Wednesday, September 21, 2011

PBNU Minta PKS Hentikan Perebutan Masjid

21/09/2011 20:06

Jakarta, NU Online
Sekretaris Jenderal PBNU H Marsudi Syuhud meminta kepada Tifatul Sembiring agar pengambilalihan masjid-masjid NU yang selama ini ditengarai dilakukan oleh para kader PKS dihentikan demi persatuan umat.

“Bagaimana umat kita bisa bersatu kalau di lapisan bawah masih seperti ini,” kata Marsudi saat menerima kunjungan Tifatul Sembiring, Menkominfo yang juga kader PKS di gedung PBNU, Rabu (21/9).

Sejumlah kasus yang terjadi menggunakan modus munculnya seseorang yang dengan sukarela membantu membersihkan masjid, lalu membantu adzan, diteruskan dengan mengajak temannya untuk menjadi khotib dan akhirnya merubah seluruh kepengurusan takmir masjid dan tatanan peribadatan yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Kemunculan kasus seperti ini akhirnya menimbulkan resistensi di masjid-masjid yang lain yang sebelumnya cukup terbuka dengan alasan untuk menjaga eksistensi peribadatan yang sudah ada dan diyakini kebenarannya.

Hal ini menanggapi pernyataan Mantan Presiden PKS ini yang mendambakan tumbuhnya persatuan dan ukhuwah dikalangan umat Islam, karena jika yang dilihat perbedaannya, sangat banyak sekali sehingga untuk memecah Indonesia, akan gampang.

Tifatul menjelaskan, tak ada kebijakan resmi dari partai yang meminta pengambilalihan aset ormas tertentu untuk dikelola oleh kader PKS. Masukan seperti ini tidak hanya datang dari NU, tetapi juga dari ormas Islam lainnya yang merasa sarana ibadah dan umat yang telah dibinanya diambil alih. Ditegaskannya, PKS adalah partai, bukan aliran agama, yang kadernya berasal dari berbagai ormas Islam dan mengakui adanya khilafiyah.

“Kita berdakwah bagaimana Islam bisa dimakmurkan, tidak ada ambil ini-itu. Tak ada gerakan mencuri bedug,” katanya.

Ketua PBNU Iqbal Sullam yang turut dalam pertemuan tersebut meminta agar sasaran dakwah difokuskan kepada umat Islam yang saat ini masih dikategorikan “abangan” yang potensinya masih sangat besar. “Tak perlu mengobrak-abrik tatanan yang selama ini sudah ada,” kata Iqbal.

Kiai Said Aqil Siroj mengungkapkan banyak persoalan besar umat Islam yang harus difikirkan dan diatasi bersama seperti masalah kelaparan dan peperangan di Somalia, revolusi di Mesir, perang di Libya, Irak dan negara berpenduduk mayoritas Islam lainnya yang sedang menghadapi masalah serius dan perlu bantuan. Perbedaan keyakinan, harus dihormati, apalagi yang sifatnya prinsipil seperti sejumlah amalan warga NU, yang oleh kelompok lainnya dianggap sebagai bid’ah.

Dakwah yang berhasil, menurut kiai Said, tidak dengan pendekatan halal-haram dan menyalahkan orang lain, tetapi dengan pendekatan kelembutan dan kasih sayang seperti yang dilakukan oleh Walisongo yang berhasil mengislamkan Nusantara.

Penulis: Mukafi Niam

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/34016/Warta/PBNU_Minta_PKS_Hentikan_Perebutan_Masjid.html

Monday, September 19, 2011

Memahami “Sidogiri Saiki Sidogiri Biyen”

Memahami “Sidogiri Saiki Sidogiri Biyen”
Catatan Editor "Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri jilid 2"


Aku nggak wani, iku olehe Mak Alil, iku warisane Mak Alil. Nggak enak aku. (Saya tidak berani, itu inisiatif Mak Alil [KH Cholil Nawawie], itu warisan Mak Alil. Saya merasa tidak enak untuk mengubahnya).


Itulah yang sering diucapkan oleh KH Abd. Alim Abd. Djalil dalam mengambil keputusan berkaitan dengan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Meski menjadi Pengasuh PP Sidogiri, ternyata Kiai Lim—panggilan akrab beliau—tak pernah merasa dirinya yang memiliki pesantren. Menurut beliau, dirinya hanya melanjutkan peninggalan para pendahulunya yang harus dijaga dengan baik.


***


Menurut Prof Dr Zamakhsyari Dhofier (1984), pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan. Sedangkan pesantren khalaf (modern) adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungannya. Seperti SMP, SMU, dan bahkan perguruan tinggi.


Bagaimana Sidogiri? Sejak didirikan oleh Sayid Sulaiman—cicit Sunan Gunung Jati—pada tahun 1158 H atau 1745 M, dari zaman ke zaman Sidogiri terus berkembang dan maju, tetapi tak ada perubahan besar yang mengubah kesalafan pesantren ini.


Memang gedung megah telah banyak berdiri, komputer dan alat elektronik lainnya telah banyak digunakan, manajemen kepengurusannya telah begitu modern, seminar dan diklat telah diadakan setiap tahun, dan dakwah dengan berbagai media dan lembaga telah dilakukan, tetapi itu semua hanyalah sarana untuk menjaga dan mengembangkan cita-cita para kiai pendahulu.


Hal-hal prinsip yang mendasar tetap tak berubah di pesantren yang memiliki ratusan madrasah filial di seantero Jawa Timur ini. Pengajaran kitab-kitab klasik tetap dijadikan sebagai inti pendidikan. Ajaran dan tradisi salaf tetap dijaga dan dipelihara dengan baik.


Ajaran Ahlusunah wal Jamaah dalam bidang akidah, syariah, dan akhlak, yang telah diajarkan oleh para kiai pendahulu sejak 272 tahun lalu, terus diajarkan pada santri dan umat dari masa ke masa. Dan tradisi baik yang telah diamalkan dan diajarkan oleh Walisongo dan para kiai pendahulu, terus diamalkan oleh para kiai, santri, dan umat Sidogiri.


Itulah Sidogiri: ajaran dan tradisinya salaf, tetapi manajemen dan fasilitasnya modern. Hal ini karena Sidogiri berpedoman dengan kaidah para kiai NU, “al-Muhafazhah bil-qadim ash-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah,” mempertahankan hal-hal lama yang baik dan melengkapi dengan hal-hal baru yang lebih baik.


Dan berpedoman dengan ucapan Sayidina Ali bin Abi Tholib, “Haqqun bighairi nizham yaghlibuhu bathil binizham,” kebenaran yang tidak tertata akan dikalahkan oleh kebatilan yang tertata.


Maka, di Sidogiri kita bisa melihat adanya Pengasuh, Majelis Keluarga, dan Pengurus yang menangani santri. Kita juga bisa melihat AD/ART pesantren, tata kerja pengurus-pengurus, dan berbagai tata tertib. Kita bisa melihat pengajian kitab Ihya’ Ulumiddin, Shahih Bukhari, Fathul Wahhab, dll, sekaligus melihat berbagai seminar dan diklat dalam berbagai tema. Dan kita bisa melihat ribuan santri tetap bersarung, tetapi pandai manajemen dan piawai menggunakan peralatan elektronik masa kini.


Namun itu semua tak lepas dari kesadaran akan adanya suatu mata rantai keilmuan dan pengabdian dari para kiai pendahulu. Karena itulah Kiai Lim dan kiai-kiai lainnya tetap menjaga hal-hal lama yang baik yang telah diwariskan oleh para kiai pendahulu.


Di sinilah dapat dipahami ungkapan Katib Majelis Keluarga, Mas d. Nawawy Sadoellah, “Sidogiri saiki Sidogiri biyen.” Sidogiri sekarang Sidogiri dahulu.


***


Dalam buku Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri edisi kedua ini, dapat ditelusuri jejak langkah yang telah ditorehkan oleh 9 kiai Sidogiri. Yakni (1) KH Aminullah, penerus perjuangan Sayid Sulaiman; (2) KH Mahalli, guru empat Pengasuh Sidogiri; (3) KH Abu Dzarrin, santri yang menjadi Pengasuh Sidogiri; (4) KH Noerhasan bin Noerkhotim, kiai khumul berdarah Madura; (5) KH Bahar bin Noerhasan, Kiai Alit berilmu laduni; (6) KH Abd. Alim Abd. Djalil, kiai pendiam penjaga tradisi salaf; (7) KH Kholili bin Hasbullah, figur dai yang pantang menyerah; (8) KH Ghozi Noerhasan, Abul Yatama yang dermawan dan bersahaja; dan (9) KH Nawawi Thoyyib, pemimpin tegas berdarah Kramat-Sidogiri.


Kiai Aminullah, Kiai Mahalli, Kiai Dzarrin, Kiai Noerhasan, Kiai Bahar, dan Kiai Lim adalah Pengasuh PP Sidogiri. Sedang Kiai Kholili, Kiai Ghozi, dan Kiai Nawawi Thoyyib adalah Ketua Umum PP Sidogiri.


Dalam riwayat hidup mereka, selain banyak ditemukan keteladanan, juga ditemukan hal-hal unik. Misalnya, Kiai Aminullah yang menurunkan banyak ulama di Jawa Timur, ternyata suka mengisi air jeding (kamar mandi) masjid dan jeding-jeding lain setiap malam tanpa diketahui siapapun; Kiai Mahalli yang tak diketahui makamnya, ternyata memiliki kamar luar biasa yang tak boleh dimasuki seorangpun; Kiai Abu Dzarrin yang menulis kitab Sorrof Sono, ternyata setelah wafat mengajar Syaikhona Cholil Bangkalan lewat mimpi.


Selanjutnya, Kiai Noerhasan bin Noerkhotim yang alim dan tawadu, ternyata disegani oleh gurunya, Sayid Abu Bakar Syatha; Kiai Bahar yang mendapat ilmu laduni (ilmu tanpa belajar), ternyata menjadi kiai sejak usia kanak-kanak; Kiai Lim yang ahli ibadah sejak kecil, ternyata mukasyafah dan sering menjawab lebih dahulu sebelum ditanya; Kiai Kholili yang gigih dalam dakwah, bisa bicara dengan orang sambil membaca shalawat dengan samar; Kiai Ghozi yang sejak muda dikatakan mendapat futuh (terbukanya hati) oleh KH Jazuli Ploso, ternyata tak gengsi berdagang dan menjadi sopir angkutan; dan Kiai Nawawi Thoyyib yang beristri cicit Syekh Nawawi al-Banteni, ternyata begitu tawadu pada Kiai Lim yang tak lain sepupunya sendiri.


Selain itu, dalam riwayat hidup mereka juga terdapat sejarah penyebaran agama dan ilmu agama di Indonesia, sejarah pengembangan pesantren di Jawa dan Madura, sejarah perjuangan NU serta lembaganya, dan perkembangan keagamaan serta pendidikan di Pasuruan dan Jawa Timur.


***



Biografi 9 kiai ini dikumpulkan dari halaman khusus Dzikra majalah IJTIHAD, terbitan OMIM (Organisasi Murid Intra Madrasah) MMU Aliyah PP Sidogiri. Yaitu IJTIHAD edisi 22 sampai 30, yang terbit dalam rentang waktu lima tahun, 1426-1430 H.


Apresiasi tinggi patut kita berikan kepada redaksi IJTIHAD yang mampu mengumpulkan sejarah Masyayikh dari hasil wawancara, peninggalan dokumentasi, dan sumber pustaka. Utamanya berkenaan dengan disusunnya sejarah Kiai Aminullah, Kiai Mahalli, Kiai Abu Dzarrin, Kiai Noerhasan, dan Kiai Bahar yang hidup ratusan tahun lalu. Dan disusunnya sejarah Kiai Lim ketika air mata karena ditinggalkan olehnya belum sepenuhnya kering…


Demikianlah adanya, sampai akhirnya kini dapat dibukukan seperti ini. Dan pada buku ini terdapat beberapa penyempurnaan isi dan tata bahasa, serta penambahan catatan kaki.


Sebagaimana lazimnya penulisan sejarah, tentu diperlukan penelitian dan penyempurnaan dari masa ke masa. Karena itu, diharapkan adanya tambahan informasi, kritik, dan saran untuk penyempurnaan penulisan sejarah Masyayikh Sidogiri.


Selamat membaca. Semoga kita mendapat manfaat dan berkah dari Masyayikh Sidogiri.

Sidogiri, 22 Dzulqa’dah 1430 H
09 November 2009 M

Syamsu-l Arifyn Munawwir


Sumber: "Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri jilid 2", terbitan Pustaka Sidogiri, Pasuruan.

Retrieved from: http://syamsu-l.blogspot.com/2011/09/memahami-sidogiri-saiki-sidogiri-biyen.html

Sunday, September 18, 2011

Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri I


Catatan Editor
Syamsu-l Arifyn Munawwir

“Sidogiri insya Allah akan abadi sampai Kiamat.” Ungkapan ini muncul dari beberapa kiai dan habib tentang Pondok Pesantren Sidogiri. Entah siapa yang pertama mengatakannya. Sekilas ungkapan ini tampak “berlebihan”. Tetapi, bagi orang yang mengenal betul Sidogiri, ungkapan ini rasanya tidak berlebihan.

***

Lahir dari perjuangan Sayid Sulaiman, wali Allah keturunan Sunan Gunung Jati, Sidogiri terus bertahan tanpa pernah mati sejak lebih dari dua ratus tahun lalu, yakni tahun 1718 atau 1745.

Bermula dari sebuah masjid yang dibangun di bekas hutan, Sidogiri terus berkembang. Dari segelintir santri sampai menjadi ribuan; dari pengajian kitab saja sampai dilengkapi madrasah; dari asrama santri putra saja sampai beberapa pondok putri; dari madrasah di Sidogiri saja sampai ratusan madrasah ranting filial di berbagai kabupaten; dari kios kecil koperasi pracangan sampai belasan unit koperasi beromzet puluhan miliar rupiah; dari pengiriman beberapa guru tugas (GT) sampai pengiriman 800 guru tugas dan dai ke berbagai propinsi dan luar negeri; dari menulis di papan tulis sampai menulis di media massa dan internet; dari pendidikan agama sampai pelatihan komputer, jurnalistik, falakiah modern, bisnis, dll; dari santri dalam negeri sampai adanya santri dari luar negeri—semua itu terjadi di Sidogiri.

Apa yang membuat pesantren tua ini mampu bertahan sekian lama? Tak lain faktor utamanya adalah tanahnya yang diyakini keramat dan berkah, atau barokah kata orang Madura. Hal ini diakui sendiri oleh kiai Sidogiri. Beberapa waktu sebelum Pengasuh PP Sidogiri KH Cholil Nawawie wafat, beliau mengatakan, “Sidogiri iku kramat pancen krono tanahe, duduk krono aku. Delo’en le’ aku nggak ono’, Pondok Sidogiri tambah gede (Sidogiri keramat bukan karena saya, tapi karena tanahnya. Lihat saja setelah saya tidak ada, Pondok Pesantren Sidogiri akan bertambah besar).”

Selain itu, faktor utama lainnya adalah para masyayikhnya. Masyayikh atau kiai-kiai Sidogiri kental dengan keilmuan dan pengamalan Fikih sekaligus Tasawuf. Ini yang membedakannya dari kiai-kiai lain, yang banyak kental dengan keilmuan dan pengamalan Fikih atau Tasawuf saja. Dan uniknya, kiai-kiai Sidogiri yang berpengaruh itu memiliki dua ciri khas: istikamah dalam ibadah dan khumul atau low profile, yakni tidak suka menonjolkan diri. Hal ini dapat dilihat dalam riwayat hidup mereka, seperti dalam buku Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri jilid pertama ini.

Dari khumul-nya, kiai-kiai Sidogiri biasanya tak begitu dikenal orang. Yang lebih dikenal adalah pesantrennya daripada kiainya. Dan dari khumul-nya kiai Sidogiri, dalam pergantian Pengasuh di Sidogiri kerap terjadi perebutan. Bukan perebutan untuk menjadi Pengasuh, tetapi perebutan untuk tidak menjadi Pengasuh (!).

Nama-nama yang terkenal tak mau menjadi Pengasuh yang tercatat dalam sejarah pesantren salaf ini adalah KH Abd. Adzim bin Oerip, KH Noerhasan Nawawie, dan KH Hasani Nawawie. Mereka mempunyai ilmu yang dalam, karisma yang besar, dan keistikamahan ibadah yang tinggi, tetapi mereka tak mau menjadi Pengasuh. Tampuk kepengasuhan mereka serahkan pada kiai-kiai yang lain, bahkan yang lebih muda.

Demikianlah Sidogiri. Ia memiliki berbagai keunikan yang khas. Keunikan itu dapat dibaca dalam buku ini, meski sejatinya banyak keunikan lain yang belum ter-cover dalam buku ini. Dan keunikan itu terus berlanjut sampai masa kini.

***

Dalam buku ini terangkum riwayat hidup 9 kiai Sidogiri, yakni (1) Sayid Sulaiman, Pendiri dan Pengasuh pertama; (2) KH Nawawie bin Noerhasan, Pengasuh dan salah satu pendiri NU; (3) KH Abd. Adzim bin Oerip, Sesepuh dan menantu Kiai Nawawie; (4) KH Abd. Djalil bin Fadlil, Pengasuh dan menantu Kiai Nawawie; (5) KH Noerhasan Nawawie, putra tertua Kiai Nawawie dan anggota Panca Warga; (6) KH Cholil Nawawie, Pengasuh dan anggota Panca Warga; (7) KH Siradj Nawawie, anggota Panca Warga dan Penasehat Majelis Keluarga; (8) KA. Sa’doellah Nawawie, anggota Panca Warga dan Ketua Umum; dan (9) KH Hasani Nawawie, anggota Panca Warga dan Penasehat Majelis Keluarga.

Dalam riwayat hidup mereka juga terdapat sejarah penyebaran agama dan ilmu agama, perjuangan kemerdekaan RI, berdiri dan berkembangnya NU serta lembaganya, dan perkembangan keagamaan serta pendidikan di Pasuruan dan Jawa Timur.

Pada edisi revisi ini, terjadi beberapa penyempurnaan (penambahan, pengurangan, pemberian terjemah, dll) isi dan tata bahasa, serta penambahan catatan kaki.

Di antara penyempurnaan itu, dalam biografi Sayid Sulaiman ditambahkan keterangan bahwa menurut riwayat yang masyhur di kalangan Keluarga Sidogiri, Kiai Aminullah menikah dengan Nyai Indah binti Sayid Sulaiman, bukan dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayid Sulaiman. Dan dalam biografi KH Hasani Nawawie, ditambahkan kisah ucapan Kiai Hasani, “Pilih! Mati sekarang masuk surga, atau mati 70 tahun lagi juga masuk surga.” Kisah ini dimuat dalam majalah IJTIHAD, tetapi “tertinggal”, tak termuat dalam buku ini pada cetakan-cetakan lalu.

Sebagai mantan Redaksi dan Pengarah majalah IJTIHAD yang menangani rubrik Dzikra Masyayikh Sidogiri—cikal bakal buku ini—terasa jelas bagi saya dua hal. Pertama, ada beberapa keterangan sejarah yang setelah dipublikasikan ternyata memunculkan koreksi dari beberapa pihak. Hal ini dapat dipahami dari kenyataan bahwa sebelum dimuat di IJTIHAD, tak ada buku/catatan sejarah resmi yang komprehensif tentang Masyayikh Sidogiri dan PP Sidogiri. IJTIHAD-lah yang pertama mengumpulkan dan menyusun berbagai serpihan sejarah itu dari hasil wawancara dan peninggalan dokumentasi.

Apabila terdapat kekurangan dalam penyusunannya, hal itu tak dapat mengurangi bobot manfaat dan keutamaannya. Ini sama dengan sejarah lainnya—baik sejarah Walisongo, RI, Majapahit, dll—yang awalnya tak sempurna, kemudian semakin sempurna setelah penelitian ulang bertahun-tahun oleh para sejarawan.

Kedua, penyusunan dan publikasi riwayat hidup kiai-kiai Sidogiri di IJTIHAD dan buku ini telah berpengaruh besar, baik bagi Sidogiri sendiri maupun bagi pihak di luar Sidogiri. Di antara pengaruh itu, muncul kesadaran yang semakin tinggi akan pentingnya penyusunan dan penyempurnaan sejarah Sidogiri, tersusunnya riwayat Sayid Sulaiman yang menjadi ahli dakwah dan pendiri/kakek dari beberapa pesantren besar, sadarnya masyarakat akan peran penting Sidogiri dalam berdirinya NU dan kemerdekaan RI, dan terbukanya satir penutup hubungan nasab Masyayikh Sidogiri dengan Sayid Abu Bakar Basyaiban dari Hadramaut dan Sunan Gunung Jati (salah satu Walisongo) dari Cirebon.

Dan yang patut diacungi jempol, pengumpulan data dan penyusunan riwayat hidup Masyayikh itu murni dilakukan oleh santri, bukan oleh sejarawan yang ahli sejarah. Dengan demikian, Sidogiri bukan hanya mampu mendidik calon-calon ulama, tetapi juga mampu mendidik calon-calon sejarawan.

Akhir kata, selamat membaca buku ini. Anda tak akan rugi membaca buku ini, bahkan akan mendapatkan banyak manfaat, insya Allah.

Sidogiri, 09 Muharam 1429 H
06 Januari 2009 M


Sumber: "Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri jilid 1", terbitan Pustaka Sidogiri, Pasuruan.

Retrieved from: http://syamsu-l.blogspot.com/2011/09/catatan-editor-jejak-langkah-masyayikh.html

Friday, September 2, 2011

Gus Dur’s immortal legacy

The Jakarta Post | Fri, 01/08/2010 4:36 PM | Opinion