Monday, August 22, 2011

Sosiologi Wulan Poso Wong Jowo


NU.or.id, 22/08/2011 07:52

Judul: Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar
Penulis: Andre Moller
Tahun terbit: September, 2005
Halaman: xi+309
Penerbit: Nalar, Jakarta
Peresensi: Abu Khaer

‘Bapak Antropolog’ Indonesia, Koentjaraningrat, sebagaimana dikutip oleh Ceprudin (2010), pernah melukiskan mengenai kegiatan Ramadhan di Jawa dengan menyatakan “orang Jawa senang mencari kesusahan dan menderita ketaknyamanan dengan sengaja untuk tujuan agama.”

Dalam pandangan Guru Besar Antropologi salah satu universitas negeri tersebut, memandang bahwa kesusahan dan penderitaan menjalankan ‘adat’ religius bagi masyarakat Jawa, justru dipandang sebagai kesenangan pribadi, bahkan sebenarnya lebih tepat lagi jika ia mengatakan sebagai suatu kebahagiaan tersendiri, termasuk ketika menyambut, melaksanakan, dan meneruskan tradisi agung umat Islam, shaum Ramadhan. Istilah shiyam ataupun shaum, bukan ‘barang’ atau ‘wacana’ baru bagi orang Jawa. Terlepas dari perbedaan makna shiyam atau shaum dan puasa, orang Jawa lebih memilih istilah sendiri dengan menggunakan istilah wulan puasa.

Bagi umat Islam, tak terkecuali di Jawa, percaya bahwa dengan menahan lapar selama satu bulan, ia akan mendapatkan ridho Allah. bagi orang Jawa, puasa, tirakat, bertapa, sudah menjadi adat tradisi yang berlangsung  turun-temurun sejak nenek-moyang dulu. Salah satu contoh, bagaimana puasa telah mengakar dalam kehidupan orang Jawa seperti tercantum dalam Serat Wulang Reh, “Dadiyo lakunireku, cegah dhahar lawan guling, lan aja asukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala watake wong suka, nyuda prayitnaning batin.” Orang Jawa sangat menjaga dan terus berusaha meningkatkan kualitas rohani. Seluruh nasihat dalam peribahasa Jawa yang ribuan itu pun, posisinya lebih sebagai ‘’fatwa rohani’’. Bukan rumus perhitungan untuk menyelesaikan persoalan praktis keduniawian, melainkan ajakan untuk menjalankan puasa dan tirakat setiap hari, sepanjang hayat. Jika direnungkan, makna dari cegah dhahar lawan guling, ana sethithik dipangan sethithik, ya jangane ya segane, adalah upaya untuk mengolah dan menata dunia batin manusia.

Puasa dan tirakat di Jawa memang berat, karena cenderung dilakukan setiap hari, setiap saat. Namun, seperti halnya orang yang telah terbiasa memikul beban berat, manakala benar-benar mendapat cobaan (beban kehidupan nyata) tentu akan lebih kokoh, tawakal, dan ikhlas menerimanya. Dengan demikian, beban hidup itu jadi terasa ringan.

Maka tidak mengherankan jika puasa yang dimaknai sebagai upaya pembersihan diri banyak diamalkan orang Jawa sebelum ajaran shiyam Ramadhan diperkenalkan oleh ajaran Islam. umat Islam di Jawa jauh-jauh hari menjelang bulan Ramadhan sudah melakukan ritus-ritus. biasanya diawali sejak bulan Ruwah atau roa (Syakban). Di bulan Ruwah, umat Islam menyibukkan dengan kegiatan atau pekerjaan yang memungkinkan diselesaikan (dipadatkan) pada bulan itu. Di Semarang ada Dugderan yang sangat terkenal dan erat kaitannya dengan Ramadhan di Jawa. Bahkan, dihampir seluruh wilayah pulau Jawa, terutama pedesaannya, pada pertengahan bulan roa, di malam harinya ramai-ramai mengadakan acara nisfu sya’banan, suatu ritus untuk berupaya semoga buku amal perbuatan manusia selama satu tahun di tutup dengan indeks prestasi ke-sholeh-an sebelum menghadapi ‘bulan panen’ amal kebajikan Ramadhan.

Lebih jauh lagi, seiring dengan perkembangan budaya Jawa aksesoris menjelang Ramadhan ada yang menggunakan secara simbol “politis”. Tujuan politis pada bulan Ramadhan dapat dipahami dalam konteks pemikiran yang menganggap Ramadhan sebagai sebuah “momentum”-nya umat Islam. Termasuk di dalamnya adalah kontroversi hisab-rukyat dalam menentukan satu syawal pun ikut mewarnai. Meskipun tidak terjadi kontras begitu serius.

Hal yang masih kontroversi dalam ritus menjelang Ramadhan yaitu nyekar. Nyekar adalah kegiatan berkunjung dan membersihkan makam-makam orang tua atau sanak saudara yang telah terlebih dahulu menghadap kehadirat Illahi biasanya dengan membawa bunga tujuh rupa (umba rampe) untuk ditaburkan di makam dan pembacaan do’a tahlil.  Pro-kontra ini terjadi antara Islam tradisional (pro) dan modernisme (kontra). Bagaimana pun juga umat Islam Jawa mayoritas percaya dan yakin terhadap nyekar sebagai bentuk lain dari perwujudan ziarah kubur, yang bertujuan ketika memasuki bulan Ramadhan diri dalam keadaan suci dan untuk ‘sekedar berusaha’ meringankan beban ukhrowi keluarganya yang telah wafat.

Memasuki bulan Ramadhan menurut orang Jawa harus benar-benar suci secara komprehensif, baik lahir maupun bathin. Dimulai dengan bebersih diri, beranjak sampai skup bebersih lingkungan, dimana ada tradisi bersih lingkungan. Di bulan Ramadhan, lingkungan harus bersih dari kotoran sampah dan juga dipahami bersih dari perbuatan amoral. Karena dianggap dalam bulan ramadhan lebih mengganggu aktifitas berpuasa.

Sebelum berpuasa, umat Islam pada malam hari disunnahkan untuk makan sahur. Alunan ‘musik’ ensambel perkakas dapur yang dimainkan anak-anak atau ta’mir mesjid yang mengumandangkan agar menyegerakan bersahur mengakibatkan suasana menjadi riang dan saling bergotong royong meski ala kadarnya menjadi semakin kuat, tak seperti malam-malam biasa. Pada siang harinya segala lapisan strata sosial, mulai anak-anak sampai dewasa, menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an (Tadarusan). Menjelang sore, sebagian ibu-ibu sibuk mempersiapkan menu untuk berbuka puasa, kaum remaja dan anak muda jalan-jalan sore (JJS) dengan berbagai ragam niatnya, dengan tertib menunggu waktu ifthor tiba.

Di malam hari selesai sholat Isya’ dilanjut dengan sholat tarawih. Sholat tarawih merupakan ritus paling penting sepanjang bulan Ramadhan. Dalam penentuan jumlah raka’at pun disini terjadi perbedaan antara Islam tradisional dan modernis. Meski akhir-akhir ini perdebatan itu sudah mulai mencair.

Malam-malam khusus yang diperingati pada bulan Ramadhan juga ikut meramaikan belantika wulan puasa Jawa. Di antaranya malam Lailatul Qodar dan Nuzulul Qur’an. Bisanya diisi dengan pengajian-pengajian yang berkaitan dengan turunnya al-Qur’an. Umat Islam dan Orang Jawa khususnya, percaya bahwa malam itu penuh dengan berkah dan kemuliaan dibanding dengan seribu bulan.

Ritus yang tidak kalah penting menurut orang Jawa yaitu I’tikaf. I’tikaf tidak begitu populer, biasanya kegiatan i’tikaf dilakukan pada hari-hari ganjil sepuluh hari akhir bulan Ramadhan. Ritus ini sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad sebagai sarana untuk introspeksi dan mendekatkan diri kepada Allah.

Pada hari terakhir menjelang bergantinya bulan Ramadhan ke bulan Syawal (Idul Fitri) untuk menyempurnakan ibadah puasanya umat islam diwajibkan untuk berzakat fitrah (kesucian). Datangnya hari raya Idul Fitri itu diakhiri dengan berbuka puasa hari terakhir bulan Ramadhan dengan ditandai pemukulan beduk di musholla dan masjid setelah ada pengumuman resmi dari Pemerintah.

Pada malam hari ini umat muslim merayakan dengan sangat meriah. Paling banyak dilakukan adalah Takbiran. Ada yang melakukannya dengan sambil keliling kampung dengan menggemakan koor Takbir dengan berulang-ulang sambil membawa lampu ‘oncor’ yang terbuat dari bambu. Tua, muda, perempuan, laki-laki tumpah-ruah sama-sama memeriahkan malam hari ‘kemenangan’ Hari Raya Idul Fitri ini. Pagi harinya umat muslim berbondong-bondong menuju ke mesjid untuk melaksanakan Shalat Id. Tepatnya hari ini tanggal 1 syawal.

Selesai Sholat Id, umat Islam Jawa bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Tujuannya agar dosa sesama manusia selama berinteraksi pada hari itu bisa diampuni Allah. Setelah merasa lega dan puas bermaaf-maafan serta silaturahmi pada hari itu juga dilanjutkan dengan kumpul bareng keluarga sambil menyantap opor ayam dan ketupat bersama-sama keluarga. Acara Hari kemenangan lumrahnya diakhiri dengan kembali nyekar ke pekuburan keluarga. Nyekar disini substansinya sama dengan nyekar menjelang Ramadhan. Hanya bedanya ini dilakukan pada hari raya Idul Fitri dan tentunya dengan busana pakaian yang baru dibeli.

Demikian gambaran Ramadhan berikut dengan aksesoris ritus yang dilakukan orang Jawa. Meskipun dari sisi materiil orang Jawa harus menyediakan lebih dibanding bulan biasanya, tapi semua itu tertutupi dengan senangnya kedatangan bulan suci Ramadhan.

Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karya penulis Swedia, Andre Moller ini menarik untuk kita renungkan terutama dalam momen-momen Ramadhan. Buku ini tidak melihat puasa semata-mata dari aspek teologis-normatif, tetapi lebih dari itu, pelaksanaan ibadah puasa dalam buku ini dilihat dari aspek aksesoris yang mengitarinya dan membuat ramadhan menjadi lebih meriah dari bulan-bulan lainnya.

*Koordinator social Karang Taruna PelitaIndonesia Banyuputih Wringin Bondowoso Jatim

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/33577/Buku/Sosiologi_Wulan_Poso_Wong_Jowo.html

Friday, August 19, 2011

Kiai Pribumi

NU Online, 06/06/2011 09:18

Judul Buku: Sang Kiai: Potret Lokal Kesholehan Multikultural

Penulis:: Wasid
Penerbit: Impulse
Cetakan: I, 2011
Tebal: 126 halaman
Peresensi: Winarto Eka Wahyudi*

Al ‘adah al-mukhakkamatu (adat bisa dijadikan landasan sebuah hukum). Kaidah yang tidak asing dikalangan pesantren ini serasa perlu untuk digalakkan kembali di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks sosial kemasyarakan dan hukum syaria’at dikalangan ulama (baca: kiai), agar dalam setiap pengambilan keputusan dapat menelurkan dawuh (fatwa) yang santun dan arif sehingga dapat mengcover segala sesuatu yang berlaku di dalam masyarakat. Kaidah ini sangat penting disegarkan kembali karena Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) tidak bisa terhindar dari suatu proses akulturasi antara budaya dan esensi suatu agama, sehingga nilai-nilai atau hakikat dari Islam akan terasa dalam setiap lini kehidupan beragama dan bersosial, serta ke-eksistensiannya dapat terealisasi dalam setiap waktu, keadaan dan tempat yang berbeda-beda.

Seorang Kiai (baca: ilmunya) yang menjadi tonggak berdirinya Islam yang damai dan santun tidak bisa dilepaskan dari kemampuan untuk memahami perkara atau hal-hal yang berada dan berlaku di lingkungan sekitarnya. Keahlian kiai dalam meramu dan meracik nilai-nilai agama yang disandingkan dengan keanekaragaman serta kebutuhan masyarakat luas akan mampu menghasilkan pola kehidupan bermasyarakat yang toto tentrem kerta raharjo (artinya; kehidupan akan tertata, tentram dan sejahtera). Wal hasil, dalam menciptakan dinamika kehidupan sosial yang menyejukkan, sosok kesholehan seorang kiai multikultural sangat dibutuhkan.

Hal semacam ini tampak sangat berbeda apabila seorang tokoh agama hanya mampu mempraktekkan agama dalam bentuk tekstualis non-kontekstual, artinya hanya mengamalkan agama berdasarkan apa adanya teks keagamaan dengan mengenyampingkan realitas dan konteks sosial yang mendarah daging dalam masyarakat. Akibatnya, pemahaman yang berdampak pada perilaku beragama akan tampak rigid dan kaku, dan hal semacam ini berimbas pada kekerasan dan radikalisme atas nama agama yang dewasa ini kian menggejala.

Sejarah telah mencatat keberhasilan para Walisongo dalam rangka menebarkan ajaran Islam Nusantara yang dilakukan dengan dakwah bil hikmah, yakni kemampuan untuk menebarkan syari’at islam dengan menggunakan metode yang sangat apik, yaitu melalui perkawinan antara budaya lokal yang dibingkai dengan semangat nilai-nilai keislaman, hal ini terbukti sangat ampuh dan sekaligus dapat diterima secara luas oleh semua lapisan masyarakat dengan tanpa kekerasan apalagi pembunuhan dan peperangan.

Disisi lain, konstribusi seorang Kiai dalam rangka pembentukan karakter dan pembangunan nasional (character building and nation building) dalam sejarah bangsa Indonesia tidak bisa terelakkan lagi. Ambil saja contoh kesuksesan Kiai Kholil bangkalan, Madura yang mencetak ratusan bahkan ribuan kiai Nusantara merupakan bukti konkrit keberhasilannya dalam melakukan sinergisitas antara agama dan budaya guna membangun peradaban bangsa. Begitu juga Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang juga murid kesayangan mbah Kholil (sapaan akrab Kiai Kholil), berhasil membentuk wadah bagi para ulama yang dikenal dengan organisasi keagamaan Nahdhotul Ulama (NU) yang nanti ke depannya berperan sangat besar dalam rangka merebut kemerdekaan bangsa dan selanjutnya turut mengisi dan mewarnai kemerdekaan bangsa Indonesia. Begitulah seharusnya tugas para Kiai yang tidak hanya menyebarkan agama secara kaku dan menakutkan, akan tetapi penyebaran dan upaya pemahaman agama Islam harus dilakukan dengan cara mengadopsi budaya-budaya luhur dari masyarakat setempat.

Melihat realitas semacam ini, Wasid melalui bukunya yang berjudul “Sang Kiai; Potret Lokal Kesholehan Multikultural” memberi pesan kepada para tokoh agama agar dalam mentransformasikan syariat dan nilai-nilai Islam hendaknya dengan melalui proses yang menyejukkan dan arif sehingga Image Islam tidak terkesan angker dan menakutkan. Prinsip yang harus dipegang teguh oleh para Kiai dalam mendakwahkan ajaran Islam seperti yang terkandung dalam buku ini adalah kemampuan seorang Kiai untuk menyadari realitas kehidupan yang sangat beragam dan sukar untuk dibuat seragam, artinya perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang melahirkan realitas akan keberagaman masyrakat sehingga menelurkan sebuah istilah yang dinamakan kesholehan multikultural.

Dalam buku ini penulis mengangkat seorang tokoh, yaitu KH Sholeh Bahrudin yang menjadi obyek penelitiaanya dan berhasil dalam mensinergikan antara kebudayaan dengan teks-teks keagamaan yang profan, sehinga melahirhan kesholehan multikultural yang dapat merangkul semua jenis karakteristik manusia yang berbeda namun dengan pola semangat yang sama, yakni esensi dan hakikat islam yang damai dan saling hormat menghormati.

Ketidak sempurnaan merupakan hal yang sangat wajar dalam realitas kehidupan, begitupun dengan buku ini yang seolah terkesan mengangkat hanya satu golongan atau kelompok organisasi keagamaan tertentu yang sebenarnya banyak dimiliki juga oleh kelompok golongan lain. Namun bertolak dari itu semua, pesan yang terkandung dalam buku ini sangat bagus dan terasa menjadi seteguk air dari kehausan bangsa Indonesia yang merindukan sosok para kiai yang benar-benar faham terhadap realitas kehidupan yang pada akhir-akhir ini semakin langka. Dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti dan susunan kata yang elok, buku ini sangat pantas dibaca oleh semua kalangan dan semua golongan, yang pada akhirnya cita-cita dan gagasan yang terkandung dalam buku ini, yaitu menciptakan pribadi yang bijaksana dalam beragama dapat segera terwujud. Amin,. Selamat Membaca!!!!!

*Koordinator Aswaja Center IPNU IAIN Sunan Ampel Surabaya

http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/32375/Buku/Kiai_Pribumi.html

Thursday, August 18, 2011

Fikih Ziarah

NU Online, 20/06/2011 08:55

Judul: Fiqh Ziaroh (terjemah Mafahim Yajibu an Tushahhah)

Penulis: Dr. Sayyid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki Al-Hasani
Penerjemah: Ibnu Ayyub Nu’man HM
Tahun Terbit: Juni 2011
Penerbit: LTN- NU Jombang, JIIC dan Ash- Shofa Press
Jumlah halaman: xvi +146
Peresensi: Yusuf Suharto

Buku ini adalah serial keempat dari terjemah dari Mafahim Yajibu an Tushahhah karya besar Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki al- Hasani. Edisi terjemah secara berurutan berdasar kitab aslinya yang berbahasa Arab adalah Kafirnya Tuduhan Kafir, Fiqh Tawassul, Fiqh Barakah, dan Fiqh Ziarah.

Serial buku terjemah ini adalah karya kelima yang telah diterbitkan oleh LTN-NU Jombang setelah Landasan Amaliyah NU, Doktrin Aswaja, Buku Pendamping Aswaja untuk Siswa, dan Muslim Marhamah.

Keistimewaan buku Mafahim Yajibu an Tushahhah ini adalah karena disusun seorang ulama dari keturunan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaih wasallam yang hidup di tengah-tengah dominasi masyarakat dan ulama sunni salafy wahhabi. Sayyid Muhammad yang banyak memiliki murid dari Indonesia ini dikenal sebagai ulama sunni moderat dan berhati-hati melabelkan kesesatan bagi paham di luar golongannya. Dengan kejujuran ilmiahnya beliau banyak mengutip pendapat ulama yang dijadikan panutan pemimpin Wahhabi. Demikian paling tidak dapat kita simpulkan dalam dua bukunya, Mafahim Yajibu an Tushahhah dan Huwallah.

Dalam buku ini Sayyid Muhammad mencoba meluruskan doktrin-doktrin sunni mainstream yang dinilai salah atau bid’ah oleh Wahhabi dengan sumber- sumber dalil dari ulama panutan mereka sendiri, yaitu terutama Syaikh Ibnu Taymiyyah, Syaikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab.

Untuk keberanian intelektualnya ini, pakar hadis ini dikucilkan bahkan dianggap sesat. Karenanya iakemudian tidak lagi dibolehkan mengajar di Masjidil Haram, kitab-kitabnya dilarang, dan juga kedudukannya sebagai guru besar di Universitas Ummul Qura pun dicabut.

Serial buku dengan judul Fiqh Ziarah yang diterjemahkan oleh Ibnu Ayyub, salah seorang pengajar di Pesantren Lirboyo Kediri ini terdiri dari lima puluh fasal atau sub bahasan. Antara lain mengkaji tentang kehidupan barzakh adalah kehidupan yang nyata, arti kehidupan barzakh, kekalnya jasad Nabi, suara salam dan adzan yang terdengar dari kuburan Nabi dan dukungan Ibn Taymiah terhadap kenyataan tersebut, karamah di alam barzakh bagi selain Nabi, kesunnahan ziarah Nabi menurut pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal, pernyataan para ulama salaf tentang disyari’atkan ziarah, pendapat Ibnu Qayyim dan Ibnu Taymiyyah, Perhatian al-Qur’an terhadap peninggalan para nabi dan orang shalih, pelestarian Khulafa Rasyidin terhadap peninggalan nabi, dan sebagainya.

Edisi terjemah yang mengkaji tentang ziarah dan hal terkait ini seolah ingin menegaskan bahwa antara sunni mainstream (sunni mayoritas yang berpijak dalam kerangka pikir akidah Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi) dengan sunni Wahhabi (para pengikut Syaikh Ibn taymiah dan Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab,walaupun masyarakat yang biasa menyebut dirinya sebagai ‘salafi’ ini tidak menyukai julukan Wahhabi ini) memiliki sejumlah kesamaan doktrin, terutama ketika merujuk pada pendapat para ulama rujukannya yaitu Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim, bahkan juga Muhammad Ibn Abdil Wahhab sebagai ulama yang namanya dinisbatkan menjadi paham atau golongan Wahhabi ini.

Buku yang dimaksudkan sebagai landasan etika berziarah ini memuat sekian dalil dari Al-quran dan hadis yang membuktikan kesunnahan ziarah nabi dan juga orang-orang shalih. Ditegaskan oleh Sayyid Muhammad bahwa hadis-hadis yang menjelaskan berziarah ke kuburan nabi memiliki banyak jalur periwayatan yang sebagian menguatkan sebagian yang lain, dan bahwa sebagian ulama telah menilai shahih hadis-hadis tersebut atau mengutip penilaian shahihnya seperti Imam as-Subki, Al-‘Iraqi, Qadhi ‘Iyad dan selainnya dari kalangan huffadz hadis dan para imam yang menjadi acuan (Fiqh Ziarah, 47).

Dalam buku ini diungkap bahwa sebenarnya Syaikh Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qayyim juga Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak mengharamkan ziarah Nabi. Bahkan Muhammad ibn Abdil Wahhab secara tegas membantah tuduhan yang dialamatkan padanya, bahwa dia mengharamkan beberapa hal, termasuk di dalamnya ziarah Nabi Muhammad.

“Di antara kebohongan itu adalah bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat; bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar; saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taklid; perbedaan para ulama adalah bencana dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang sholih;………saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi dan mengingkari ziarah ke makam kedua oaring tua dan makam orang lain……….jawaban saya atas tuduhan mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah “Maha Suci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar”. (QS. An-Nur:16). (Fiqh Ziarah, 125-126).

Sayyid Muhammad mengapresiasi sikap dan klarifikasi Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab ini dengan menyatakan, “Sikap Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab ini adalah kebijaksanaan dan kebenaran sesungguhnya. Sikap ini adalah siasat syar’i yang wajib menghiasi perilaku ulama, para pembimbing, dan para guru dalam menyuruh, melarang, member petuah dan memberi petunjuk (Fiqh Ziarah, 127)

Pandangan Ibnu Taymiyyah sebagaimana dikutip Sayyid Muhammad yang selaras dengan sunni mainstream ini misalnya adalah, “Bepergian menuju masjid Nabi yang disebut bepergian untuk berziarah kepada kuburan beliau adalah kesepakatan ulama dari generasi ke generasi. Adapun bepergian untuk berziarah ke kuburan-kuburan lain maka tidak ada status hukum yang dikutip dari para sahabat, bahkan dari atba’ut tabi’in.” (Fiqh Ziarah, 49).
Mengapresiasi pandangan positif ziarah Nabi dari Ibnu Taymiah ini Sayyid Muhammad berkomentar,

Pandangan Ibnu Taymiyyah yang menarik ini mampu menyelesaikan problem besar yang memecah belah kita umat Islam dan membuat sebagian kita mengkafirkan sebagian yang lain dan mengeluarkannya dari lingkaran agama Islam. Seandainya orang yang mengklaim pengikut salaf mengikuti cara yang ditempuh Ibnu Taymiyyah, imam salaf pada masanya dan menuntut kepada orang-orang alasan akan tujuan-tujuan mereka serta berprasangka positif kepada mereka, niscaya sejumlah besar orang akan selamat dari masuk neraka dan beruntung masuk surge tempat tinggal abadi (Fiqh Ziarah,50)

Dus, dengan membaca buku yang diberi kata sambutan Rais Syuriyah PCNU Jombang, KH Abd. Nashir Fattah, dan Ketua Tanfidziyah PCNU Jombang, Dr KH Isrofil Amar ini para pembaca akan mendapatkan paling tidak tiga manfaat. Pertama, kaum muslimin dapat mengetahui atau semakin memantapkan diri bahwa amaliyah yang mereka tradisikan sedemikian mengakar memiliki dasar yang kuat dan kokoh dari Al-Qur’an, hadis juga pendapat para ulama terpercaya. Kedua, sebagai jawaban terhadap sementara anggapan yang memandang perilaku keagamaan warga muslim mayoritas menyalahi atau menyimpang dari tuntunan agama Islam. Ketiga,membangun kejujuran ilmiah dengan paparan sumber-sumber ilmiah primer dari masing-masing pihak untuk mengembangkan ukhuwwah islamiyah antar paham-paham yang dianggap berbeda tersebut di kalangan muslimin.

Penulis adalah Sekretaris Aswaja Center PCNU Jombang

http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/32603/Buku/Fikih_Ziarah.html

Wednesday, August 17, 2011

Muslim Marhamah, Muslim yang Memiliki Kasih Sayang

NU Online, 10/05/2011 14:47

Judul: Muslim Marhamah; Citra Diri Muslim Ahlussunnah wal Jama’ah
Penulis: Dimyathi, Syamsul Rijal, Alfiyah, dan Yusuf Suharto
Tahun Terbit: Maret 2011
Penerbit: Pustaka Muhibbin dan LTN-NU Jombang
Jumlah halaman: 225
Peresensi: Shofia Rachman

Wacana Islam rahmatan lil ‘alamin senantiasa didengungkan para pemikir muslim, termasuk Nahdlatul Ulama. Islam dengan ajeksi demikian ini ditujukan untuk membawa rahmat kedamaian bagi semesta alam yang dalam percaturan global dewasa ini meniscayakan sinergi dan kerjasama antar umat Islam, bahkan antar agama di muka dunia untuk perdamaian.

Dalam al-Qur`an, ajaran mengenai hidup dan kehidupan ini tampak begitu ideal dan agung. Islam mengajarkan kepada para pengikutnya agar selalu mengembangkan kesalehan dan kepedulian terhadap sesama, menjunjung tinggi sikap marhamah (penuh kasih sayang), mengembangkan kualitas diri serta berprilaku yang mencerminkan akhlakul karimah.

Karakter dasar Islam sebagai agama yang mengejawantahkan misi kerasulan Muhammad Saw berbentuk ajaran yang berlandaskan marhamah atau rahmat (kasih sayang) diperuntukkan bagi segenap alam semesta (QS. al-Anbiya’ 21: 107). Namun karakter dasar tersebut terdistorsi oleh beragam pemahaman atas teks sumber pokok ajaran (Al-Qur'an–Sunnah–Hadis) ketika diperhadapkan pada struktur masyarakat Indonesia yang tergolong majemuk dan terakumulasi menjadi doktrin-doktrin keagamaan radikal (tatharruf).

Masyarakat majemuk menurut Clifford Greets (dalam Nasikun, 1984) adalah masyarakat yang terbagi ke dalam sub sistem yang berdiri sendiri, masing-masing terkait oleh ikatan bersifat primordial. Ikatan berbasis etnisitas, agama dan kepercayaan, pandangan politik dan sebagainya. Identitas agama dalam struktur masyarakat majemuk – berdasar catatan sejarah – telah memperlihatkan legitimasi paling efektif dalam memperkuat posisi kelompok. Hal itu terjadi karena keyakinan (credo) terhadap doktrin agama rentan memunculkan klaim kebenaran (claim of truth) di kalangan pemeluk agama masing-masing.

Tatkala fanatik keagamaan diikuti oleh solidaritas kelompok secara berlebihan, maka akan muncul perilaku keagamaan yang ekstrim berupa sentimen kolektif terhadap kelompok pendukung faham keagamaan yang lain. Perlawanan oleh kelompok faham keagamaan yang berseberangan sangat mungkin berupa tindakan kekerasan kolektif.

Realitas kekerasan bernuansa keagamaan di Indonesia jelas berindikasi penyimpangan (deviasi) terhadap teks-teks sumber pokok agama (Islam) dipahami secara tidak benar dan membentuk doktrin-doktrin. Sayyid Muhammad ‘Alawi (1424: 45) menegaskan bahwa faktor penyebab radikalisme pemahaman ajaran Islam adalah “sathahiyyatu al-tsaqafah wa al-fiqhi fi al-dini” (kedangkalan ilmu pengetahuan dan kedangkalan wawasan keagamaan). Prediksi akan terjadi penyimpangan (deviasi) terhadap sumber pokok ajaran Islam telah disampaikan oleh Nabi Saw melalui a’lam al-nubuwah-nya seperti diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dkk bahwa human error dalam memahami agama (Islam) bisa mengambil bentuk penyimpangan (tahrif) akibat sikap ekstrim, penyesatan atas nama agama (intihal) oleh musuh Islam dan pengulasan makna (ta’wil) oleh orang-orang yang bodoh. Hadis tersebut termuat dalam Miftahu Dar al-Sa’adah, koleksi Ibnu al-Qayim yang diriwayatkan pula oleh Abi Hurairah, Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Amr, Abi Umamah dan Jabir bin Samurah ( Yusuf Al-Qaradhawi, 1991: 28).

Antisipasi terhadap arus gerakan radikalisme-fundamentalisme menurut Bassam Tibi perlu mensinergikan hadarah al-nash (penyangga budaya teks bayani), hadarah al-‘ilmi, hadarah al-falsafah dan dikombinasikan dengan humanities kontemporer (Amin Abdullah, 2006: 403). Pola sinergi tersebut guna menghindari jebakan pitfall (keangkuhan disiplin ilmu yang merasa pasti dalam wilayah sendiri-sendiri tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar dirinya).

Bagi bangsa Indonesia eksistensi, peran dan fungsi umat Islam sangat strategis sebagai pengendali, penggerak, dan pemandu perubahan sosial di tengah dinamika global. Di sinilah dibutuhkan karakter muslim yang ramah, konsisten menghargai pluralitas, serta mampu bekerjasama dengan komponen bangsa lain dalam membangun bangsa menuju terwujudnya Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Karakter muslim seperti ini disebut dengan karakter muslim marhamah yang menghidupkan kembali ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (penebar kasih sayang bagi seluruh alam).

Islam rahmat jelas menolak dan melarang pemakaian kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (al-ghayat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al-wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Lebih jauh, Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula (al-nahyu ‘an al-munkar bi ghair al-munkar). Tidak ada alasan etik dan moral yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan ataupun teror. Kalau ada tindakan-tindakan kekerasan atau teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka jelas alasannya bukan karena ajaran etik-moral Islam, melainkan karena agenda-agenda lain yang bersembunyi di balik tindakan tersebut.

Di sisi lain Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi keagamaan terbesar yang sangat serius dalam mewujudkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Konsepsi Islam rahmatan lil alamin dalam NU tercermin dalam dasar-dasar sikap kemasyarakatan NU yang tercakup dalam nilai-nilai sebagai berikut:

Pertama, tawassuth (moderat) dan i’tidal (lurus/tegak), yaitu, sikap tengah dan lurus yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama, dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem). Nilai ini disarikan dari ayat al-Quran surat al-Baqarah: 143 dan al-Maidah: 8.

Kedua, tasamuh (toleran), yaitu, sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan (terutama yang bersifat furu’iyyah), kemasyarakatan, maupun kebudayaan. Nilai ini disarikan dari ayat al-Quran surat Thaha: 44.

Ketiga, tawazun (seimbang), yakni menyeimbangkan pengabdian kepada Allah, manusia, dan lingkungan. Juga menyelaraskan kepentingan masa lalu, kini, dan akan datang. Nilai ini disarikan dari ayat al-Quran surat al-Hadid: 25.

Keempat, amar ma’ruf nahi munkar. NU selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah segala hal yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kehidupan.

NU dengan nilai-nilai tersebut benar-benar berkomitmen untuk membumikan Islam rahmatan lil’alamin, baik dalam ranah agama, sosial, hukum dan politik, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Nilai-nilai tersebut tidak hanya dipahami sebagai doktrin akan tetapi juga harus dipahami sebagai metode berpikir (manhaj al-fikr) dalam mencarikan solusi atas berbagai persoalan umat yang kompleks.

Nah dalam konteks tersebut buku yang diterbitkan LTN-NU Jombang ini dapat dikatakan bentuk ikhtiar NU (dalam hal ini antara lain dilakukan oleh PCNU Jombang) yang ingin bersama unsur- unsur anak bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mewujudkan Islam yang rahmatan lil’ alamin atau menjadi muslim yang mempunyai karakter yang ‘marhamah’ (penuh kasih sayang).

Buku ini ditulis setelah melalui beberapa rangkaian tahapan. Dimulai dari Halaqah Regional “Menjadi Muslim Marhamah” pada 05 Desember 2010 dengan nara sumber Imam Aziz MA, Prof Dr Kacung Maridjan (Pengurus PBNU), KH Hasyim Abbas (Syuriah PWNU Jawa Timur), dan KH Hasan Mutawakkil Alallah (Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur) yang mempertemukan dan melibatkan ragam pikiran nahdliyyin dari kalangan akademisi, para kiai muda atau gus- gus pesantren dan aktivis sosial atau LSM, kemudian diskusi grup terfokus (FGD) yang melibatkan 16 peserta terpilih yang mewakili ragam pikiran tersebut, dan kemudian mengerucut pada empat penulis yaitu Alfiyah Ashmad, M Dimyati, Syamsul Rijal dan Yusuf Suharto yang didampingi KH Abdul Kholik Hasan (Wakil Katib syuriah PCNU Jombang) dalam eksplorasi diskusi beberapa kali untuk mematangkan penyusunan materi dan teknis buku

Buku bercover hijau yang diberi kata sambutan oleh Rais Syuriah PCNU Jombang (KH. Abd.Nashir Fattah) dan Ketua Tanfidziyah PCNU Jombang (Dr KH Isrofil Amar) dengan jumlah 225 halaman ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama mengkaji tentang hakikat muslim marhamah yang berisi sub bab tentang istilah, pengalaman sejarah, landasan spirit, konstruksi, dan berpikir dan bertindak model muslim marhamah. Bab kedua tentang HAM yang ber sub bab tentang HAM dalam Qur’an dan hadits, sejarah HAM di dunia Islam dan Indonesia. Bab ketiga tentang pemaknaan jihad, dan bab keempat tentang pergulatan NU dalam menghadapi radikalisme.

Sebagai kumpulan tulisan dari hasil diskusi dan pemikiran para generasi muda NU, maka buku ini mungkin ditemukan beberapa kelemahan, baik dari aspek metodologis maupun teknis penulisannya, karena ditulis dalam corak bahasa masing- masing tim penulis yang terasa ‘sulit’ untuk disinergikan menjadi satu gaya bahasa.Namun secara keseluruhan, ruh kesamaan cara pandang sebagai orang “NU”, menjadikan buku ini dapat dikatakan telah mengalami ‘sinergi’ dalam isi.

Bagaimanapun buku ini adalah ikhtiar yang harus terus berkelanjutan di masa mendatang dengan karya- karya yang kontekstual dan dibutuhkan masyarakat dan membawa manfaat bagi warga NU dan masyarakat muslim di Indonesia. Dan ke depan diharapkan ada lanjutan kerja- kerja intelektual yang tampil kritis namun tetap santun dan menghargai. Semoga

* Pengajar pesantren Darul Ulum Jombang

http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/28018/Buku/Muslim_Marhamah__Muslim_yang_Memiliki_Kasih_Sayang.html

Tuesday, August 16, 2011

Kontroversi Umat Islam

NU Online, 27/06/2011 10:43

Judul: Meluruskan Kesalahan Buku Putih Kyai NU
Penulis: Tim FBMPP Kediri
Penerbit: Bina Aswaja
Distributor: Khalista Surabaya
Cetakan: I Mei 2011
Tebal: 292 Halaman
Peresensi: Junaidi*

Kontroversi di dalam hidup ini seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Baik itu konfrontasi antar individu, kelompok, golongan, ras, dan lembaga-lembaga tertentu. Setiap individu, kelompok, golongan, ataupun ras sudah tentu memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan yang lain mengenai suatu hal tertentu.

Seperti halnya dengan pemahaman di dalam agama Islam mengenai suatu ayat, banyak mengalami kontroversi yang tidak dapat untuk dipungkiri keberadaannya. Dalam tokoh pemuka agama Islam mengenai suatu hukum antara imam Malik dan imam Syafi’ie sudah mengalami kontroversi yang sangat hebat, padahal mereka adalah antara guru dengan murid, tetapi apa yang menjadi hujjah (dalil) adalah rasional dengan dalil-dalil yang dilontarkan oleh pihak masing-masing. Namun, tidak hanya di dalam agama saja kontroversi itu terjadi, di masyarakat pun kerap terjadi perselisihan yang berdampak pada pertikaian akibat perbedaan sebuah pendapat. Yang perlu kita pahami terlebih dahulu dalam memastikan suatu hukum/keputusan adalah harus rasional dan disertai dengan dalil-dalil yang kuat dan mendukung terhapadap keputusan yang kita putuskan.

Di dalam buku ini penulis memberikan sebuah pemahaman tentang ibadah dan bid’ah. Dalam perjalanan orang-orang Wahhabi, mereka tidak akan lelah dalam memperjuangkan dan membuktikan paham yang mereka ikuti. Dengan berbagai cara mereka menjadikan ‘seseorang’ yang kabarnya tidak bisa membaca kitab kuning sebagai kambing hitam (penulis fiktif) untuk memperjuangkan dan menyebarkan paham Wahhabi dalam hal ibadah dan bid’ah. Kaum Wahhabi memiliki konsep yang berbeda dengan mayoritas kaum Muslimin yang tidak pernah berhenti membid’ahkan yang beragam amaliyah yang mengakar kuat sejak lahirnya agama Islam.

Para ulama mendefinisikan ibadah dengan suatu ketaatan disertai ketundukan, puncak kekhusyukan dan kerendahan diri atau dengan kata lain puncak khudlu’dan tadzallul (ketundukan dan merendah diri). Menurut pendapat imam al-Azhar, ibadah adalah ketundukan yang disertai dengan kerendahan hati. Kita bisa memberikan sebuah konklusi bahwa ibadah adalah puncak dari ketundukan, ketaatan, dan kerenadahan diri yang hanya layak untuk lota lakukan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, amaliyah yang dilakukan oleh ummat Islam, khususnya warga Nahdliyyin seperti halnya tabarruk (mengharap barokah), tawassul (sambung doa kepada orang lain terlebih-lebih kepada orang yang telah meninggal dunia), dan lain sebagainya tidak dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Dalam menilai suatu ibadah kita tidak diperkenankan terlalu gegabah untuk menuduh syirik kepada seseorang, karena suatu ibadah dikatergorikan syirik atau tidaknya dilihat dari keyakinan pelakunya. Jika ia meyakini bahwa ibadah yang ia lakukan dapat memberikan kemanfaatan ataupun marabahaya, maka ibadah tersebut ternasuk perilaku syirik. Namun, jika orang tersebut berkeyakinan bahwa semua yang bisa memberikan manfaat atau marabahaya hanyalah Allah Swt, maka ibadah yang ia lakukan jelas tidak bisa dikatakan syirik.

Pembahasan di dalam buku ini tentang bid’ah tidak kalah pentingnya dengan ibadah. Tim FBMPP Kediri mendefinisikan bid’ah, secara terminologi, bid’ah dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang tidak pernah dilakukan di masa nabi Muhammad Saw., dan tidak ada kejelasannya di dalam Alquran maupun Alhadits.

Namun, yang perlu kita ketahui dan pahami bahwasanya tidak semua bid’ah itu jelek, namun bid’ah ada yang baik. Jadi, segala sesuatu yang belum pernah dilakukan sejak pada masa nabi Muhammad Saw., atau belum pernah adanya kejelasan dari Alquran maupun Alhadits bukan berarti semua bid’ah/haram sebagaimana yang ditegaskan oleh penulis buku “Buku Putih Kyai NU”, sehingga penilaian bid’ah dengan tanpa pemilihan merupakan pangkaburan terhadap hukum syari’ah Islam.

Dalam upaya menilai sesat warga Nahdliyyin, penulis Buku Putih Kyai NU ini tidak segan-segan mengumbar kata-kata general bahwa semua bid’ah adalah sesat. Implikasinya semua amaliyah warga Nahdliyyin yang telah diwariskan dari ulama’ salaf terdahulu ia katakana bid’ah. Ia sendiri telah mengaku kalau sekarang telah keluar dari perilaku syirik.

Hal ini berarti pengakuan bahwa ia sebelumnya telah berkubang dalam lumpur bid’ah dan kemusyrikan. Padahal ia sendiri telah terjebak dalam kesesatan paham Wahhabi. Dia tidak menyadari apa yang telah ia perbuat dalam kesehariaanya. Jika memang akan memfonis seseorang dengan perilaku bid’ah, sebenarnya dirinya itu telah mealakukan bid’ah, seperti makan nasi, pada masa nabi Muhammad Saw. tidak ada nasi, yang ada hanya roti atau kurma sebagai makanan pokoknya.

Buku yang berjudul “Meluruskan Kesalahan Buku Putih Kyai NU” dikemas dengan beberapa pemikiran-pemikiran yang bisa diterima oleh akal dan masyarakat luas mengenai suatu pendapat dalam buku “Buku Putih Kyai NU” yang dianggap telah menyimpang dan tidak sesuai dengan kehidupan ummat Islam, khususnya warga Nahdliyyin yang ada di Indonesia ini.

Selama ini, ummat Islam warga Nahdliyyin yang membaca buku “Buku Putih Kyai NU” merasa diresahkan dengan sebuah pendapat penulisnya yang mengkafirkan pelaku bid’ah, seperti membaca tahlil, tawassul kepada orang yang telah meninggal dunia. Padahal itu merupakan sebuah perantara dengan meminta sambung doa, agar doa kita terkabulkan oleh Allah Swt.

Buku ini selain memberikan pelurusan terhadap buku yang berjudul “Buku Putih Kyai NU” yang isinya mengkafirkan para pelaku bid’ah (Wahhabisme), juga memberikan sumbangsih bagi kita sebagai pembaca dalam hal mengutarakan sebuah pendapat dengan rasional dan bisa diterima oleh masyarakat luas. Buku ini memberikan contoh-contoh yang bisa kita jadikan sebagai pegangan hidup mengenai pendapat yang irrasional kemudian diluruskan menggunakan pendapat lain yang rasional dengan menuggunakan dalil-dalil yang cukup mendukung.

* Penulis adalah Mahasiswa Department of English Literary IAIN Sunan Ampel Surabaya

http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/32698/Buku/Kontroversi_Umat_Islam.html

Monday, August 15, 2011

Mengenal Tipologi Paradigma Fiqh Islam

NU Online, 23/05/2011 10:05

Judul: Pergulatan Pemikiran Fiqih “Tradisi” Pola Mazhab

Penulis: Dr. Ahmad Arifi
Penerbit: eLSAQ Press
Cetakan: II, 2010
Harga: Rp. 52.000
Tebal: 370 Halaman
Peresensi : Junaidi*

Untuk melakukan pemetaan suatu pemikiran dapat dilihat dari sudut pandang apa yang digunakan, didasarkan pada pola pemahaman masyarakat (ulama khususnya) terhadap ajaran (agama) dalam kaitannya fakta sosial yang melingkupinya. John L. Esposito misalnya, memotret dinamika pemikiran kegamaan dengan tiga kategori, yaitu: restriction of traditionalist, modernist scripturalism, dan socio-historical approach.

Dalam buku Arifi ini dijelaskan tiga kategori pemikiran menurut Esposito. Pertama, restriction of traditionalist adalah pola pemikiran keagamaan tradsional yang sempit. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh tradisi ulama masa lampau, dimana hasil pemikiran ulama terdahulu dijadikan acuan dan sekaligus referensi final bagi setiap persoalan kemasyarakatan yang muncul pada saat sekarang. Pola pemikiran yang demikian ini biasanya diikuti oleh komunitas masyarakat tradisional yang membanggakan tradisi, seperti kelompok pengikut pola bermadzhab dalam keagamaan. Nahhatul Ulama (NU) dalam hal ini termasuk di dalamnya.

Kedua, modernist scripturalism adalah tipe pola gerakan yang menamakan dirinya kelompok modern. Pola ini menggunakan pemahaman keagamaan secara tekstual dari ajaran-ajaran suci. Dengan demikian, kelompok ini terpaku pada pemahaman doktrin secara tekstual dengan merujuk nash secara redaksional, tidak pada inti ajaran yang menjadi maqashid al-syari’ah. Justifikasi terhadap tindakan (amalan) agama dilihat pada atau tidaknya referensi tekstual nash. Amalan agama dinggap benar ketika ada dalil dari nash secara tesurat (eksplisit). Dapat dimasukkan dalam kategori ini adalah Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) di Indonesia, yang dipengaruhi oleh gerakan tajdid (purifikasi) kaum Wahabi di Arab Saudi.

Ketiga, socio-historical approach adalah tipe pola pemahaman keagamaan yang dalam melihat ketentuan-ketentuan ajaran agama (nash) lebih didasarkan kepada aspek-aspek historis dan konteks sosial yang berkembang di masyarakat. Diantara contoh dari model pemikiran ini adalah pemikiran Fazlur Rahaman, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pemikiran-pemikiran dari beberapa tokoh seperti KH Sahal Mahfudh, KH Ali Yafie, dan Masdar F Mas’udi adalah contoh lain dari pemikiran fiqih.

Mengenai sikap para ulama terhadap kitab-kitab fiqih klasik (al-turats al-qadim) produk pemikiran (ijtihad) ulama imam madzhab, dalam pengamatan Qadri A. Azizy, ada dua kelompok. Pertama, kelompok yang menempatan al-turats al-qadim pada posisi doktrinal. Kelompok ini menganggap dan memperlakukan kitab-kitab tersebut sebagai sesuatu yang “sakral” dan tidak tersentuh oleh akal manusia. Fiqih identik dengan syari’ah itu sendiri. Atau setidaknya, kelompok ini menempatkan fiqih yang merupakan hasil ijtihad sebagai barang “baku dan menjadi beku”, menggantung di awang-awang, atau bahkan di langit, karena tidak bisa disentuh oleh dunia nyata. Kedua, kelompok yang menganggap kitab-kitab fiqih klasik sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan sama sekali. Kelompok ini bukan hanya tidak menghargai karya intelektual secara akademik, namun mereka tidak belajar dari pengalaman sejarah pemikiran yang sebenarnya merupakan warisan (al-turats) yang sangat berharga.

Dalam buku ini ada perbedaan sikap dan pandangan dalam melihat dan memposisikan fiqih (Hukum Islam) sebagaimana terurai di atas akan berpengaruh pada langkah yang diambil ketika mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan fiqih (al-masail fiqihiyyah) yang memerlukan jawabannya. Bagi kelompok pertama yang memgangi secara kuat terhadap doktrin fiqih, solusi yang diberikan atas masalah fiqih tentunya akan merujuk kepada kitab-kitab fiqih yang dihasilkan oleh para ulama klasik, sehingga sikap ber-taqlid dipandang sebagai langkah terbaiknya. Sebaliknya, bagi kelompok yang kedua yang tidak peduli kepada kitab fiqih klasik, mereka akan melakukan jalan pintas dengan jalan berijtihad dan merujuk kepada sumber Alquran dan Alhadits, meski kemampuan untuk berijtihad belum memadai. Sekiranya dilihat dari persyaratan bagi mujtahid yang dingkapkan oleh para ulama ushul adalah sangat berat, di mana mereka masih jauh dari memenuhi syarat.

Oleh sebab itu, diperlukan adanya sikap baru (kelompok ketiga) yang lebih moderat dan proporsinal dalam rangka mencari titik temu dari dua sikap yang sama-sama ekstrim tersebut. Dimana kelompok yang ketiga berpandangan, bahwa kitab-kitab fiqih klasik diletakkan sebagai warisan (al-turats) yang berharga dan perlu diapresiasi secara proporsional. Berdasarkan pola-pola pemahaman yang dikenal dalam masyarakat Muslim di atas, maka untuk melihat dinamika pemikiran fiqih dalam NU selama kurun waktu tahun 1990-an sampai 2004, perlu dicermati kecenderungan perkembangan pemikiran-pemikiran baru dalam komunitas NU.

Buku ini menyuguhkan salah satu aspek sejarah sosial dan intelektual umat Islam dalam konteks pemikiran Islam di Indonesia, khususnya berkenaan dengan dinamika pemikiran fiqih (hukum Islam) di kalangan ulama NU, sebuah komunitas muslim tradisional yang berbasiskan dunia pesantren. Hasil pemikiran ini kemudian melahirkan berbagai madzhab yang melembaga dan mewujud menjadi berbagai kelompok masyarakat Muslim dengan ragam institusinya di belahan dunia, termasuk di Indonesia. Sehingga buku ini pantas dan akurat dibaca untuk memahami sebuah pemikiran ulama dalam dunia Islam yang beraneka ragam.

* Penulis adalah Mahasiswa Department of English Literary IAIN Sunan Ampel Surabaya

http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/32291/Buku/Mengenal_Tipologi_Paradigma_Fiqh_Islam.html