya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalur setapak dalam kawasan hutan jati. Ada dua kolam air panas yang bisa ditemui di nganget Mojo ini yang dijuluki dengan nganget lanang dan nganget wadon. Keduanya berbeda dalam tingkat kepanasannya, tetapi saya sudah lupa manakah di antara dua nganget itu yang lebih panas. Saya ingat bagaimana antusiasme saya saat menempuh perjalanan kaki ke nganget Mojo karena inilah pertama kali saya masuk dan berjalan di tengah hutan. Dalam kesempatan lain ketika datang kembali ke tempat ini, juga bersama Bapak saya, kami berpapasan dengan beberapa orang yang bergegas lari meninggalkan hutan. Ternyata hari itu sedang dilakukan operasi oleh mantri hutan, meskipun kami sendiri tidak berjumpa dengan para petugas tersebut sepanjang hari itu.

Bila digambarkan dalam sebuah peringkat, maka pengobatan kulit ini hanyalah tangga paling bawah dalam tujuan santri mendatangi hutan jati. Dalam pendakian menuju tangga yang lebih tinggi, maka tujuan itu lebih bersifat spiritual untuk penyucian diri, atau paling tidak terkait dengan kegiatan religius. Bagi mereka yang pernah mengecap dunia pesantren, tradisi menyepi (khalwat) tentulah pernah didengar dan bukan sesuatu yang dianggap aneh. Salah seorang santri senior saat saya mondok dulu sering pergi malam-malam, dengan hanya berbekal teplok sebagai alat penerangan, ke kompleks pekuburan di belakang pesantren. Ia menyepi untuk menghafalkan Alfiyah, yakni kaidah gramatikal bahasa Arab berbentuk sajak berlagu dengan jumlah bait sebanyak 1000 buah.

Bentuk menyepi lain adalah yang memang bertujuan laku tirakat, mendekatkan diri pada Tuhan. Saya tidak tahu tempat-tempat khusus di kawasan hutan jati yang biasa dipakai ber-khalwat untuk tujuan ini. Yang jelas, dalam persepsi kultural orang Jawa, hutan selalu dianggap sebagai tempat menyepi dan menempa diri untuk memperoleh entah "kesaktian" atau "kesucian diri" (tergantung niat yang bersangkutan). Satu hal yang saya tahu pasti, makam beberapa ulama terkenal yang sering diziarahi masyarakat berada di pinggiran hutan jati. Salah satunya adalah makam Mbah Jabbar di pertigaan Bakalan. Pada saat-saat tertentu, makam Mbah Jabbar ini banyak dikunjungi oleh para penziarah dari berbagai daerah, sementara acara haul (peringatan hari wafat) beliau yang dilaksanakan di Jojogan selalu ramai dipadati pengunjung. Tentunya, termasuk para santri Senori yang tidak akan melewatkan acara penting ini. Paman jauh saya yang kini tinggal di Jombang satu ketika pernah menyatakan keinginannya menghabiskan masa tua di Jojogan, untuk menyepi di sana dan ngrumati peninggalan Mbah Syahid. Mbah Syahid adalah leluhur kami, dan merupakan ayah mertua dari beberapa pendiri pondok pesantren di Senori, yang semasa hidupnya mewakafkan sejumlah tanah untuk kepentingan agama.

Demikianlah, ada "keakraban" dalam perjumpaan pesantren dengan hutan jati. Suatu keakraban yang dibentuk mulai dari rutinitas harian di mana barang-barang dari hutan jati mendatangi pesantren, hingga sebaliknya, para santri penghuni pesantren itu sendiri yang mengunjungi hutan jati, baik dalam arti fisik maupun spiritual.


Benturan

Dari rumah saya menuju stasiun kereta api Bangilan, ada dua tempat terkait hutan jati yang akan dilewati jika mengikuti rute jalan setapak, dan bukannya berkendaraan melalui jalan raya. Kedua tempat itu menimbulkan reaksi yang berbeda pada diri saya semasa masih anak-anak. Tempat pertama adalah bangunan perkantoran yang papan namanya berwarna hijau tua dihiasi logo akar pohon jati, namun yang tulisannya menunjukkan urutan hirarki yang selalu mengherankan saya. Pasalnya, urutannya tidak sesuai dengan tingkatan desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi yang saya hapal baik. Sebagai kanak-kanak, saya pernah membubuhkan alamat demikian pada buku tulis saya: "Desa Bangilan Kecamatan Bangilan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur Indonesia ASEAN PBB Bumi" (seolah-olah urutan itu berada dalam satu kategori). Tetapi urutan yang tertulis di papan nama itu tidaklah demikian sehingga selalu menimbulkan reaksi rasa heran setiap kali saya lewat dan membacanya.

Saat kecil saya memang tidak peduli kantor apakah itu. Yang saya peduli adalah, teman baru saya di sekolah tinggal di sebuah rumah dalam kompleks kantor itu, dan kalau saya main ke rumahnya saya bisa memetik pohon arbei di halaman belakang, dan mencicipi abon sapi dan saos tomat botolan yang untuk pertama kali saya lihat sewaktu di rumahnya itu. Saya juga dapat membawa pulang tumpukan kertas bekas dari kantor ayah kawan saya itu, antara lain yang saya masih ingat berupa buku ukuran folio yang penuh dengan tabel-tabel isian. Saya menyesal tidak hapal lagi nama teman itu, tetapi saya tetap ingat pekerjaan ayahnya: sinder. Sayang, tidak lama kemudian ayahnya dipindahtugaskan, dan kepergiannya ke tempat dinas baru itu diantarkan oleh banyak tetangga, termasuk orang tua saya. Setelah kepergian ayah teman saya itu, sepanjang ingatan saya tidak pernah lagi terdapat keakraban serupa antara pegawai di kantor itu dengan masyarakat sekitar.

Tempat kedua yang akan dilewati adalah bangunan yang tepat berada di seberang stasiun, dipisahkan oleh beberapa jalur lintasan kereta api (spoor), selokan lebar, dan hamparan tanah yang dipenuhi tanaman liar. Kami mengenalnya dengan sebutan TPK, dan seiring pertambahan usia saya kemudian mengerti kepanjangannya: Tempat Penyimpanan Kayu. Yang kini saya bisa kenang dari tempat itu adalah bangunan yang tinggi dan panjang tanpa dinding, di dalamnya penuh tumpukan kayu-kayu jati besar, sebagian tampak berusia sangat tua. Di sekeliling bangunan itu berdiri kokoh pohon-pohon besar yang rerimbun kanopinya membuat bangunan TPK itu terlihat gelap dan menakutkan. Perasaan angker adalah reaksi yang saya alami semasa kecil setiap kali melewati bangunan ini. Jadi, meski saat kecil itu saya sering bermain di lingkungan stasiun (antara lain untuk melindaskan paku di rel menjelang kereta lewat sehingga menghasilkan bentuk parang mini), namun saya tidak berani mendekati bangunan TPK yang terlihat angker itu.

Saat menginjak sekolah menengah saya mulai paham bahwa kedua tempat itu saling berkaitan, yakni milik Perhutani. Dan bahwa hutan jati yang biasa saya datangi kalau berobat ke nganget itu ternyata ada yang memiliki. Dan bahwa apa yang saya anggap sebagai urutan hirarki yang aneh pada papan nama itu adalah hirarki pemangkuan hutan dalam rangka Perhutani menjaga hutan kepunyaannya itu. Saya kemudian menjadi paham apa makna "pencurian" kayu oleh blandong. Terutama setelah saya menyaksikan satu kejadian ketika kantor ini dipenuhi petugas bersenjata api, dan ternyata mereka sedang persiapan operasi penertiban "pencurian" kayu.

Nalar saya saat itu tentu saja belum sampai pada tahap mempertanyakan klaim "kepemilikan" hutan jati oleh Perhutani. Toh, secara intuitif saya merasa bahwa dalam arti tertentu, "pencurian" itu dapat dibenarkan, atau setidaknya dapat dimaklumi. Secara jlentreh, saya belum mampu merumuskan sikap peraguan saya saat itu, namun barangkali dapat dibahasakan dalam bentuk sejumlah pertanyaan yang kurang lebih sebagai berikut. Apabila masyarakat demikian kuat ketergantungannya pada hutan jati seperti yang tercermin pada contoh-contoh di atas, bagaimana mungkin hutan itu tidak boleh mereka manfaatkan? Dari manakah masyarakat memenuhi kebetuhan terkait pangan, papan, dan energi selain mengandalkan bahan-bahan yang dapat diperoleh dari hutan jati? Apakah semua kegiatan masyarakat memenuhi semua kebutuhan itu dari hutan jati dapat disebut "pencurian"?

Pertanyaan-pertanyaan demikian menunjukkan bahwa makna "perjumpaan" seperti yang dipaparkan di atas tidak hanya terwujud dalam bentuk keakraban, namun juga benturan! Itulah benturan ideologi yang terwujud, misalnya, dalam ambigunya definisi "pencurian" yang secara samar-samar dan masih terpendam mulai saya ragukan waktu itu. Apakah "pencurian" pada hutan jati oleh masyarakat sama artinya dengan definisi pencurian yang hukumnya haram seperti saya pelajari di pesantren, dan yang pada masa Nabi harus dihukum potong tangan itu? Tetapi jika begitu, mengapakah saya saksikan beberapa keluarga yang saya kenal, termasuk keluarga kyai, membeli kayu dari blandong untuk membangun rumahnya? Mengapakah pula gamping dibeli untuk adonan bahan bangunan atau untuk nglabur (mengecat) dinding dan pagar, padahal ia ditambang dari areal kawasan hutan milik Perhutani? Dan bukankah kayu bakar yang dibeli dari pedagang rencek diambil dari hutan jati dengan cara yang sama dan dapat dianggap sebagai "pencurian" juga?

Bukan hanya secara ideologi, benturan itu juga hadir dan mewujud secara material. Benda-benda yang berasal dari hutan jati dan mendatangi pesantren ternyata tidak semuanya berupa barang-barang yang baik dan berguna (goods), tetapi juga yang buruk dan menimbulkan kerugian (bads). Salah satunya berwujud banjir bandang yang melanda sungai di belakang pesantren kami, seperti pernah saya saksikan semasa saya mondok di Senori. Saat itu, hujan deras yang terjadi di daerah hulu telah menggelontorkan jutaan kubik air bercampur lumpur yang memenuhi badan sungai, dan bersamanya turut hanyut gelondongan kayu jati, bekas tebangan dan cabang pohon jati, rumpun pohon bambu yang tergerus dari tebing sungai, dan puluhan macam benda-benda lainnya. Banjir bandang itu, berikut benda-benda dari hutan jati yang dihanyutkannya, memberi petunjuk mengenai sejauh mana eksploitasi yang telah berlangsung di sana.

Padahal di hari-hari normal, dasar sungai yang cukup lebar itu hanya sedikit saja yang digenangi air, yakni pada alur-alur kecil yang dialiri gemericik air dangkal; menyisakan lebih banyak lagi gundukan tanah yang tak terendam air. Bagian yang tak terendam itu banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk berbagai kegunaan. Ia menjadi sumber nafkah bagi para penggali pasir jika kebetulan memiliki kandungan pasir yang cukup banyak. Jika tidak, dan lebih banyak mengandung tanah subur, maka penduduk menanaminya dengan tanaman musiman seperti jagung atau kacang-kacangan. Sementara aliran airnya dimanfaatkan penduduk untuk mencuci pakaian dan buang hajat besar, namun bukan untuk mandi. Khusus untuk keperluan terakhir ini mereka melakukannya di sungai yang sama, namun dengan cara yang berbeda seperti akan diuraikan di bawah.

Bagi para santri, sungai ini juga memiliki fungsi yang amat penting. Di atas telah disiratkan bahwa melalui sungai inilah para santri terhubung ke hutan jati untuk dapat memperoleh serpihan dan potongan kayu jati yang mengapung-apung mengikuti arus air atau yang terdampar di pinggiran sungai. Apabila sungai ini belum lama sebelumnya mengalami banjir, meski tak selalu sebesar seperti digambarkan di atas, maka potongan-potongan kayu itu banyak ditemukan tersangkut di tebing-tebing sungai sehingga dapat diambil lebih mudah tanpa harus turun ke dasar sungai. Melalui cara itulah para santri memenuhi kebutuhan mereka akan kayu bakar. Ada satu cerita yang pernah saya dengar bahwa seorang santri pernah mengambil potongan-potongan kecil kayu bekas nisan yang hancur dimakan rayap dan banyak tercecer di lokasi pekuburan, dan lantas menggunakannya untuk kayu bakar. Tak lama kemudian ia jatuh sakit tanpa bisa diketahui apa jenis penyakitnya sehingga para santri kemudian mengaitkan penyakit itu dengan ulahnya membakar kayu bekas nisan. Karena cerita dari santri senior itulah kami memilih untuk bersusah payah mencari serpihan kayu-kayu jati di sungai ketimbang memungut potongan-potongan kayu bekas nisan di pekuburan.

Ada fungsi lain dari sungai ini bagi santri, yaitu sebagai tempat mandi. Di pesantren tentu sudah disediakan beberapa bilik kecil untuk tempat mandi. Tapi jumlahnya tidak mencukupi untuk semua santri, terutama di pagi atau sore hari saat banyak orang ingin membersihkan diri pada waktu bersamaan. Bagi santri yang tidak kebagian tempat atau yang giliran antrinya terlalu lama, maka alternatifnya adalah pergi mandi di sungai. Hal yang sama bahkan menjadi pilihan utama pada saat kemarau panjang, dan sumur di pondok mengalami kekeringan. Pada kondisi demikian, maka air yang cuma tersedia terbatas di sumur akan diprioritaskan untuk kebutuhan minum dan masak.

Mandi di sungai adalah satu pengalaman tak terlupakan bagi saya. Bahkan, ada nuansa "eksotisme" tersendiri di sana. Bayangkan, mandi bugil di sungai, kadang berdampingan berdua, tanpa seorang pun memiliki pretensi apa-apa dengan aktivitas itu--ya, tentunya selain mandi itu sendiri, yakni membersihkan dan menyegarkan badan. Bukan hanya santri, namun penduduk sekitar juga melakukan hal yang sama. Hanya orang yang berpikiran jorok saja yang akan menganggap aktivitas itu sebagai pornografi!

Selain eksotis, mandi di sungai adalah satu seni sendiri. Mengapa begitu? Sebab, hal itu tidak dilakukan di bagian aliran sungainya, melainkan di bagian yang tidak terendam air dan berpasir. Di tempat itulah digali sumur-sumur kecil dengan kedalaman hanya setengah sd.1 meter saja. Air akan segera keluar deras dari lubang sedangkal itu karena perbedaan permukaan air dengan bagian sungai yang digenangi/dialiri air. Sumur itu perlu terlebih dulu dilindungi dengan tumpukan batu-batu sebesar kepalan tangan untuk menjaga agar pasirnya tidak melorot dan menutupi kembali lubang yang sudah digali. Selanjutnya, air yang masih keruh itu (karena teraduk begitu rupa saat melakukan penggalian) harus dikuras terlebih dulu sampai habis sehingga air yang muncul kemudian adalah air bening karena tersaring oleh pasir dan batu di sekeliling dinding sumur. Dengan begitu, selesailah pembuatan sumur kecil itu dan menjadi apa yang dalam bahasa setempat disebut belik. Di belik inilah kegiatan mandi dilakukan dengan cara berjongkok agak menjauh dari pinggir bibir belik.

Meskipun orang yang membuat belik berhak untuk terus menggunakannya selama sumur kecil itu masih ia rawat, namun ia tidak punya hak eksklusif terhadapnya. Jika ia tidak sedang menggunakannya, maka orang lain pun boleh menggunakan belik tersebut. Terkadang, dua-tiga orang mandi bersama dari belik yang sama. Bagi santri, di sinilah seninya mandi di belik. Mereka telah belajar di pesantren mengenai perbedaan antara air yang suci dan bisa mensucikan, air suci namun tidak bisa mensucikan, dan air yang terkena najis. Salah satu yang membuat air suci tidak bisa mensucikan adalah kalau dia sudah pernah dipakai (air bekas), alias air musta'mal. Oleh karena itu, santri yang mandi di belik akan berusaha keras untuk tidak membuat guyurannya terpercik kembali ke dalam belik, apalagi sampai bekas air yang dipakainya mengalir ke arah belik. Dan di sinilah terletak seninya! Maka mandi di belik menjadi sebuah ritual yang penuh kehati-hatian bagi seorang santri: dengan gayung yang berlengan panjang dia menyendok air dari belik dengan hati-hati, dan kemudian mengguyurkannya ke anggota tubuh dengan pelan-pelan. Dilakukan dengan cara berbeda, maka air dalam belik itu akan menjadi air musta'mal karena volume belik yang kecil, yakni memuat air kurang dari ukuran dua qulah (setara 270 liter) sebagai batas yang akan membuat percikan semacam itu dapat ditoleransi. Dengan kehati-hatian itu, maka orang yang melihat dari atas tebing sungai sudah bisa membedakan apakah orang yang mandi di belik itu mengikuti ketentuan Fathul Qarib (kitab standar ilmu fiqh yang dipelajari di pesantren) ataukah tidak... :)

Kembali ke banjir bandang tadi, gelontoran air bercampur lumpur yang membawa serta berbagai macam benda yang diterjangnya sepanjang perjalanan membuat semua fungsi sungai di atas lenyap seketika. Para penggali pasir kehilangan mata pencahariannya. Tanaman musiman yang diusahakan penduduk di badan sungai yang tidak tergenang air lenyap tanpa sisa. Demikian pula, belik-belik turut musnah dihantam terjangan arus air. Bahkan setelah banjir surut, dan dasar sungai muncul kembali, akan butuh waktu beberapa lama untuk bisa menghasilkan belik dengan air yang jernih seperti semula. Sebab, lumpur yang mengendap di dasar sungai kadangkala cukup tebal dan tidak akan lenyap dalam waktu singkat, dan hal itu akan membuat air belik berwarna keruh.

Lebih parah lagi, banjir bandang besar yang sekali pernah saya saksikan selama mondok itu juga membuat beberapa bagian tebing sungai runtuh karena erosi, membawa hanyut semua yang ada di atasnya. Yang menyedihkan, beberapa makam yang berada di pinggir tebing sungai saat itu ada yang turut runtuh dan lenyap tanpa bekas. Dalam masyarakat di mana tradisi ziarah ke makam para leluhur dan ulama demikian kuat, saya tidak bisa bayangkan kehampaan rohaniah dari keluarga-keluarga yang makam leluhurnya tiba-tiba lenyap itu. Beberapa kilometer ke arah hilir, banjir yang sama juga menyebabkan longsor dan amblesnya satu ruas jalan raya di pertigaan lapangan Wanglu Kulon. Ruas jalan raya itu tepat berada di titik kelokan badan sungai. Terkena terjangan lurus arus banjir bandang, tebing sungai di titik kelokan itu pun runtuh dan memicu longsor pinggiran sungai dalam jarak yang cukup luas.


Tantangan

Pengalaman perjumpaan sebagaimana terperi di atas merupakan kenyataan yang dialami oleh pesantren-pesantren di Senori--yang secara ekologis memang berada di bawah "naungan pohon jati". Pengalaman itu adalah nyata, tak bisa diingkari, melibatkan baik "keakraban" maupun "benturan" pada berbagai tingkatan: mulai dari sirkulasi barang dan ideologi hingga interaksi antar pelaku. Ia juga menghasilkan tidak hanya goods, tetapi juga bads. Pertanyaannya kemudian, sejauh manakah pengalaman riil itu secara sadar dijadikan basis empiris untuk sebuah refleksi teologis? Dengan kata lain, dijadikan titik tolak untuk sungguh-sungguh bisa menghasilkan respon keagamaan yang otentik?

Pertanyaan ini tentu tidak dapat dijawab dengan mudah dan singkat, dan butuh serangkaian tulisan tersendiri untuk merefleksikannya. Namun sebagai santri yang selama mondok mengalami ketegangan berbagai perjumpaan di atas, dan saat ini berada dalam posisi cukup berjarak (secara waktu dan tempat) untuk merefleksikannya, maka tidak ada salahnya apabila dalam kesempatan ini saya ingin berbagi kegelisahan. Dengan harapan, hal itu kiranya dapat dianggap sebagai satu tantangan untuk mewujudkan refleksi teologis sebagaimana dimaksud di atas.

Ada dua poin yang ingin saya kemukakan di sini. Pertama, ambiguitas makna "pencurian" sebagaimana terungkap dalam benturan ideologis yang diuraikan di atas bagi saya menunjukkan pentingnya pengembangan sebuah "fiqh agraria" yang baru. Sebuah fiqh yang menyadari bahwa dalam konteks daerah tropis tanah itu sendiri yang bernilai pada dirinya sendiri, dan yang memungkinkan penghidupan sejumlah besar smallholders. Jadi, bukannya air atau oase atau aflaj yang menjadi penentu nilainya, seperti ditemukan dalam konteks daerah arid di Timur Tengah. Bagaimanakah nalar dasar dari "fiqh agraria" yang kental dengan symptom daerah arid ini dapat ditafsir ulang sehingga relevan dan kontekstual untuk daerah tropis? Tidakkah absennya upaya rekontekstualisasi ini yang agaknya membuat Pengurus Syuriyah PBNU pada tahun 1961 mengharamkan land reform (tepat pada tahun yang sama ketika program ini dicanangkan pelaksanaannya oleh pemerintah) karena secara naif dianggap melanggar himayatul mal (melindungi property) yang menjadi salah satu tujuan Syariah?

Apabila logika keputusan ini secara formal diikuti, maka--kembali ke kasus hutan jati di atas--mengambil benda-benda dari hutan jati untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari juga haram hukumnya karena melanggar hak milik pihak lain. Namun secara faktual hal ini berlawanan dari kenyataan sehari-hari yang saya saksikan dan alami. Praktik pembelian ramuan rumah berupa kayu, papan dan gamping, demikian pula kayu bakar untuk memasak, ternyata dilakukan secara luas dan tidak pernah dilarang sebagai sebuah perbuatan haram. Padahal semua benda itu berasal dari kawasan hutan jati, dan pengambilannya melibatkan cara-cara yang bisa dianggap "mencuri" dan "melanggar hak milik" dalam penalaran formal di atas.

Apa yang hilang dari penalaran formal semacam itu adalah kesadaran untuk melakukan historizing property relations, yakni memahami dan mempersoalkan relasi-relasi kepemilikan itu dalam konteks sejarah pembentukannya. Dalam pemahaman demikian, relasi-relasi kepemilikan tidak diterima begitu saja sebagai sesuatu yang given, melainkan dianggap memiliki asal-usul dan sejarahnya sendiri, yang jika ditelusuri seringkali berupa sejarah ketidakadilan dan perampasan (enclosure). Konsekuensinya, tampilan struktur kepemilikan tertentu pada satu titik waktu sama sekali bukan merupakan kenyataan alamiah (apalagi Ilahiah) yang tidak bisa digugat dan dipersoalkan (terlebih jika ia mencederai prinsip-prinsip keadilan), dan bahwa upaya untuk memperbarui relasi kepemilikan itu agar strukturnya lebih adil secara fundamental tidak bisa diidentikkan dengan tindakan merebut hak kepemilikan.

Dalam kasus hutan jati, struktur ketidakadilan agraria itu terjadi akibat warisan kebijakan kolonial yang menjadikan Perhutani "tuan tanah" di pulau Jawa yang demikian padat penduduk (pulau terpadat di dunia). Perhutani menguasai bukan saja tanah jutaan hektar namun juga seluruh tanaman dan sumberdaya di atasnya, dan dengan begitu ia dengan leluasa menentukan hubungan-hubungan produksi yang lazimnya amat merugikan warga desa-desa di sekitarnya. Apabila etos dasar agama Islam adalah rahmatan lil 'alamin, membawa rahmat bagi segenap alam, maka bukankah mengupayakan"keadilan agraria" (agrarian justice) pada konteks struktur ketidakadilan semacam itu seharusnya menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dari pengertian rahmat itu?

Kedua, kejadian banjir bandang besar akibat kerusakan ekologis di daerah hulu seperti saya saksikan dulu bukanlah yang terakhir dan bisa terulang lagi, bahkan dalam frekuensi dan intensitas yang lebih tinggi sehubungan dengan pengaruh pemanasan global. Perubahan iklim global ini juga akan menciptakan ketidakpastian iklim pada tingkat lokal sehingga pergantian musim tidak bisa diprediksi lagi secara ajek, dan bencana banjir dan kekeringan pun akan menjadi ancaman yang nyata. Daerah berkapur seperti wilayah Tuban, yang sangat sedikit memiliki air permukaan, tentunya akan terkena dampak yang buruk dari perubahan iklim semacam ini.

Sudah lama sebenarnya ancaman kekeringan telah menjadi kenyataan yang dialami masyarakat daerah ini. Sungai irigasi pertanian yang membentang melewati Kecamatan Senori dan Bangilan dulu airnya berlimpah dan sering saya gunakan untuk bluron (mandi di sungai) bersama teman-teman sebaya. Saat ini sungai itu tak ubahnya seperti selokan yang berbadan lebar karena airnya sudah tidak mengalir lagi. Desa Sendang, sesuai namanya, dulu merupakan daerah yang menjadi jujukan (tempat yang dituju) desa-desa lain jika terjadi kemarau panjang. Rumah Bibi saya di desa ini halamannya dulu banyak dijadikan kolam ikan karena persediaan air yang mencukupi sepanjang tahun. Namun kondisi desa ini sekarang tidak jauh berbeda dari desa-desa lainnya. Dan bendungan Sambong Lombok bikinan pemerintah kolonial itu, demikian pula bendungan di perbatasan Kecamatan Bangilan dan Senori, sekarang menyerupai monumen gigantik belaka karena sudah tidak ada airnya. Semua perubahan ini praktis mengubah siklus pertanian di daerah ini karena tidak semua areal sawah dapat diairi lagi secara cukup. Akibatnya, sebagian besar areal sawah berubah menjadi sawah tadah hujan. Sementara itu, kebakaran hutan jati yang dulu kerap terjadi di masa kemarau (dan kalau malam hari menjadi tontonan jarak jauh yang menarik bagi saya) barangkali akan lebih sering lagi terjadi di masa depan dengan aneka konsekuensinya.

Berbagai manifestasi perubahan alam ini, yang di Senori dan daerah sekitarnya dialami secara nyata oleh masyarakat dan bukan sekedar dilihat di layar televisi, bagi saya menuntut kalangan pesantren untuk dapat mengembangkan cabang ilmu keislaman yang baru. Kalau dulu saat di pesantren saya belajar kitab Ta'limul Muta'allim mengenai etika belajar santri, atau kitab Ayyuhal Walad mengenai etika berbakti anak kepada orang tua, atau kitab-kitab akhlak lainnya (Akhlaq lil Banin untuk santri putra dan Akhlaq lil Banat untuk santri putri), maka agaknya kini diperlukan juga ilmu akhlak yang memedulikan secara khusus soal air ini, misalnya. Sebagai ilustrasi, kembali ke kasus belik di atas, jika ajaran pesantren demikian peduli dengan percikan air mandi yang dapat menodai belik dan menjadikan airnya musta'mal, maka mengapakah ia tidak harus peduli dengan ancaman gelontoran banjir bandang yang bukan saja akan menodai belik namun bahkan melenyapkannya sama sekali?

Dengan demikian, pembahasan mengenai air tidak lagi hanya menjadi bagian dari Kitabut Thoharoh (bab bersuci) dalam literatur fiqh, namun harus dikembangkan menjadi satu bab tersendiri, atau satu buku sendiri, dan bahkan menjadi satu sub disiplin sendiri dalam tradisi keilmuan pesantren. Misalnya saja, "ilmu akhlak air" atau water ethics, yakni akhlak seputar pengelolaan, pengalokasian, penggunaan, dan distribusi air yang lestari dan adil. Dalam literatur Islam klasik, bahan yang dapat diolah untuk mengembangkan water ethics ini sangatlah berlimpah. Ingat saja kisah seorang pelacur yang masuk surga "hanya" gara-gara dia memberi minum anjing yang hampir mati kehausan (sementara di Senori, kalau ada anjing nyasar masuk kampung pasti akan diuber dan dibunuh secara kejam). Namun, seperti diilustrasikan oleh contoh pemberian air untuk mengobati rasa haus, kebanyakan literatur itu momot dengan symptom daerah arid padang pasir yang berbeda sama sekali dengan kondisi tropis di Indonesia. Hal ini menuntut pesantren untuk gigih menafsir ulang literatur klasik itu dan mengupayakan bentuk-bentuk rekontekstualisasinya bagi kondisi alam di Indonesia.

Sebagai perbandingan, dalam khazanah literatur resource management dan environmental science, perbincangan mengenai kontribusi ajaran dan nilai-nilai Islam dalam pengembangan water ethics ini sudah mulai mengemuka. Beberapa artikel di jurnal internasional membicarakan hal ini dalam kaitan dengan relevansi prinsip-prinsip Islam terhadap "water management", "groundwater management", "water quality", bahkan juga "waste water reuse", "greywater use", dan "water demand management". Sebuah konferensi internasional mengenai "Water Management in the Islamic Countries" belum lama ini juga diselenggarakan di Iran (tahun 2007). Namun, lagi-lagi, kebanyakan konteksnya adalah daerah arid atau semi-arid, sementara kontribusi dari  kesarjanaan Islam Indonesia yang berasal dari dan merefleksikan kondisi daerah tropis masih sangat sumir.


Penutup

Dua poin kegelisahan yang saya kemukakan di atas secara ringkas dapat diistilahkan sebagai agenda "keadilan agraria" dan "keadilan lingkungan" (agrarian and environmental justice); dua agenda yang saling berjalin-berkelindan satu sama lain dan yang kondisinya makin genting untuk dijalankan dewasa ini. Memang dengan sedih harus saya katakan bahwa dua agenda inilah yang, akibat satu trauma sejarah yang pahit, cenderung dicoba untuk dihindari oleh kalangan pesantren.

Bagaimanapun, dua agenda ini harus dihadapi dan digulati jika masyarakat Senori dan sekitarnya dikehendaki berada tidak hanya di bawah "naungan pohon jati", namun juga di bawah "naungan kitab kuning" dalam arti yang sebenar-benarnya. Jika tidak, maka jangan salahkan jika mereka yang berada di bawah "naungan pohon jati" dari segi sosial-ekonomi itu akan mencari "naungan" lain di luar "kitab kuning" (Marxisme, pragmatisme, neoliberalisme, abangan dll) untuk perlindungan ideologis dan ruhaniahnya.


Amsterdam, Autumn 2011

Seorang perempuan perkasa dalam perjalanan pulang dari memetik daun jati di kawasan hutan jati (sumber: www.hobyjepret.blogspot.com)

Retrieved from: http://www.facebook.com/notes/shohib-sifatar/di-bawah-naungan-pohon-jati-fragmen-kehidupan-di-pesantren-2/10150490883761224 

This article has appeared in the following link: http://indoprogress.com/2011/12/05/di-bawah-naungan-pohon-jati-fragmen-kehidupan-di-pesantren/(Warning! Virus has been detected in this link when I I accessed it on 12/5/2011)