Saturday, April 30, 2011

Muslim Women and Education in Indonesia: The Pondok Pesantren Experience

Srimulyani, Eka. 2007. "Muslim Women and Education in Indonesia: The Pondok Pesantren Experience". Asia Pacific Journal of Education. 27 (1): 85-99.

The "pondok pesantren" education is a "traditional" form of Muslim education in Indonesia. This boarding school system can be traced back to the 18th century or further. However, it was not until 1930 that the "pesantren" officially admitted female students, beginning with the Pesantren Denanyar of Jombang. The acceptance of female students in the "pesantren" was a significant breakthrough in the Indonesian Islamic context. It has led to a unique provision of Muslim education in a largely gender-segregated setting, although the strictness of this depends on the flexibility of the "pesantren" leader. This paper provides a qualitative, socio-historical perspective of the current state of "pesantren" education for women in Indonesia, and the challenges faced in achieving gender equity. It discusses the positioning of female students vis-a-vis limited access to public space, their roles--both expected and aspired to--in society, gender bias in teaching material, and the male-centred structure of authority within the institution. While acknowledging the contributions that the "pesantren" have made to the education of Muslim women in Indonesia, this paper urges them to address such internal tensions to improve the quality of education provided to women.

Friday, April 29, 2011

The 'spirit of education' in Indonesian Pesantren

Nilan, Pam. 2009. "The 'spirit of education' in Indonesian Pesantren". British Journal of Sociology of Education. 30 (2): 219-232.

Author:
Nilan, Pam1

Source: British Journal of Sociology of Education, Volume 30, Number 2, March 2009 , pp. 219-232(14)

Publisher: Routledge, part of the Taylor & Francis Group


Abstract:

This paper employs Foucauldian theory to consider Islamic boarding school experiences in Indonesia. For some pupils 'the spirit of education' - a dimension of pleasure - comes to be highly valued, creating a lifelong passion for the pursuit of knowledge. Two school principals (both pesantren [Islamic boarding school] graduates themselves) articulated strong commitment to the 'spirit of education'. Yet their respective boarding schools were very poor, not only by western standards but compared with Indonesian public schools, and conditions were austere. The embodiment of pesantren discourse as high academic achievement is illustrated by the example of Khadija - a young female pesantren graduate now studying at doctoral level in the United Kingdom. Explaining the embodied production of the 'spirit of education' demands looking at charismatic pedagogy, strict rules, austere conditions and sparse provision of learning resources as regimes of truth and power-knowledge relations that inhere in pesantren as lived experiences of pupils.

Keywords: Islamic boarding school; spirit of education; Foucault

Document Type: Research article

DOI: 10.1080/01425690802700321

Affiliations: 1: School of Humanities and Social Science, University of Newcastle, New South Wales, Australia

Thursday, April 28, 2011

Menjadi Muslim Moderat Tak Mudah

DR. KH. Said Agil Siraj Ketua Umum PBNU Periode 2010 - 2015
Rabu, 31 Maret 2010

Menjadi Muslim Moderat Tak Mudah

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj, mengatakan, kezaliman terhadap umat Islam di dunia sudah sangat serius. Hal itu terjadi karena untuk bersifat moderat nampaknya merupakan hal yang sulit.

“Ada dua kezaliman di hadapan umat Islam. Pertama kezaliman politik internasional melalui wajah Dewan Keamanan PBB dan kedua, kezaliman Moneter dengan mata Uang dollar sebagai kolateralnya,” katanya saat acara penutupan Rakernas I Majelis Alumni IPNU di Hotel Millenium, Jakarta, Senin (1/2).

Menurutnya, kezaliman politik salah satunya, disebabkan keberadaan Dewan Keamanan PBB. Keputusan yang telah dirumuskan bersama negara-negara anggota PBB kerap lenyap seketika ketika satu dari lima anggota DK PBB mem-veto.

Ketidakadilan inilah kata dia, kerap merugikan umat Islam. “Harusnya, DK PBB itu isinya organisasi-organisasi dunia seperti OKI, ASEAN, Uni Afrika, Uni Eropa, dan lain-lain, tidak hanya 5 negara saja,” katanya.

Kezaliman kedua, katanya, berasal dari penggunaan mata uang dollar sebagai kolateral pengganti emas. “Indonesia misalnya mau mengeluarkan emas maka harus membeli dolar sebagai kolateralnya. Dua hal inilah yang menyebabkan umat Islam untuk berbuat moderat itu sulit. Bagaimana tidak berat, lha wong kita dizalimi. Sulit untuk mencegah itu,” katanya.

Lebih lanjut, alumni universitas Ummul Quro ini mengatakan, kezaliman itulah yang melahirkan ekstrimisme di dunia. “Hal itu pula yang menyebabkan ekstrimisme berkembang, Bukan karena kebodohan mereka bersifat seperti itu, tapi karena kezaliman berada di depan mereka. Orang-orang ekstrimisme itu tidak bodoh,” ungkapnya.

Karena itu, katanya, kedua hal inilah tantangan berat yang ada di depan mata umat Islam di seluruh Indonesia.

Pada bagian lain, Kang Said, demikian ia akrab disapa, menanggapi soal fenomena liberalisasi pemikiran keagamaan di kalangan anak muda NU. “Kalau sebatas bincang-bincang boleh lah. Tetapi jika sudah masuk dalam landasan berorganisasi ini bahaya,” ujarnya.

Kang Said menjelaskan, liberalisasi pemikiran tak boleh diberi peluang secara luas karena akan merembet pada liberalisasi di bidang ekonomi, liberalisasi budaya, dan liberalisasi agama. “Salah satu bentuk liberalisasi budaya adalah adanya pemahaman tidak pentingnya cium tangan pada kiai dan orang tua,” ungkapnya.

menurutnya, tuntutan pencabutan UU tentang Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi, jelasnya adalah akibat adanya liberalisasi pemikiran keagamaan yang kebablasan, dan ini harus ditentang.

Dalam kesempatan tersebut ia menegaskan pentingnya merawat pemikiran keagamaan yang tawassuth dan moderat. “Radikalisme agama itu salah, demikian juga liberalisme agama juga salah,” tegasnya.

Ia mengingatkan, NU berdiri di antara dua kutub yang ekstrem, kutub radikal yang sangat keras dan konfrontatif, serta kutub liberal yang kompromis, permissif dan hedonis.

Demi menciptakan pemahaman keagamaan yang akurat di masyarakat, masalah-masalah agama hendaknya tidak diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya. Masalah agama mestinya diserahkan kepada para ahli agama, yakni para alumni pesantren.

Para alumni pesantren inilah yang memiliki kemampuan untuk menelaah teks-teks keagamaan dan menyampaikannya kepada masyarakat secara tepat. BIla permasalahan-permasalahan keagamaan diserahkan kepada selain ahlinya, maka bisa dipastikan, masyarakat akan mendapatkan informasi keagamaan yang tidak memadai.

Demikian dinyatakan oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Agil Siraj di Jakarta, Jum'at (8/7). Menurut Kiai Said -panggilan akrab Said Agil Siraj, para alumni pesantren bisa membedakan fungsi-fungsi kalimat dan berbagai penandanya dalam teks-teks keagamaan.

"Masalah agama harus diserahkan kepada para alumni pesantren. Pesantren beneran, bukan sekedar pesantren kilat. Karena mereka memiliki keahlian untuk membedakan mana bentuk-bentuk perintah wajib atau hanya anjuran saja," terang Kiai Said.

Lebih lanjut Kiai Said menjelaskan, kata kholaqo misalnya, memiliki arti atau makna yang berbeda dengan kata ja'ala, meskipun jika diterjemahkan tampaknya sama saja, yakni menjadikan atau membuat dan menciptakan.

Kholaqo bermakna membuat melalui proses yang tidak dapat diganggu gugat. Kholaqo adalah kata kerja yang tidak dihubungkan pada proses manusiawi, proses pembuatan yang terkandung dalam makna kholaqo pada adalah murni hak prerogatif Tuhan.

Hal ini berbeda dengan kata ja'ala yang pada prosesnya menyertakan pekerjaan-pekerjaan kemanusiaan. Jika sebuah firman Tuhan menggunakan kata ja'ala, maka berarti manusia turut dilibatkan dalam proses pengerjaannya.

"Nah, hal-hal semacam ini tentu tidak bisa dikuasai oleh orang-orang tidak pernah mendapatkan pendidikan pesantren. Apalagi yang hanya bermodalkan teks-teks terjemahan saja," tandas Said Agil.

Tidak tergiur politik praktis

Selain KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), jelang Muktamar ke-32 NU yang dipanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga memanggil calon ketua umum PBNU lainnya, Prof Dr KH Said Aqil Siradj MA. Kepada Duta Masyarakat, kiai asal Cirebon, Jawa Barat itu memaparkan isi pertemuan tersebut. Juga memaparkan visi tentang NU ke depan. Berikut kutipannya.

Beberapa waktu lalu Pak Kiai bertemu dengan Presiden SBY. Bisa dijelaskan makna pertemuan tersebut?

Saya dengan Pak SBY sudah kenal sejak lama. Sejak beliau berpangkat kapten. Dulu kami sering bertemu dan ngobrol dan berdisuksi tentang berbagai hal. Namun sejak beliau jadi presiden, kami jarang ngobrol-ngobrol santai dan dalam suasana cair. Mungkin karena NU akan punya kenduri, sebagai sahabat beliau memanggil saya. Sebagai teman, mendapat undangan tentu harus datang.

Apa saja yang diobrolkan?

Ya banyak hal. Tentang bangsa dan agama. Mungkin, beliau mendengar saya disebut sebagai salah satu calon, ya tanya juga soal persiapan dan pesan-pesan untuk NU dan muktamirin.

Apa pesannya?

Persis yang disampaikan Pak SBY dalam pidato pembukaan muktamar, kemarin. NU jangan terjebak politik praktis. Lebih fokus pada bidang pemberdayaan masyarakat dan sebagainya. Pokoknya persis isi pidato pembukaan.

Beliau mendukung Pak Kiai?

Secara gagasan mendukung. Tapi dukungan dalam pengertian pencalonan, Pak SBY mendukung semua calon. Pak SBY katakan, seluruh calon adalah orang-orang baik dan kader terbaik NU yang akan membawa warga NU ke arah perbaikan.

Ini bukan zaman Orde Baru, yang dapat sembarangan pemerintah melakukan intervensi. Beliau menegaskan, pemerintah tidak mungkin ikut campur tangan dalam muktamar. Beliau juga tanya apa yang aka saya lakukan kalau, Allah mengizinkan terpilih menjadi Ketua Umum PBNU.

Jawaban Pak Kiai?

Di antaranya NU, bersama pemerintah akan lebih fokus untuk mengurus keumatan. Siapapun penguasanya, siapapun presidennya. NU akan selalu mengambil peran membangun bangsa dan negara. Rakyat akan lebih menjadi perhatian utama. Kita bangun pendidikan, kesehatan, membantu nasib nelayan dan petani.

NU tidak berpolitik praktis. Politik yang dibangun adalah politik kebangsaan. NU bukan tempat untuk meniti karire jabatan politik, seperti ingin jadi presiden, gubernur, dan bupati. Untuk karier politik tempatnya partai. Silakan ada PKB, Partai Demokrat, Partai Golkar, dan lain-lain.

Dalam perjalannya seringkali rayuan politik menggoda?

Dengan tegas saya katakan, tidak akan pernah tergiur syahwat politik praktis. Saya tidak berambisi mengejar jabatan publik. Saya lebih cinta dan suka, melalui NU, mengurusi dan memberdayakan umat.

Baiklah, bagaimana soal tuntutan rekonsiliasi besar partai politik yan ‘dekat’ dengan NU?

Ini bukan forum membicarakan masalah tersebut. Itu kita bicarakan nanti. Rekonsiliasi tidak boleh diatur, direncanakan, apalagi dipaksakan. Rekonsiliasi harus berjalan secara alami.

Said Aqil Siraj akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015 lewat Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/3) malam.

Said unggul dengan perolehan 294 suara dari rivalnya Slamet Effendi Yusuf yang mendapat 201 suara. Sebelumnya, KH Sahal Mahfudz, terpilih menjadi Rais Aam PBNU.

Selama penghitungan suara berlangsung, pendukung kedua kubu terus menyemarakkan suasana. Pendukung Said dan Slamet terus memekikkan kalimat ‘Allahu Akbar’ saat kedua nama jagoan mereka disebut. Said Aqil Siraj dan Slamet maju ke putaran kedua setelah memperoleh masing-masing 178 suara dan 158 suara. Keduanya dianggap memenuhi syarat untuk maju dalam putaran kedua pemilihan calon ketua umum PBNU.

Dalam tata tertib muktamar seorang calon harus mengumpulkan 99 suara untuk ditetapkan sebagai calon ketua umum. Sementara itu, Sholahuddin Wahid (Gus Solah) hanya mendapatkan 83 suara, Ahmad Bagja (34), Ulil Absar Abdala (22), Ali Maschan Moesa (8), Abdul Aziz (7), Masdar Farid Mas’udi (6). Mereka gagal memperoleh angka 99 suara dari muktamirin sehingga tidak bisa mengikuti putaran kedua.

Berikut profil Ketua umum PBNU Periode 2010 - 2015

Nama : Prof Dr KH Said Agil Siradj
Nama lengkap : Said Aqil Siraj
Nama istri : Nur Hayati Abdul Qodir
Nama Anak : 1. Muhammad Said Aqil
2. Nisrin Said Aqil
3. Rihab Said Aqil
4. Aqil Said Aqil

Tempat / tanggal lahir : Cirebon, 03 Juli 1953
Hobby : Membaca, Silaturrahmi dan Ibadah
Riwayat Pendidikan :

- Pendidikan Formal

1. S1 Universitas King Abdul Aziz, jurusan Ushuluddin dan Dakwah, lulus 1982
2. S2 Universitas Umm al-Qura, jurusan Perbandingan Agama, lulus 1987
3. S3 University of Umm al-Qura, jurusan Aqidah / Filsafat Islam, lulus 1994

- Non-Formal

1. Madrasah Tarbiyatul Mubtadi’ien Kempek Cirebon
2. Hidayatul Mubtadi’en Pesantren Lirboyo Kediri (1965-1970)
3. Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta (1972-1975)

- Pengalaman Organisasi

1. Sekretaris PMII Rayon Krapyak Yogyakarta (1972-1974)
2. Ketua Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) Mekkah (1983-1987)
3. Wakil Katib ‘aam PBNU (1994-1998)
4. Katib ‘aam PBNU (1998-1999)
5. Penasehat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (Gandi) (1998)
6. Ketua Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB) (1998-sekarang)
7. Penasehat Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI (1998-sekarang)
8. Wakil Ketua Tim Gabungan Pencari fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 (1998)
9. Ketua TGPF Kasus pembantaian Dukun Santet Banyuwangi (1998)
10. Penasehat PMKRI (1999-sekarang)
11. Ketua Panitia Muktamar NU XXX di Lirboyo Kediri (1999)
12. Anggota Kehormatan MATAKIN (1999-2002)
13. Rais Syuriah PBNU (1999-2004)
14. Ketua PBNU (2004-sekarang)

- Profesional Kegiatan

1. Tim ahli bahasa indonesia dalam surat kabar harian Al-Nadwah Mekkah (1991)
2. Dosen di Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) (1995-1997)
3. Dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1995-sekarang)
4. Wakil Direktur Universitas Islam Malang (Unisma) (1997-1999)
5. MKDU penasihat fakultas di Universitas Surabaya (Ubaya) (1998-sekarang)
6. Wakil ketua dari lima tim penyusun rancangan AD / ART PKB (1998)
7. Komisi member (1998-1999)
8. Dosen luar biasa Institut Islam Tribakti Lirboyo Kediri (1999 – sekarang)
9. Majelis Permusyawaratan Rakyat anggota fraksi yang mewakili NU (1999-2004)
10. Lulusan Unisma direktur (1999-2003)
11. Penasehat Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI) (2001-sekarang)
12. Dosen pascasarjana ST Ibrahim Maqdum Tuban (2003-sekarang)
13. UNU Dosen lulusan Universitas NU Solo (2003-sekarang)
14. Lulusan Unisma dosen (2003-sekarang)
15. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) 2010-2015


- Aktivitas Profesional

1. Tim ahli bahasa Indonesia di koran harian Al-Nadwah Mekkah (1991)
2. Dosen di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) (1995-1997)
3. Dosen pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1995-sekarang)
4. Wakil direktur Universitas Islam Malang (Unisma) (1997-1999)
5. Penasehat dosen MKDU di Universitas Surabaya (Ubaya) (1998-sekarang)
6. Wakil ketua konseptor tim lima perumus AD/ART PKB (1998)
7. Anggota Komnas HAM (1998-1999)
8. Dosen luar biasa Institut Agama Islam Tribakti Lirboyo Kediri (1999- sekarang)
9. Anggota MPR RI Fraksi Utusan Golongan dari NU (1999-2004)
10. Direktur pasca sarjana Unisma (1999-2003)
11. Penasehat Masyarakap Pariwisata Indonesia (MPI) (2001-sekarang)
12. Dosen pasca sarjana ST Maqdum Ibrahim Tuban (2003-sekarang)
13. Dosen pasca sarjana Universitas Nahdlatul Ulama UNU Solo (2003-sekarang)
14. Dosen pasca sarjana Unisma (2003-sekarang)

- Forum Ilmiah

Tingkat nasional

  1. Simposium nasional tentang Transpalansi Ginjal, Jakarta, 08 September 1995
  2. Diskusi Panel ITB tentang Pola keterkaitan Pesantren, Perguruan Tinggi dan LSM dalam Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat, Bandung, 13-14 April 1996
  3. Seminar nasional tentang Rekonsiliasi Tasawuf dan Syari’at: Perspektif Sejarah, Bengkulu, 3-4 Desember 1996
  4. Lokakarya nasional Dep. Transmigrasi tentang Transmigrasi Pesantren, Sukabumi, 16-17 Desember 1996
  5. Seminar Nasional SDES, Cipayung, 1-2 April 1997
  6. Temu tahunan jaringan penelitian IAIN se-Indonesia, Palembang, 16-19 Juni 7. Seminar Hikmah Budhi-KMB dengan tema Buku Aksi Cinta, Jakarta, 11 Oktober 1997
  7. Dialog nasional antar generasi, UGM, Yogjakarta, 25 November 1997
  8. Simposium Dikbud RI tentang peringatan hari AIDS se-Dunia, Jakarta, 29 November 1997
  9. Seminar Wanhankamnas tentang Strategi Pembangunan Nasional, Yogyakarta, 17-20 Desember 1997
  10. Lokakarya dan seminar nasional tentang Reformasi Politik, Ekonomi, Hukum, Moral dan Budaya, Surabaya 25-27 Mei 1998
  11. Sarasehan Paroki Santa Anna dengan tema Umat Beriman Mengaktualisasikan Keadilan, Kebenaran, Kasih dan Kebebasan, 7 Juni 1998
  12. Seminar nasional dengan tema Umat Islam dalam Dinamika Politik Bangsa di Era Reformasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jogjakarta, 4 Juli 1998
  13. Seminar Bamus antar Gereja dengan tema Wawasan Kebangsaan II dan III, Malang, 6-7 Agustus 1997, dan 4-6 Agustus 1998
  14. Seminar sehari IAIN Jakarta dengan tema Keberadaan Agama Khonghucu di Indonesia, Jakarta, 20 Agustus 1998
  15. Pelatihan pemuda Therevada di Vihara Dharma Mitra, Malang, 15-17 Agustus 1998
  16. Konferensi kerja kerabat pelayanan oleh GKD, GKRI, YMPI, JRC Apostolos, KOS, YMBI, CLR, Bogor, 25-28 Januari 1999
  17. Dialog nasional Forum Mahasiswa Syari’ah Se-Indonesia dengan tema Formasi Hukum dan Pluralisme Politik, Jakarta, 17 Februari 1999
  18. Seminar setengah hari UKI, Atmajaya dengan tema Pemilu dan Masalah Integritas Bangsa, Jakarta, 4 Maret 1999
  19. Seminar nasional Lemhanas dengan tema Pendidikan Tinggi dalam rangka Mewujudkan Masyarakat Madani, Jakarta April 1999
  20. Pelatihan bagi pelatih HAM untuk kalangan rohaniawan yang diselenggarakan oleh Komnas HAM, Bogor, 26-30 Juli 1999
  21. Temu Nasional Kebangsaan II, Semarang, 5 Agustus 1999
  22. Seminar sehari Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya dengan tema Wali Songo, Islam di Indonesia dan Prospek Wisata Ziarah, Jakarta, 8 September 1999
  23. Dialog kerukunan antar umat beragama dengan tema Menjalin Persaudaraan Sejati yang Terbuka, Jakarta, 27 Februari 2000
  24. Sarasehan Lintas Iman dan Wawasan Kebangsaan, Denpasar, 25 Desember 2000
  25. Seminar nasional LIPI dengan tema Mengkaji Kebijakan Kebudayaan Masa Orde Baru untuk Menyongsong Indonesia Baru, Jakarta, 23 Januari 2001
  26. Seminar nasional Depdiknas dengan tema Reformasi Pendidikan Nasional , Jogjakarta 16-17 Maret 2001
  27. Dialog interaktif Mabes Kepolisian Negara RI dengan tema Antisipasi Kepolisian Menghadapi Kemungkinan Tindak Anarkis Masyarakat, Jakarta, 25 April 2001
  28. Seminar Sekolah Lanjutan Perwira Polri dengan tema Transformasi Kultural dalam Tubuh Polri Menuju Profesionalisme, Jakarta, 14 Juni 2001
  29. Musabaqoh Al-Qur’an tingkat V Telkom dengan tema Implementasi Akhlaq Qur’ani, 23 April 2002
    31. Halaqoh nasional Depag dalam rangka Musyawarah Kerja Ulama-Ulama Ahli Al-Qur’an, Jakarta, 28-30 April 2003
  30. Seminar dengan tema Kerukunan Umat Beragama di Propinsi DKI Jakarta, Jakarta 3-4 September 2003
  31. Simposium nasional Patria (Pemuda Theravada Indonesia) dengan tema Nasionalisme dan Profesionalisme Pers Indonesia, Jakarta, 25-27 Februari 2004
  32. Muzakaroh dan Muhasabah Perwira Rohani Islam TNI, Jakarta, 24-27 Mei 2004

Pembicara Tingkat Internasional

  1. Al-Taqrib baina al-madzahib, Al-islam Din al-Tasamuh, Teheran, Iran 1999
  2. Al-Taqrib baina al-madzahib, Huquq al-insan fi al-Islam, Teheran, Iran 2000
  3. Konferensi Internasional dengan tema Asian Gathering of Muslim Ulama and Christian Bishops, Manila, 18-21 Agustus 2003
  4. Internasional Conference of Islamic Scholar dengan tema Daur al-Ma’ahid al-Islamiyah fi bina’I Hadhoroh al-Syu’bi Indonesiya, Jakarta, 23-25 5. Internasional Conference of Islamic Scholar II dengan tema Al Mujatama’ al-Islami wa masuliyyatiha alhadhoriyyah, Jakarta, 19- 22 Juni 2006

F. Karya Ilmiah

  1. Rasail al-Rusul fi al-‘Ahdi al-jadid wa Atsaruha fi al-Masihiyah (Pengaruh Surat-Surat para rasul dalam Bibel terhadap Perkembangan Agama Kristen), thesis dengan nilai memuaskan, (1987)
  2. Allah wa Shillatuhu bi al-Kaun fi al-Tasawwuf al-Falsafi (Hubungan Antara Allah dan Alam Perspektif Tasawwuf Falsafi), desertasi dengan nilai Cum Laude (1994)
  3. Ahlussunah wal jama’ah; Lintas Sejarah (1997)
  4. Islam Kebangsaan; Fiqih Demokratik Kaum Santri1 (1999)
  5. Kyai Menggugat (1999)
  6. Ma’rifatullah; Pandangan Agama-Agama, Tradisi dan Filsafat (2003)
  7. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspiras (2006)
  8. Aktif menulis dalam berbagai media cetak 1995-sekarang
http://www.nubatik.net/content/view/1349/

Saturday, April 23, 2011

Pesantren Menjawab Tantangan Zaman

21/02/2011

Judul Buku: Dari Pesantren untuk Umat, Reinventing Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi
Penulis: Prof Dr H Babun Suharto SE MM
Penerbit: Imtiyaz, Surabaya
Cetakan: I, Januari 2011
Tebal: xviii + 161 halaman
Peresensi: M Husnaini


Dunia pesantren begitu menarik untuk diteliti. Sudah banyak pemikir, dari dalam maupun luar negeri, yang memusatkan kajian mereka pada lembaga pendidikan indegenous Indonesia ini. Sekadar menyebut beberapa di antara mereka adalah Martin Van Bruinessen (Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat); Karel A Steenbrink (Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dan Kurun Modern); Manfred Ziemek (Pesantren dalam Perubahan Sosial); Zamakhsyari Dhofier (Tradisi Pesantren); Nurcholish Madjid (Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan); Mastuhu (Dinamika dan Sistem Pendidikan Pesantren); dan lainnya. Dan, satu tarikan nafas dengan itu, buku Prof Dr H Babun Suharto SE MM ini mencoba untuk mengeksplorasi dinamika masyarakat global dengan berbagai tantangan nyata yang sedang dan akan dihadapi oleh dunia pesantren.

Tidak disangkal, dunia sekarang ini—meminjam istilah Alvin Toffler—memasuki apa yang disebut sebagai era informatika. Era ini dilambangkan oleh silikon dan microchip sebagai komponen teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), seperti komputer, internet, kamera, ponsel, dan lainnya. Dengan demikian, power paling canggih sekarang ini bukan lagi yang ditopang oleh kekuatan fisik atau mesin, melainkan ilmu pengetahuan dan sistem (M Husnaini: 2010).

Fakta inilah yang harus dijawab dengan segera dan cerdas oleh dunia pendidikan di Indonesia, terutama pesantren. Sebagai satu-satunya lembaga pendidikan tertua di bumi nusantara, pesantren harus mampu menangkap dan memaknai pesan ini secara tepat dan bijak. Jika tidak, pelan-pelan masyarakat akan mengucap good bye pada pesantren, karena sistem pendidikannya dianggap tidak mampu melahirkan sumber daya umat (SDU) yang senafas dengan tuntutan zaman. SDU yang dimaksud oleh penulis buku ini adalah segenap energi, potensi, bakat, kemampuan, dan keterampilan umat Muslim yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan dirinya dan kepentingan bangsa, negara, dan agama dalam bingkai tanggungjawab sebagai hamba dan khalifah Allah (hal 60).

Memang, akibat pengaruh globalisasi, tugas yang dipikul pesantren tidak lagi ringan. Pesantren kini tidak boleh hanya sekadar menelorkan santri-santri yang mampu menggali khazanah keislaman dari literatur-literatur yang berbahasa Arab (Kitab Kuning), tetapi juga harus sanggup menggali aneka ilmu pengetahuan dari literatur-literatur yang berbahasa Inggris (Kitab Putih). Ini penting dilakukan, agar kelak lahir generasi bangsa yang unggul di bidang agama dan master di bidang sain dan teknologi. Dan, pesantren tidak mengalami—seperti kata Abd Rachman Assegaf—intellectual deadlock (kebuntuan intelektual).

Dalam rangka ini, penulis lalu mengusulkan sebuah konsep yang sangat kontekstual: agar pesantren menerapkan link and match dalam kurikulumnya. Artinya, harus terdapat kesesuaian antara pendidikan pesantren dan kebutuhan dunia kerja. Tegasnya, antara fiqh-based education dan scientific-based education harus terjalin secara seimbang. Inilah, kata penulis, perwujudan dari kredo yang sangat bagus itu, al-muhafadlatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

Meski sangat bersemangat dengan gagasan link and match, penulis mengakui bahwa link and match adalah sebuah istilah yang bukan berasal dari dirinya, tetapi Prof Wardiman Djojonegoro (Mendikbud 1993-1998). Seperti umumnya konsep hasil “ijtihad” manusia, penulis tidak lupa menyertakan beberapa kritik dari banyak pemikir pendidikan. Oleh Darmaningtyas, dalam buku Pendidikan Rusak-Rusakan, misalnya, dikatakan bahwa konsep link and match hanya akan menjadikan lembaga pendidikan sebagai pasar atau swalayan. Ia hanya dipakai sebagai instrumen penyuplai buruh dan kuli industri, bukan instrumen untuk mencerdaskan dan mendewasakan anak bangsa (hal 113).

Dan, sebagai jawaban atas kritik itu, penulis kemudian meluruskan bahwa dugaan link and match akan menjadikan lembaga pendidikan hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan dunia industri adalah tidak tepat. Untuk itu, penulis berargumen bahwa yang dimaksud kebutuhan pasar di sini adalah bagaimana agar pendidikan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspeknya, seperti pertanian, perikanan, perbankan, arsitektur, seni, dan lain seterusnya. Jadi, bukan dalam bidang industri saja (hal 114).

Dari sudut pandang Islam, gagasan yang diajukan penulis ini juga memperoleh pembenaran. Dalam al-Quran, Allah sudah mewanti-wanti umat Muslim agar dapat meraih kebahagiaan akhirat tanpa harus mengabaikan kenikmatan dunia (Lihat Qs al-Qashash, 77). Juga, kita bisa simak pesan lain yang senada dengan itu dalam ayat, “Wahai orang-orang beriman. Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila shalat telah dilaksanakan, menyebarlah kamu di bumi. Carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (Qs al-Jumuah, 9-10). Ayat-ayat ini jelas menyiratkan makna agar kita selalu menjaga keseimbangan, dan ini juga dapat tarik ke dalam ranah pendidikan, terutama pesantren.

Kita harus ingat ungkapan Anthony Giddens. Ia menyatakan bahwa dunia sekarang sedang berlari kencang mengejar perubahan yang begitu cepat. Sebab itu, sebagai sebuah solusi alternatif untuk meneguhkan eksistensi pesantren di tengah cepatnya perubahan akibat arus globalisasi itu, kehadiran buku ini patut disambut secara positif. Terlebih, buku ini ditulis oleh seorang yang tidak saja peduli, tetapi juga pakar dan tahu secara persis lika-liku kehidupan kaum bersarung. Selamat membaca!

* Penulis dan Editor Buku, Sarjana Pendidikan Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=27504

Thursday, April 21, 2011

Wajah Multikulturalisme Pesantren

04/04/2011

Judul Buku: Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren
Penulis: Dr. Abdullah Aly, M. Ag
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2011
Tebal: xvi + 368halaman
Peresensi: Supriyadi *)


Dalam praktik pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar yang bernaung pada lembaga pendidikan, kerap kali terjadi diskriminasi yang diakibatkan oleh berbagai perbedaan. Di antara perbedaan tersebut adalah perbedaan kultur, agama, etnis, ras, dan lain sebagainya bahkan hingga perbedaan umur dan gender. Tidak jarang pula berbagai perbedaan tersebut berpengaruh pada proses pendidikan. Akhirnya, dalam hal itu terjadilah kesenjangan.

Sebagai sebuah solusi, pendidikan multikultural menawarkan pendidikan yang tidak melihat berbagai perbedaan tersebut, melainkan penghargaan segala perbedaan. Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajarmenjadi efektif danmudah.Ruh atau esensi dari pendidikan multikultural itu sendiri adalah demokrasi, humanisme, dan pluralisme. Dengan demikian, fungsi dan tujuan dari pada pendidikan multikultural itu adalah melatih dan membangun karakter para peserta didik agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural dilatarbelakangi oleh realitas kehidupan yang diskriminatif di Amerika Serikat. Oleh karena itu, muncullah gerakan hak-hak sipil yang memperjuangkan anti diskriminasi. Gerakan tersebut dikarenakan adanya praktik-praktik kehidupan yang diskriminatif, baik di tempat-tempat publik, di rumah-rumah, di tempat-tempat kerja, hingga di berbagai lembaga pendidikan.

Praktik kehidupan yang diskriminatif ini terjadi karena selama tahun 1950-an, Amerika hanya mengenal kebudayaan yang dominan dan mayoritas, yaitu kebudayaan kulit putih. Sementara golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka. Padahal secara faktual, Amerika ketika itu dihuni oleh penduduk yang beragam asal-usulnya (hlm. 88).

Menguatnya gerakan-gerakan anti diskriminasi tersebut menjadi tonggak sejarah konsep multikulturalisme dalam pendidikan. Namun demikian, jauh sebelum zaman tersebut, telah terjadi pendidikan multikultural di dunia Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal itu tercermin dari berbagai lembaga pendidikan yang peserta didiknya berasal dari berbagai etnis, agama, umur, ras, dan lain sebagainya. Bahkan orang-orang Eropa pun menekuni ilmu pengetahuan di Timur (Islam) ketika Dinasti Abbasiyah berada pada puncak kejayaannya dalam bidang sains (ilmu pengetahuan).

Dalam konteks Indonesia era kini, pendidikan multikultural juga perlu diaplikasikan. Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang bernuansakan agama (Islam). Dalam implementasi pendidikan di pesantren, suasana multikultural sangat lekat. Di dalam sebuah pesantren, terdapat berbagai para peserta didik yang beragam. Dalam pesantren, terdapat para peserta didik yang berbeda-beda, baik dari segi etnis, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur.

Berbagai perbedaan tersebut sangat mampu dihargai oleh pesantren. Meski demikian, dalam pesantren tersebut hanya ada satu keragaman dalam beragama, yakni Islam. Multikulturalisme di pesantren hanya tidak menjangkau dalam ranah agama karena terkait dengan tujuan pesantren itu sendiri yang mengajarkan agama Islam. Meski demikian, justru agama bisa dijadikan media sebagai pembelajaran pendidikan multikultural secara teoretis dan pembekalan terhadap para peserta didik terhadap sikap yang demokratis, humanis, dan pluralis.

Walaupun mono-agama, pesantren sangat terbuka dengan berbagai perbedaan. Di dalam pesantren, terdapat berbagai peserta didik dari berbagai daerah yang membawa adat-istiadat mereka masing-masing ke pesantren. Berbagai umur peserta didik pun tidak dipermasalahkan dalam pesantren. Apalagi pesantren tradisional yang benar-benar menekankan kebersamaan dalam berbagai perbedaan. Sementara ajaran agama (Islam) juga mengajarkan untuk menghargai perbedaan dan anti diskriminasi. Dengan demikian, agama menjadi media dan alat untuk mengajarkan pendidikan multikultural.

Dr Abdullah Aly, MAg telah melakukan penelitian terhadap aplikasi pendidikan multikultural dalam sebuah pesantren, yakni di Pesantren Modern Islam Assalam, Surakarta. Dalam kesimpulannya, dinyatakan bahwa dalam dokumen kurikulum pesantren tersebut memuat nilai-nilai multikultural dan nilai yang kontradiktif terhadap nilai-nilai multikultural sekaligus (hlm. 338).

Penelitian yang dilakukan oleh Dr Abdullah Aly, MAg tersebut termaktub dalam buku yang berjudul “Pendidikan Islam Multikultural Pesantren”. Dengan membaca buku tersebut, para pembaca diajak untuk menjelajahi dunia pendidikan di pesantren yang berbasis agama Islam. Meskipun penelitian pada sebuah pesantren, hal itu tidak bisa dijadikan tolok ukur secara mutlak dalam referensi kepesantrenan dan multikulturalisme pesantren secara universal karena masing-masing pesantren yang ada juga memiliki berbagai karakteristik. Paling tidak, wajah multikulturalisme pesantren sedikit tersibak.

Akhirnya, pendidikan multikultural sangat perlu diaplikasikan dalam pendidikan di Indonesia. Telah kita ketahui bahwa di Indonesia ini terdapat berbagai etnis, agama, ras, dan berbagai perbedaan lainnya yang ada dari Sabang sampai Merauke. Untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, implementasi pendidikan multikultural sangat solutif.

*) Peresensi adalah pengamat sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=28097

Wednesday, April 20, 2011

Memantik Kesadaran Konsumen Lewat Fikih

18/04/2011

Judul: Fikih Perlindungan Konsumen, Risalah Jihad Konsumen
Penulis: Soffa Ihsan
Jumlah hal : 220 halaman
Penerbit: Pustaka Cendikiamuda, Jakarta
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Maret 2011
Kata Pengantar: Dr KH Said Aqiel Siradj MA
Peresensi: Alfani*

Masih hangat diingatan kita soal kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional. Kasus ini sepertinya menjadi salah satu potret konsumen yang akhirnya membuka wawasan kita akan hak sebagai konsumen. Kasus Prita mungkin adalah satu dari sederetan kasus yang terpublikasikan, sehingga akhirnya mencuat ke media massa dan akhirnya menjadi kasus besar.

Publik pun masih hangat-hangatnya menekuri bagaimana tarik ulur kasus susu formula yang menurut hasil penelitian IPB terdeteksi bakteri enterobacter sakazaki yang belum jua diumumkan di publik. Resikonya, jelas ke konsumen yang harus ekstra hati-hati dalam mengkonsumsi susu buat bayinya. Padahal, konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar dari sebuah produk (right to information) dan hak terlindungi dari sebuah produk (right to safety).

Ya, seiring meningkatnya era globalisasi ekonomi saat ini, konsumen sebagai pengguna barang atau jasa sering menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tidak jarang pelaku usaha melakukan promosi, penjualan atau penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Rendahnya tingkat kesadaran dan pendidikan hukum menambah lemahnya posisi konsumen. Pemerintah sendiri sudah mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK).

Selama ini, sudah cukup banyak buku-buku yang mengulas tentang perlindungan konsumen yang digayutkan dengan UUPK. Sebaliknya, kajian keagamaan yang mencoba mengelaborasi perlindungan konsumen dalam perspektif keagamaan tampak masih sangat langka. Nah, penulis yang berlatarbelakang pendidikan pesantren dan pasca sarjana hukum ini berupaya menggali khazanah keilmuan keislaman lewat hukum Islam (fikih) untuk dijadikan sebagai “landasan teori” dalam merumuskan perlindungan konsumen.

Ajaran Islam sebagai bagian dari “khazanah keagamaan dan spiritual” dalam kemajemukan bangsa Indonesia, punya daya paradigmatis untuk mengelaborasi konsep-konsep berikut tata hukum berkait dengan perlindungan konsumen. Sebagai negara yang tengah memacu pembangunannya, Indonesia memerlukan pengayaan dan penguatan dalam soal perlindungan konsumen dari perspektif keagamaan.

Di buku ini, penulis mengubek-ubek konsep perlindungan konsumen yang terpapar dalam kajian para ulama fikih baik klasik maupun kontemporer. Kitab-kitab fikih sedari lama sudah membahas perihal konsumen (musytary) dalam lalu lintas perniagaan (buyu’). Konsep-konsep fikih seperti seluk beluk akad, asas kebebasan berkontrak, hal-hal yang merusak (fasakh), keadaan suka sama suka (‘an taradhin minkum), kebolehan pembatalan akad, jual beli gharar, ghubn dan hak khiyar (hak pilih konsumen) adalah seperangkat konsep yang dibidik guna merumuskan fikih perlindungan konsumen.

Hasilnya, penulis fasih membuktikan bahwa konsep-konsep perlindungan konsumen dalam fikih memiliki tingkat otentisitas yang teruji secara akademis-ilmiah. Misalnya saja, soal hak pilih konsumen bila terjadi adanya cacat barang (default) yang terdapat dalam pasal 5 UUPK. Hak pilih konsumen ini kemudian melahirkan product liability yang merupakan pendasaran legalitas terhadap hak pilih konsumen. Dalam fikih, ini disebut dengan hak khiyar yang masuk kategori khiyar al-‘aib, yaitu hak pilih konsumen untuk meneruskan atau membatalkan dalam transaksi bila terjadi cacat barang (hal. 197). Hak khiyar ini dirumuskan oleh ulama fikih juga sebagai rambu-rambu untuk melindungi konsumen dari jenis-jenis produk yang menyesatkan atau membahayakan konsumen. Dalam fikih, ditegaskan bahwa sebuah produk harus terjamin secara kualitas maupun aspek moralitasnya. Fikih merumuskannya dengan istilah ghubn (penipuan) dan gharar (kesesatan informasi), dua hal yang menyangkut aspek moralitas yang harus dijaga oleh pelaku usaha dalam menawarkan produknya.

Ya, dunia usaha yang sehat menjadi dambaan publik. Lewat fikih konsumen, harapan itu kian menguat. Simak komentar KH Said Aqiel Siradj dalam kata pengantar buku ini,”Islam sebagai agama tamaddun dan tsaqafah, agama peradaban dan pengetahuan tentu sangat mendorong terjadinya peradaban bisnis yang akan membawa kemashlahatan bagi masyarakat.”

* Staf Yayasan MataAir, Jakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=28331

Tuesday, April 19, 2011

Lestarikan Watak Moderat Muslim Indonesia

18-February-2007

Maraknya kekerasan atas nama agama telah merusak toleransi dalam tubuh umat beragama. Berbangsa dan bernegara pun berada dalam ancaman disintegrasi. Namun demikian, toleransi tetap menjadi keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama di negeri ini dalam menata kehidupan bersama. Menurut Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, keberadaan dan implementasi nasionalisme bangsa Indonesia sangat ditentukan pengertian beragama, toleransi secara lintas agama dan etnis, koreksi atas era reformasi yang terlalu liberal, menumbuhkan etos kerja, dan mengangkat agama ke dalam kehidupan berbangsa dalam batas nilai-nilai…

Berikut penurutan KH Hasyim Muzadi tentang sikap toleran dan moderat yang perlu terus dikembangkan dalam kehidupan beragama kepada CMM beberapa waktu silam:

Apakah semangat Islam moderat dan sikap toleransi masih sangat dibutuhkan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara?
Islam moderat ini artinya keseimbangan antara keyakinan agama dan toleransi agama. Kita sebagai orang Islam harus teguh memegang prinsip ajaran Islam. Aqidahnya harus mantap. Setingkat dengan teguh itu maka setingkat itulah toleransi kita kepada orang lain. Islam mengenal konsep lakum diinukum waliyadin (bagimu agamamu dan bagiku agamaku), sementara kita ini waliyadin saja, lakum dinukum-nya tidak dipikirkan. Karena semua orang punya hak untuk berbeda dengan kita.

Jadi apa yang menyebabkan terjadinya konflik, teror, dan tindak kekerasan lain yang mencederai toleransi?
Konflik disebabkan karena ada sekelompok yang merasa mengklaim Islam sebagai kebenarannya sendiri, kalau tidak, dia itu kafir. Penyakitnya terletak di sini. Karena dia merasa paling Islam dan selain dia itu bukan Islam maka boleh diperangi. Nah, di sini timbul perang sesama Muslim. Kemudian, karena sesama Muslim saja begitu kerasnya maka bisa dibayangkan kalau kepada non-muslim. Artinya, dia punya keyakinan tapi dia tidak punya toleransi.

Sedangkan dalam Alquran sudah jelas, innaka laa tahdi man ahbabta wa lakinnallaha yahdi man yasya (sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberi petunjuk kepada seseorang, tetapi Allah akan memberi petunjuk kepada orang yang disukai-Nya). Sudah jelas lakum dinukum waliyadin. Itu kan pengakuan, agree and disagree. Oke silahkan Anda begitu, saya nggak. Jadi prinsipnya di situ.

Kita sebagai orang Islam menurut Alquran tidak boleh ofensif secara fisik kepada agama yang lain. Ayatnya jelas dalam Surat Al-An’am ayat 108. Wala tasubbul ladzina yad’una min dunillahi fayasubbullaha adwam bighairi ilmin (Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampuai batas tanpa pengetahuan.

Kemungkinan penerapannya di Indonesia sendiri bagaimana?
Sangat mungkin. Karena Indonesia memang watak aslinya moderat. Kalau pun ada bom itu pasti pengaruhnya dari luar, atau kelompok kecil yang pengaruhnya dari luar bukan dari Indonesia sendiri. Orang Indonesia itu nggak biasa membuat bom. Contoh di Pakistan. Saya datang, dua jam kemudian ada bom.Yang sangat mengerikan adalah bom itu meledak ketika kaum Syiah mengadakan haul di makam Imam Abdul Latif yang juga dihormati oleh orang Suni dalam waktu yang berbeda mereka berbuat haul. Karena imam ini mereka anggap sebagai pendiri umat Islam di Pakistan. Bagaimana dua kelompok ini bisa saling bom. Kemudian waktu saya mau pulang, ada balasan orang Suni dibom masjidnya.

Ini baru soal agama, belum pengaruh politik, ekonomi, ketidakadilan, gerakan intelijen global, numpuk semua di sini, sehingga perlu ada pemilahan sebelum ada penyelesaian. Pemilahan masalahnya saja rumit apakah faktor agama, faktor ekstremis yang tumbuh dari agama, atau faktor ekstremitas yang dibentuk oleh orang lain.

Jadi ke depan apa yang semestinya dilakukan umat Islam dalam menyingkapi segala perbedaan?
Umat Islam harus tetap bersikap toleran, mengedepankan dialog, sehingga Islam bisa mengayomi semua pihak. Karena itu,umat Islam jangan sering memojokkan, menghukum, dan menghakimi pihak lain yang dianggap berbeda keyakinan. Umat Islam berkewajiban untuk membela hak mereka yang dijamin oleh negara. Dengan pandangan yang inklusif itu, kita akan selalu menjadi tumpuan berbagai pihak yang tertindas, sehingga mau tidak mau kita akan menjadi pengayom bangsa. (CMM)

http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3905_0_3_0_M

NU & Islam Moderat

Moderat Pilihan Terbaik
Jakarta
| 20:00 Wed, 23 Mar 2011

Jurnas.com |
MANTAN Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi meminta kepada umat islam tanah air agar menampilkan wajah islam yang moderat. Menurut Hasyim, wajah moderat tersebut merupakan pilihan terbaik dari paham islam ekstrimis maupun liberal yang tengah berkembang di Indonesia saat ini.


"Umat islam Indonesia harus moderat yang berdasarkan Pancasila, jangan ekstrim atau jangan pula liberal," ujar Hasyim usai menghadiri dialog menyoal solusi Ahmadiyah di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (23/3).

Hasyim menjelaskan, paham islam ekstrim atau liberal bersumber dari luar Indonesia atau transnasional.

Ia menilai kedua paham tersebut memiliki sisi negatif apabila dikembangkan di Indonesia.

"Visi islam esktrim jelas sangat ekstrim berpotensi memicu konflik sedangkan liberal bervisi longgar dan cenderung soft namun panas juga tapi kalau moderat itu islam bersifat universal," katanya.

Penulis: Aria Triyudha
http://www.jurnas.com/news/23699/Moderat_Pilihan_Terbaik/2/Sosial_Budaya/Religi

Selasa, 30 Nopember 2010 11:19:00 WIB
KH. Hasyim Muzadi: Islam Moderat sebagai Solusi Terhadap Radikalisme
akhmad kusairi

Jakarta KABARHAJI--Maraknya aksi terorisme di Indonesia memunculkan sikap radikal dan memicu radikalisasi di kalangan masyarakat.

Hal ini merupakan preseden buruk bagi masa depan Indonesia sebagai bangsa yang terkenal bangsa damai, tentram dan ramah terhadap perbedaan.

Untuk menanggulangi radikalisme, menurut Kiai Hasyim Muzadi perlu penanggulangan lebih serius dari kaum agama, dalam hal ini Islam moderat. Untuk menyebarkan paham-paham moderatisme, diperlukan peran aktif lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren dan semacamnya.

Dalam presentasinya Kiai Hasyim percaya kepada gerakan civil sosiety dalam menangulangi radikalisme dan terorisme. "Pemerintah hanya memberikan pendampingan dalam pengembangan civil sosiety dalam upaya penanggulangan radikalisme". Ujar kiai Hasyim kepada peserta workshop yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai kalangan.(KH)

http://kabarhaji.com/kabar/712/kh-hasyim-muzadi-islam-moderat-sebagai-solusi-terhadap-radikalisme

ICIS II
Hasyim Muzadi: Islam Moderat
Seimbangkan Agama dan Toleransi

Kamis, 22 Juni 2006
JAKARTA (Suara Karya): Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyerukan perlunya memberdayakan umat Islam yang moderat dengan memperkuat suara moderat dalam dunia Islam yang semakin penuh tantangan dewasa ini.

"Kita yakin umat Islam memiliki kapasitas untuk menangani berbagai tantangan berat yang menghadang dan berkompeten untuk kembali membumikan Islam yang Rahmatan lil Alaamin," kata Hasyim Muzadi kepada wartawan di sela acara Konferensi Internasional Cendekiawan Islam (ICIS) ke-2 di Jakarta, Rabu, yang diselenggarakan oleh PBNU dan Departemen Luar Negeri.

ICIS, ujarnya, memiliki potensi besar untuk menjadikan pemikiran moderat mengemuka. Umat Islam yang moderat, ujarnya, bukanlah umat Islam yang tidak memiliki pendapat dan berpandangan teguh pada apa yang benar dalam Islam, yang menyeimbangkan antara agama dan toleransi, serta yang berjuang untuk perdamaian, kesejahteraan sosial dan keadilan.

Islam yang moderat, katanya, juga yang memelihara solidaritas antara sesama muslim dan mendukung pihak-pihak yang lemah atas nama kemanusiaan dan perdamaian.

Hasyim juga menyebutkan, perlunya umat Islam berupaya menyatukan sumber-sumber daya yang ada, terutama sumber keuangan dan membangun hubungan satu dengan lainnya lebih erat, serta meningkatkan solidaritas dan menjembatani umat Islam dan dunia.

ICIS juga diharapkan dapat menguatkan persatuan di antara umat Islam, ulama dan cendekiawan dari berbagai mazhab yang berbeda, budaya untuk berbagi dan memecahkan masalah penting bagi umat.

Hasyim Muzadi mengemukakan, peraturan dan kaidah yang tercantum dalam sejumlah perda syariah yang marak muncul di sejumlah daerah sesungguhnya merupakan penegasan dari isi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah berlaku di Indonesia. "Sesungguhnya apa yang dilakukan sekarang, seperti anti-perjudian, pelacuran ataupun minuman keras itu kan sudah ada di KUHP. Perda syariah hanya penegasan kembali saja," katanya.

Namun, kata dia, penggunaan embel-embel syariah pada perda tersebut justru mengakibatkan pihak-pihak tertentu menjadi ketakutan dan phobia terhadap Islam. "Akibatnya pihak-pihak yang tidak mengerti ini kemudian mencoba menentang itu dengan justru mendukung pelacuran, perjudian dan minuman keras," katanya.

Menurut dia, ekspose yang berlebihan pada kasus itu membuat masyarakat umum merasakan ketakutan yang berlebihan. Dia juga menyebutkan bahwa opini publik yang berkembang selama ini menganggap tindak kekerasan hanya berupa perusakan fisik sedangkan liberalisme atau penyerangan pada kaidah agama sama sekali tidak dianggap sebagai radikalisme. (Ant)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=147265


Saturday, April 16, 2011

The Concept of Religious Tolerance in Nahdhatul Ulama (NU)

The Concept of Religious Tolerance in Nahdhatul Ulama (NU) : Study on the Responses of NU to the Government's Policies on Islamic Affairs in Indonesia based on the Perspective of Tolerance (1984-1999)

Das Konzept der religiösen Toleranz in der Nahdhatul Ulama (NU) : Studie über die Anworten der NU auf die islamischen politischen Maßnamen der Regierung in Indonesien nach der Perpektive von der Toleranz (1984-1999)

Marjani, Gustiana Isya

pdf-Format:
Dokument 1.pdf (1.022 KB) Dokument 2.pdf (9 KB)

SWD-Schlagwörter:
Religious Tolerance
Freie Schlagwörter (Deutsch):
Religiöse Toleranz
Freie Schlagwörter (Englisch):
Nahdhatul Ulama , Religious Tolerance
Basisklassifikation:
11.80 , 11.07
Institut:
Asien-Afrika-Institut
DDC-Sachgruppe:
Andere Religionen
Dokumentart:
Dissertation
Hauptberichter:
Conrad, Lawrence I. (Prof. Dr.)
Sprache:
Englisch
Tag der mündlichen Prüfung:
16.11.2005
Erstellungsjahr:
2005
Publikationsdatum:
27.02.2007

Kurzfassung auf Englisch:
Abstract

This dissertation is entitled “The Concept of Religious Tolerance in Nahdhatul Ulama (NU): Study on the Responses of NU to the Government’s Policies on Islamic Affairs in Indonesia on the Perspective of Tolerance (1984-1999)”.
The choosing of time period from 1984 to 1999 is based on the fact that NU’s socio-cultural condition in this period indicates that the degree of tolerance at the elite level were more striking than in previous years.
Meanwhile, NU was established on January 31, 1926 in socio-political and socio-cultural conditions, which demanded internal religious tolerance in the Islamic community. The awareness of this demand for tolerance made NU as a religious and social organization able to adapt itself to various existing social and political demands. Therefore, based on its high tolerance, in responding to various policies of the government, NU sometimes acted and thought moderately, so that the organization was seen being too accommodative and opportunistic.
The research is intended to reveal scientific facts concerning NU’s tolerance to the government’s policies on Islamic affairs, especially when it was under the leadership of K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur: 1984-1999) by not ignoring its previous periods to gain complete comprehension on the examined subject matter. In addition, correlations are expected to be found between ideas at the elite level and their comprehensions at the grassroots level by finding the underlying thoughts accompanying the correlations.
Based on this consideration, I carried out the research by using some approaches such as gathering relevant written data contained in books, important documents, and articles in printed media. In addition, observations and interviews were carried out by taking samples in two locations of research (Jombang-East Java and Tasikmalaya-West Java). To describe the findings of the research, I used the comparative method and, mainly, analytical-descriptive method.
In general, the results of this research indicate that: First, the need for tolerance in a pluralistic society is confirmed by the fact that NU is not the only religious social organization in Indonesia facing socio-political realities, which were not in accordance with its religious traditions. Second, the trend towards accommodative and moderate attitudes, which originated the high tolerance on the part of NU when it faced the government’s policies on Islamic affairs, cannot be separated from the historical reality, which served as background for religious concept and characters of NU’s ulamas. Third, by considering NU’s community, it could be concluded that one’s high level of religious comprehension probably lead to a high level of tolerance, so that one’s low level of formal education does not necessarily indicate a low level of tolerance if he/she has a high level of religious comprehension.

Sunday, April 10, 2011

Dari Mbah Sahal sampai Gus Yusuf


Oleh Kholilul Rohman Ahmad

Ulama kharismatik dengan segundang ilmu keagamaan merupakan modal sosial tak terbatas bagi penulisan buku karena dapat dimanfaatkan sebagai pijakan pengambilan hukum oleh pengikutnya. Fiqih, ilmu cabang dalam Islam yang berkaitan erat dengan tatacara ibadah, selalu mendapatkan tempat teratas dalam kehidupan masyarakat agama Islam.

Sebab fiqih merupakan kebutuhan sehari-hari umat Muslim untuk panduan beribadah shalat, zakat, puasa, dan haji. Belum lagi kaitan dengan tatacara wudlu, hadats, najis, mengelola jenazah, menyucikan pakaian, dan menyucikan hadats dalam tubuh. Hukum halal-haram terhadap persoalan tertentu seperti jual-beli. Intinya, dalam Islam fiqih merupakan ilmu teknis yang banyak dimanfaatkan penganut Muslim.

Buku tanya-jawab persoalan keagamaan selalu berkembang dan mengalami perbaikan (revisi) terhadap buku-buku sebelumnya yang pernah ada. Perkembangan buku tanya-jawab dapat ditelisik dengan tiga pendekatan:

Pertama, buku tanya jawab fiqih akan selalu mengalami perkembangan persoalan yang harus dipecahkan setiap zaman, kecuali pada bahasan-bahasan yang sudah baku. Ketika KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) masih hidup, tidak ada persoalan nuklir yang masuk dalam pembahasan fiqih. Berdasarkan hasil-hasil muktamar NU tahun 1948-1970-an, pembahasan yang masuk dalam forum bahtsul masail muktamar NU sebagian besar berkaitan dengan ibadah mahdhah (pribadi), seperti shalat, wudlu, najis, shalat musafir, menjamak shalat, mengurus jenazah, dll.

Namun kenyataan sosial modern mengharuskan fiqih bersikap terhadap nuklir, seperti kontroversi PLTN di Jepara yang memaksa fiqih bersikap halal, haram, mubah, atau makruh. Alhasil, perkembangan zaman selalu memberi kesempatan kepada penerbit untuk memperkaya buku fiqih tanya-jawab yang bisa dipakai alasan untuk mencetak ulang buku terdahulu dengan versi ‘edisi revisi’.

Kedua, tokoh/kiai pencetus buku tanya-jawab yang dipakai rujukan juga ikut berpengaruh terhadap laku-tidaknya buku tersebut. Meskipun, misalnya, tokoh yang pernah menulis buku fiqih tanya jawab seperti Mbah Sahal (KH Ahmad Muhammad Sahal Mahfudh, Rais ‘Am PBNU), Gus Mus (KH A Mustofa Bisri), atau Gus Yusuf (KH M Yusuf Chudlori) yang cover-nya terpampang disini, substansi persoalan yang dibahas di dalamnya tidak mempunyai perbedaan mendasar kecuali redaksi yang berbeda.

Namun buku-buku ini sama-sama laris karena pembaca mempunyai fanatisme tersendiri terhadap tokoh/ulama. Karena pembeli mempunyai ikatan emosional sendiri-sendiri dengan tokoh yang ada dalam buku. Patut dicatat, rujukan kitab kuning yang dipakai ketiga buku ini juga sama kualitasnya dan sama-sama laku.

Ketiga, buku fiqih tanya-jawab mempunyai segmen pembaca yang sangat luas (untuk kalangan umat Islam). Luasnya segmen pembaca ini berkaitan dengan tempo generasi pembaca Muslim yang cepat berkembang. Setiap generasi membutuhkan sejumlah bacaan fiqih yang praktis yang meniscayakan penerbit selalu mencetak ulang karena pembaca umum tidak mungkin membaca kitab-kitab kuning berbahasa Arab. Terlebih wacana fiqih di dalamnya bersifat baku tidak akan pernah mengalami perubahan.

Misalnya, sepanjang hayat kotoran ayam pasti hukumnya najis, jenazah wajib dimandikan-dikafani-dishalati-dikubur, shalat fardlu lima waktu sehari, sehabis buang air besar/kecil wajib bersuci, dan lain-lain. Hal inilah yang memungkinkan buku fiqh tanya jawab selalu aktual dan selalu diburu orang banyak –sepanjang pemeluk Islam di Indonesia mayoritas.

Demikian halnya dengan buku terjemahan kitab kuning jenis fiqih, tasawuf, aqidah, atau ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah) yang beredar di masyarakat, khususnya kalangan pesantren, memiliki daya laku yang kuat. Buku jenis terjemahan kitab kuning sangat laku di kalangan pesantren karena membantu santri untuk memperdalam kitab yang dikaji yang berbahasa Arab.

Buku-buku seperti ini, mungkin, bagi kalangan pengkaji wacana berat (intelektuil) tidak termasuk dalam perhitungan karena termasuk wacana lama. Apalagi redaktur resensi buku, pasti tidak akan melirik resensi buku ini karena wacananya termasuk ketinggalan zaman –maklum, setiap redaktur membutuhkan aktualitas.

Namun demikian bagi penerbit, bukan persoalan wacana usang, kenyataan di pasar buku jenis ini laku keras, alias selalu mengalami cetak ulang minimal setahun sekali, maka tetap berlanjut perbaikan demi perbaikan dan cetak demi cetak. Contoh buku jenis ini terjemahan Nashaihul Ibad, Riyadush Sholihin, Alfiyah Ibnu Malik, dan Kifayatul Akhyar.

Bagaimanapun juga dunia buku tidak selamanya akan berhenti pada jenis buku bertema tertentu. Perpaduan antara buku-buku dengan wacana lama dengan yang baru sama-sama mendapatkan respon pasar yang bagus. Tergantung bagaimana penerbit akan memperlaklukan pasar dengan permainan tema yang akan diluncurkan.

Buku fiqih tanya-jawab ala Mbah Sahal, Gus Mus, dan Gus Yusuf merupakan sebagian jenis buku yang laku keras di pasaran dengan indikasi frekuensi cetak ulang terjadi minimal setahun sekali, dan mayoritas laku terjual di wilayah Jawa Tengah. Fenomena ini mungkin bisa memberi informasi sekaligus inspirasi bagi penerbit di luar Jawa Tengah untuk menerbitkan buku semacam ini, dengan tokoh/ulama setempat. Sebab emosionalitas dan fanatisme kewilayahan terhadap tokoh berpengaruh terhadap laku-tidaknya buku jenis ini.

Kholilul Rohman Ahmad, Pustakawan peminat masalah sosial keagamaan tinggal di Payaman, Magelang, Jawa Tengah

Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/01/fiqih-tanya-jawab-dari-mbah-sahal.html

Saturday, April 9, 2011

HUT NU KE-82~Soeharto, Gus Dur, dan Kajian NU

Oleh: Kholilul Rohman Ahmad

Dalam kalender Masehi tercatat 31 Januari 1926 sebagai hari lahir Nahdlatul Ulama (NU). Di tahun 2008 ini berarti organisasi massa terbesar di Indonesia itu telah berumur 82 tahun, sebuah waktu yang cukup sebagai ruang berbenah dan saling mengisi.

NU sebagai organisasi masyarakat telah menapaki sejarah di Indonesia sebagai salah satu penyangga kekuatan bangsa hingga mempunyai nilai plus-minus yang patut diperhitungkan. Sejalan dengan nafas kehidupan yang menyejarah, diri NU mempunyai banyak ruang untuk dikaji tentang sejauhmana perubahan demi perubahan yang pernah dialami.

Melalui hasil kajian NU, dari buku ke buku yang terbit beda tahun, pembaca bisa menganalisis kecenderungan NU dari masa ke masa. Untuk itulah, kajian NU memperoleh posisi penting di mana patut dipertahankan publikasinya dalam bentuk buku, ketimbang sepotong artikel di koran.

Buku-buku tentang NU yang pernah/akan terbit terus mendorong orang untuk tertarik mengamati NU. Misalnya, NU yang identik dengan wacana demokratisasi dan civil society (tahun 1990-an) hingga agen perubahan terhadap paradigma keberagamaan rakyat melalui gagasan liberalisasinya (tahun 2000-an), eksistensi NU kian mantap sebagai salah satu objek kajian sosial-agama-politik penting di Tanah Air yang selalu menarik diteliti. Terlebih di dalam sebuah wacana yang diusung oleh NU seringkali melahirkan kontroversi.

NU dan Soeharto

Kita berkaca pada buku Gus Dur, NU, dan Civil Society (LKiS, 1996) yang merekam sepak terjang Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dengan menggelar doa massal (istigasah) bagi keselamatan bangsa bermakna penting bagi penguatan masyarakat di hadapan negara. Akan tetapi citra yang muncul justru kontroversi, mengingat paradigma negara mengutamakan ketertundukan rakyat terhadap negara (baca: Orde Baru). Di sini menjadi menarik NU untuk dikaji. Senada dengan itu, dapat disimak buku Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Greg Fealy, Greg Barton, eds.) dan NU vis a vis Negara (Andreé Feillard). Yang paling klasik karya Choirul Anam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (1985) dan Saifuddin Zuhri Guruku Orang-Orang Pesantren (1974).

Kenyataan itu mendorong NU semakin menarik dikaji hingga melahirkan beberapa buku lanjutan lain. Karena ternyata Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), saat itu, tidak gentar menghadapi ancaman dan hegemoni Orde Baru di bawah rezim Soeharto. Puncaknya, PBNU menggelar Istighasah Kubro di Parkir Timur Senayan, kata Andreé. Meskipun wacan Gus Dur bersifat personal, namun atribut NU tak bisa dinafikan.

Tentang buku NU dan liberalisme juga mencatat tokoh-tokoh NU yang mengusung gagasan itu, sebagaimana disertasi Mujamil Qomar NU Liberal, patut dicatat dengan font bold karena berhasil memetakan pemikiran Islam kontemporer atas sembilan tokoh NU (Abdurrahman Wahid, Masdar F Mas’udi, Achmad Siddiq, Said Aqiel Siradj, AM Sahal Mahfudh, Abdul Muchith Muzadi, Sjechul Hadi Permono, M Tolchah Hasan, dan Ali Yafie). Mujamil melalui NU Liberal bukan hanya memetakan pemikiran para tokoh itu, namun juga menganalisis kontroversi yang kental pada pemikiran tokoh meski sama-sama dalam jaring-jaring liberalisme dan universalisme. Terlebih salah satu tokoh yang dikaji Mujamil, yakni Gus Dur, dicatat oleh Greg Baton dalam Gagasan Islam Liberal di Indonesia sebagai pelopor Islam liberal di Indonesia.

Tidak hanya itu, tokoh-tokoh muda NU juga menjadi objek kajian menarik seperti M Imam Aziz, M Jadul Maula, Ahmad Baso, Ulil Abshar Abdalla, dan Marzuki Wahid. Laode Ida menyongsong Muktamar di Solo tahun 2004 mencatat pergulatan kaum muda NU dalam NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (2004). Juga Muhammad Sodik melalui buku Gejolak Santri Kota: Aktivitas AMNU Merambah Jalan Lain (Tiara Wacana, 2002). Lebih vulgar buku karangan Bahrul Ulum berjudul “Bodohnya NU” atau “NU Dibodohi”: Jejak langkah NU Era Reformasi Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik (2002) yang tidak mendapatkan kritik atau gugatan dari pengurus teras NU yang seolah menegaskan tesis di dalamnya benar adanya.

Tampaknya hingga entah kapan, NU akan selalu menarik sebagai objek kajian akademis para intelektual dalam dan luar negeri. Ini terjadi mengingat NU mempunyai massa banyak dan cenderung yang tidak satu, khususnya dalam memegang tradisi pada masing-masing wilayah. Khususnya eksistensi NU sering diperbincangkan pada even-even politik.

Contohnya, saat pemilu dan pilpres 2004 lalu, NU diklaim lebih dari satu partai. Dalam pilpres ada tiga kandidat yang mengklaim didukung NU, yakni Jusuf Kalla, Hasyim Muzadi, dan Sholahuddin Wahid. Demikian pula dalam hiruk-pikuk pilkada, NU selalu “seksi” sebagai objek “bisik-bisik politik”. Bukankah ini sesuatu yang menarik sebagai kajian buku?

Sebagai objek kajian NU berperan mendinamisir omset perbukuan sehungga melahirkan keuntungan untuk penerbit dan royalti untuk penulisnya. Tahun 2000 adalah tahun emas buku bertema NU. Saat itu, buku apapun asal mencantumkan NU atau Gus Dur pasti laku keras. Pasalnya Gus Dur sedang berada di puncak kekuasaan sebagai Presiden RI ke-4, di mana hal ini sebangun dengan keingintahuan publik terhadap Gus Dur.

Kejenuhan Kajian NU

Meski sedang surut tren kajian NU, namun buku NU tetap laku. Tapi tidak selaris tahun 2000. Terlebih pembaca kian dewasa dan selektif dalam memilih buku, termasuk tema NU. Tampaknya belakangan ini kajian NU sedang berada pada masa jenuh. Mungkin karena kontroversi yang mengiringinya tidak lagi riuh. Berbeda larisnya buku NU tahun 1990-2000-an tidak lepas dari personalitas Gus Dur yang mampu membangun gairah NU di mata publik. Lalu buku-buku NU laris. Dari yang tebal sampai yang tipis, dari yang berkualitas hingga yang “ecek-ecek” sama-sama laris.

Meskipun NU “seksi” dan riuh dalam perdebatan publik, namun bila ternyata isi kajian NU tidak berkualitas tentu akan ditinggalkan pasar. Sama halnya buku pada umumnya di mana bila hanya mengejar popularitas dengan mencantumkan istilah atau nama yang populer saat itu, maka lambat laun akan ditinggalkan pembaca dan beralih ke popularitas baru.

Di sinilah berlaku hukum pasar untuk komoditas buku. Bahkan bila penerbit tidak memperhatikan kualitas produknya akan dengan mudah menggulung tikar dagangannya sendiri sesegera mungkin tanpa diperintah siapapun.*

Kholilul Rohman Ahmad, Editor Buku Menjawab Kegelisahan NU (2004)

Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/01/soeharto-gus-dur-dan-kajian-nu.html

Friday, April 8, 2011

Fakta Sosial tentang Ulama Berpolitik Praktis

Judul: Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan

Penulis: Dr Endang Turmudi
Penerjemah: Supriyanto Abdi
Penerbit: LKIS Yogyakarta, Cetakan Pertama, Februari 2004
Tebal: xv + 348 halaman

Fakta Sosial tentang Ulama Berpolitik Praktis

KIAI berpolitik dalam percaturan politik Indonesia bukan fenomena baru. Sejak proses kelahiran negara Indonesia, kiai cukup banyak memegang peran penting. Di samping memimpin pondok pesantren, antara lain, mereka juga terlibat dalam perumusan undang-undang maupun pengorganisasian massa dalam rangka mengusir penjajah. Dalam perjalanan sejarah kebangsaan, dualitas fungsi kiai (pemimpin pesantren dan organisasi) ini sangat terasa.

Persoalannya, zaman sekarang beberapa kiai bersikap "tidak proporsional" dalam mengurusi persoalan politik, sebagaimana digambarkan dalam buku ini. Memang, dalam sejarah dicatat bahwa kontribusi perjuangan kiai tidak pernah absen dalam proses kebangsaan. Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, meski secara normatif kiai bertugas mengajar agama di pesantren, kiai tidak dilarang-ketika situasi "genting"-terjun ke dunia politik. Akan tetapi, hal ini menjadi "persoalan tersendiri" ketika banyak politikus murni menyandang gelar kiai. Ia aktif berpolitik praktis tanpa aktivitas mengajar di pesantren atau madrasah.

Namun, Endang Turmudi, penulis buku ini, lain. Bukan hendak mengetengahkan "kiai politik tanpa pesantren", tetapi membahas keberadaan kiai sebagai lembaga yang secara riil mempunyai tanggung jawab mengelola pesantren, namun juga aktif berpolitik praktis melalui partai politik. Buku yang semula merupakan disertasi ini mencoba melihat kepemimpinan kiai secara umum dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek kultural dan politik kepemimpinan mereka.

SEBAGAIMANA dijelaskan penulis, bahwa karena hubungan antara kiai dan masyarakat diatur oleh norma-norma yang diambil dari pemahaman mereka tentang Islam, perubahan-perubahan dalam hubungan mereka tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pada tingkat masyarakat yang lebih luas, tetapi juga oleh perubahan-perubahan dalam norma-norma yang ada. Perubahan pada terakhir ini, kata Endang, sangat terkait dengan proses penafsiran kembali atas Islam.

Karena keterkaitan orang (kiai) Jawa-sebagai sentral penelitian-terhadap Islam, dinyatakan oleh Mark Woodward dalam Islam Jawa, adalah "kekuatan dominan keyakinan dan ritus keagamaan mereka serta pembentuk sifat dasar interaksi sosial kehidupan keseharian mereka", maka perubahan-perubahan dalam dunia sosial yang lebih luas sangat terkait dengan pemahaman baru orang Jawa terhadap Islam.

Perubahan-perubahan dalam norma dan struktur sosial yang lebih luas ini sangat krusial. Perubahan-perubahan ini melahirkan pertanyaan berkaitan dengan munculnya sebuah tatanan baru yang mengatur pola baru hubungan antara kiai dan masyarakat atau antara berbagai segmen dalam masyarakat Jawa, termasuk di dalamnya adalah pengakuan berbagai kelompok yang ada terhadap "lokasi sosial" baru mereka (hal 6).

Atas adanya asumsi ini, hal tersebut memicu tumbuhnya kiai generasi muda yang kritis dan berbau modern sebagai antitesis mengupayakan kembalinya posisi kiai sebagai sentral informasi dan bimbingan bagi kehidupan masyarakat. Sesungguhnya, lahirnya generasi kiai kritis ini bukan hanya melahirkan kalangan Islam muda yang kritis terhadap kepemimpinan kiai, tetapi juga memberikan alternatif mengenai adanya bentuk-bentuk kepemimpinan yang lain. Dengan demikian, dalam analisis Turmudi, posisi kiai dan kepemimpinan karismatiknya kemudian berubah secara tak terelakkan (hal 120-121).

Selain itu, bukan kebetulan, misalnya, jika seorang kiai yang oleh penulis kenal baik dituduh korupsi mengambil uang dari harta wakaf yang dikelolanya. Dalam kasus ini, tampak bahwa posisi kiai yang terhormat sudah goyah, tidak hanya karena ia melakukan perbuatan yang diharamkan, melainkan juga karena adanya perubahan dalam norma sosial yang melandasi hubungan-hubungan sosial di antara para penduduk. Tuduhan seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya karena masyarakat tidak akan menganggap pantas mengkritik kiai (hal 5).

Dengan fakta ini, sebetulnya penulis hendak menyatakan bahwa telah ada pergeseran posisi kiai di mata masyarakat. Selain itu, akibat politik yang dimainkan kiai juga memengaruhi para pengikutnya. Di Jombang, lokasi yang dijadikan sampel penelitian ini, masyarakat lebih percaya kepada pesantren dan tarekat ketimbang kepada organisasi keagamaan atau partai politik yang "menaunginya". Kenyataan ini juga menimbulkan ketegangan tersendiri akibat konflik antarkiai yang saling berebut pengaruh (hal 114-115). Namun, dengan adanya dua orientasi politik kiai (kembali ke khitah dan ikut partai), bagi pengikutnya, merupakan keuntungan. Sebab, mereka akan dapat memainkan peran dalam masyarakat secara sosial dan politik. Ini terjadi karena masyarakat Muslim masih meyakini bahwa kiai adalah pembimbing moralitas masyarakat yang senantiasa harus dihormati dan diikuti.

Dengan demikian, keberhasilan upaya-upaya kiai dalam mengenalkan orientasi politik yang terbuka melalui partai politik, yang telah menyebabkan menurunnya pengaruh politik mereka, seperti ditunjukkan oleh perubahan "pola memilih partai", ternyata di mata masyarakat tidak mesti berarti hilangnya pengaruh kiai dalam masyarakat (hal 323). Alhasil, kiai sebagai pemegang otoritas keagamaan ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat sehingga ia mampu memengaruhi dan menggerakkan aksi sosial para pengikutnya. Meski demikian, pengaruh kiai terkadang menjadi tidak bermakna ketika otoritasnya dianggap telah menyimpang dari apa yang seharusnya

BUKU yang semula berjudul Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java, ini menarik dikaji sebagai bahan perbincangan lebih lanjut tentang peran dan posisi kiai dalam politik. Masihkah mereka pantas diikuti petuah-petuahnya? Sebab, ketika kiai "kesengsem" lalu "melirik" kekuasaan, sesungguhnya hal itu merupakan persoalan aspirasi dan hak setiap warga negara di dunia mana pun. Karena itu, apakah lalu setiap "lirikan" kiai harus diikuti oleh para pengikutnya?

Sungguh, buku ini menarik untuk memotret sosio-psikologi politik kiai secara nasional. Sayangnya, penerbit LKiS terlalu dini menyimpulkan "lirikan" kiai sebagai "perselingkuhan" sebagaimana dinyatakan dalam judul edisi Indonesia. Sebab, jika dicermati, dalam konteks tertentu, "data-data panas" yang ditulis buku ini bisa dimaknai ’pemberdayaan kiai sebagai upaya membuka pikiran para pengikutnya secara politik’.

Dalam konteks sekarang, tesis-tesis yang dikemukakan Endang Turmudi dalam buku ini butuh data-data baru yang lebih akurat dan aktual. Sebab, ketika penelitian ini dilakukan pada pertengahan dasawarsa 1990-an, kondisi politik Indonesia masih menganut "kepercayaan" asas tunggal, dengan hanya ada tiga partai. Oleh sebab itu, kiranya lebih afdal ketika pembaca membaca buku ini, ia didampingi buku politik serupa-setema, tetapi dengan data yang lebih baru.

Kholilul Rohman Ahmad Pustakawan, Tinggal di Payaman, Magelang, Jawa Tengah. Naskah ini pernah dimuat di harian Kompas Sabtu, 19 Juni 2004

Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/02/fakta-sosial-tentang-ulama-berpolitik.html

Thursday, April 7, 2011

Tanah Perdikan Itu Bernama Pesantren

Judul buku: Pesantren di Jawa: Asal-usul, Perkembangan, dan Pelembagaan
Peneliti: Hanun Asrahah, Kustini, Amin Haedari, Marta Hendra
Penyusun: Hanun Asrahah
Editor: Rijal Roihan
Penerbit: Departemen Agama RI-INCIS, Cet. I, Desember 2002
Tebal buku: xii + 200 halaman

Tanah Perdikan Itu Bernama Pesantren
Oleh Kholilul Rohman Ahmad*

DEWASA INI EKSISTENSI DAN KREDIBILITAS PESANTREN MENGALAMI PENINGKATAN PESAT ketimbang sepuluh tahun silam ketika sejumlah tokoh nasio
nal didikan pesantren mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air. Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia telah memberikan kontribusi demokratisasi bagi bangsa Indonesia, antara lain, ketika alumnus Pesantren Tegalrejo Magelang, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ditetapkan oleh MPR sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 1999.

Meski naik dan atau jatuhnya Gus Dur hingga kini masih menjadi kontroversi, namun bagi kalangan pesantren tetap dipandang sebagai prestasi dalam sejarah pergulatan politik kaum santri. Apalagi belakangan bergulir wacana cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur, alumnus Pesantren Modern Gontor Ponorogo) berani secara tegas menyatakan siap untuk duduk di kursi RI 1, yang dapat dinilai semakin menambah kewibawaan pesantren dalam kancah politik nasional.

Gus Dur dan Cak Nur adalah contoh tokoh nasional berlatarbelakang pesantren untuk menggambarkan bahwa pesantren bukan hanya sebagai lembaga yang menjunjung
tinggi normativitas. Namun lebih dari itu pesantren telah menapaki jalan sejarah (historisitas) sebagai bagian tak terpisahkan dari konteks kebangsaan. Pun untuk menemukan bukti tentang peranan pesantren di setiap lini kehidupan dewasa ini bukan perkara sulit. Baik bukti berupa fisik lembaga pesantren itu sendiri di berbagai tempat maupun literatur tentang pesantren.

Banyak indikasi tentang keberadaan pesantren di setiap lini kehidupan. Banyak literatur tentang pesantren, pemikiran pesantren, gerak politik kaum santri, sejarah Pesantren Lirboyo (Kediri, Jawa Timur) yang berhasil menekan laju gerakan komunis di Karesidenan Kediri, Pesantren Langitan (Widang, Tuban, Jawa Timur) dengan KH Abdullah Faqih yang menjadi sentral konsolidasi para kiai dalam forum Poros Langit, keberhasilan KH Arwani (almarhum almaghfurlah) lewat Pesantren Yanbu’ul Qu
r’an (Kudus, Jawa Tengah) dalam menelorkan ratusan huffadz (penghafal Al-Qur'an), maupun Pesantren Hidayatullah (menerbitkan majalah bulanan Suara Hidayatullah) di berbagai daerah yang telah berperan membantu pemerintah mengurangi tingkat pengangguran dengan sistem santri dibekali ketrampilan berkarya dan bekerja secara mandiri.

Beberapa indikasi itu merupakan bukti kontemporer yang pada saat ini mudah ditemukan. Pertanyaannya: apa sesungguhnya pesantren itu, dari mana asal-usulnya, bagaimana riwayat berdirinya, siapa tokoh-tokoh yang memunculkannya, dalam konteks apa ia dapat berkembang pesat, dan sejak kapan ia mampu eksis di tengah berbagai pergolakan politik? Buku tipis hasil penelitian tim peneliti Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI bekerjasama dengan Incis (Indonesian Institute for Civil Society) ini mencoba menggali sejarah munculnya pesantren hingga melembaga di Jawa.

Dua Teori Asal Usul Pesantren
Secara kelembagaan, meskipun masih kontroversi, teori tentang asal-usul pesantren dapat dipetakan menjadi dua. Pendapat pertama, pesantren merupakan kesinambungan dari lembaga pendidikan keagamaan pra-Islam, seperti perdikan, sama sekali bukan struktur lembaga baru yang diimpor. Pendapat kedua mengatakan bahwa pesantren diadopsi dari sistem pendidikan Islam di Timur Tengah.

Hasil penelitian dalam buku ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren memiliki persamaan baik dengan sistem pendidikan di Timur-Tengah maupun dengan lembaga pendidikan Hindu-Budha. Tradisi kedua sistem pendidikan ini berubah sifat khasnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran (konvergensi) yang muncul dalam pesantren.

Selain kontroversi teori pendekatan untuk menggali sejarah pesantren, kontroversi lainnnya adalah kapan lembaga pesantren ini muncul. Ada yang berpendapat bahwa pesantren sudah ada pada masa awal penyebaran Islam di jawa. Tetapi pendapat lain menyatakan, teori yang berpendapat bahwa pesantren telah ada pada masa awal penyebaran Islam di Jawa itu merupakan ekstrapolasi dari pengamatan pada akhir abad ke-19 M. Pesantren menurut pendapat kedua ini, muncul pada akhir abad ke-18 M, dan mengalami perkembangan yang cepat pada abad ke-19 M.

Pararel dengan lembaga pendidikan pra-Islam
Menurut Manfred Ziemek, pesantren merupakan hasil perkembangan secara pararel dari lembaga pendidikan pra-Islam yang telah melembaga berabad-abad lamanya. Bahkan menurut Nurcholish Madjid, pesantren mempunyai hubungan historis dengan lembaga-lembaga pra Islam. Lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada masa itu.

Senada dengan Cak Nur, Denys Lombard menyatakan bahwa pesantren mempunyai hubungan dengan lembaga keagamaan pra-Islam karena terdapat kesamaan di antara keduanya. Argumentasi Lombard begini: Pertama, tempat pesantren jauh dari keramaian, seperti halnya pertapaan bagi ‘resi untuk menyepi’, santri pesantren juga memerlukan ketenangan dan keheningan untuk menyepi dan bersemedi dengan tenteram. Pesantren seringkali dirintis oleh kiai yang menjauhi daerah-daerah hunian untuk menemukan tanah kosong yang masih bebas dan cocok untuk digarap. Seperti halnya rohaniawan abad ke-14 M, seorang kiai membuka hutan di perbatasan dunia yang sudah dihuni, mengislamkan para kafir daerah sekeliling, dan mengelola tempat yang baru dibabad.

Kedua, ikatan antara guru dan murid sama dengan ikatan antara kiai dan santri, yaitu ikatan ‘kebapakan’ dari orang ke orang, yang sudah tampil sebagai ikatan pokok pada zaman kerajaan Hindu-Budha, bahkan sudah ada sebelumnya. Ketiga, antara pesantren dan lembaga keagamaan pra-Islam atau dharma seperti juga antar pesantren serta kebiasaan lama untuk berkelana, yakni untuk melakukan pencarian ruhani dari satu pusat ke pusat lainnya. (hlm. 3).

Adopsi lembaga pendidikan Timur-Tengah
Pendapat kedua menyatakan pesantren diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur-Tengah. Martin van Bruinessen tidak sepakat dengan pendapat pertama di atas sebab ia cenderung melihat adanya kedekatan antara pesantren dengan sistem pendidikan Islam di Timur-Tengah. Secara nyata ia menduga bahwa Al Azhar di Mesir dengan riwaq-nya. Lain halnya Zamakhsyari Dhofier yang berpendapat bahwa pesantren di Jawa (Indonesia) merupakan kombinasi antara madrasah sebagai pusat pendidikan dan kegiatan tarekat.

Buku ini menjelaskan bahwa pada abad ke-19 Belanda mengadakan survei pertama terhadap pendidikan pribumi yang dilakukan pada 1819. Namun Bruinessen menangkap kesan bahwa pesantren dalam bentuk seperti yang ada sekarang belum ada di seluruh Jawa pada abad ke-19. Hanya saja ia menyatakan bahwa ada lembaga-lembaga yang mirip pesantren di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu (Magelang, Temanggung, Wonosobo, Kebumen, Purworejo, dan sekitarnya) Surabaya, Madiun, dan Ponorogo (terletak di Tegalsari). Di daerah-daerah inilah terdapat “pesantren” terbaik, dan di sinilah anak-anak dari pesisir utara Jawa melakukan kegiatan pendidikan.

Pesantren, Perdikan, Paguron, Padepokan
Berdasarkan pengamatannya pada beberapa karya sastra lama, Martin tidak menemukan istilah pesantren. Dalam Serat Centhini dijelaskan bahwa salah seorang tokoh pemeran dalam karya ini, seorang pertapa bernama Danadarma, mengaku telah belajar tiga tahun di Karang, Banten, di bawah bimbingan “Syekh Kadir Jalena”.

Tokoh utama lainnya, Jayengresmi alias Among Raga, juga diceritakan ia belajar di paguron Karang, Banten, di bawah bimbingan seorang guru bangsa Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Ageng Karang. Dari Karang, Banten, ia pergi ke paguron (perguruan) besar lainnya di desa Wanamarta, Jawa Timur. Makanya dalam Wejangan She Bari (buku panduan Islam Ortodoks, menurut GWJ Drewes) tidak ditemukan istilah pesantren, melainkan ‘paguron’ atau ‘padepokan’.

Sampai akhir abad ke-19 laporan pemerintah Belanda pada tahun 1885 mencatat jumlah pendidikan Islam tradisional sebanyak 14.929 di seluruh Jawa dan Madura (kecuali kesultanan Yogyakarta), tidak dirinci berapa jumlah pesantren yang sebenarnya dan tidak dibedakan dengan lembaga pendidikan dasar.

Oleh sebab ada perbedaan bentuk dan tingkatan dalam sistem pendidikan Islam tradisional di Jawa, LWC van Den Berg menganalisa laporan statistik tahun 1885 itu: ternyata 4/5 dari jumlah lembaga tersebut adalah lembaga pengajian yang mengajarkan pembacaan al-Qur'an, dasar-dasar bahasa Arab, kitab-kitab pengetahuan agama tingkat dasar sampai tinggi yang tergolong sebagai pesantren.

Yang jelas bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial keagamaan tidak muncul begitu saja. Pesantren muncul setelah melalui proses interaksi antar Muslim di Jawa dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok terhadap pendidikan Islam. Kontak budaya antara masyarakat Jawa dengan pusat-pusat keislaman dan keilmuan Islam telah memperkenalkan budaya dari luar Jawa, termasuk sistem pendidikan Islam kepada masyarakat (hlm. 79). Karena pola perkembangannya berulang-ulang dan menjadi standar, maka proses ini disebut proses pelembagaan atau institutionalization (hlm. 11) Berdasarkan penjelasan di atas, buku ini mengupas proses pelembagaan pesantren di Jawa dengan memperhatikan asal-usul dan perkembangan pesantren sampai abad ke-19 M.
***

Desa (tanah) perdikan adalah tempat yang mendapatkan kebebasan membayar pajak atau kerja rodi oleh penguasa setempat. Status tanah perdikan telah dikenal jauh sebelum kedatangan Islam di Jawa. Berdasar prasasti-prasasti yang ditemukan, status desa perdikan sudah dikenal di Jawa sejak masa Mataram awal. Prasasti Dieng (809 M) menjelaskan bahwa tanah perdikan dimaksudkan sebagai anugerah kepada pejabat desa atau perseorangan karena jasa atau untuk kepentingan tertentu tanah itu diberikan (hlm. 78).

Pada masa Hindu-Budha secara umum tanah bebas ditetapkan untuk kepentingan tertentu. Di samping diberikan kepada seseorang yang telah memiliki jasa kepada raja, juga ditetapkan untuk orang-orang yang memberikan contoh kehidupan saleh kepada lingkungan masyarakat mereka atau memberikan pengajaran, serta untuk penduduk yang merupakan abdi-abdi Tuhan dan gunung suci Brahmana, pertapaan, biara-biara para rahib, tempat-tempat suci, makam-makam, dan sebagainya (hlm. 82).

Lima Desa Pesantren
Bruinessen mencatat, dari 244 tanah perdikan yang secara eksplisit dipergunakan untuk pesantren ada lima desa: Pesantren Tegalsari (Ponorogo/Panaraga), Pesantren Sewulan dan Banjarsari (Madiun), Pesantren Maja (Pajang, Surakarta), dan Pesantren Melangi (Yogyakarta) (hlm. 99). Namun tidak semua pesantren di Jawa didirikan di atas tanah perdikan, seperti Pesantren Sidaresma (Surabaya) yang didirikan dan dikembangkan tanpa memperoleh hak istimewa itu. Bahkan di luar Jawa terdapat lembaga pendidikan pesantren yang berkembang pesat semacam di Jawa, tanpa melalui sistem tanah perdikan karena di sana tidak dikenal istilah itu (hlm. 100).

Sebagaimana penjelasan itu, sistem pendidikan pesantren di Jawa merupakan kesinambungan dari kegiatan pendidikan dan tarekat di pusat penyebaran Islam dan tarekat di Jawa. Pusat-pusat pengajaran dalam praktek sufistik (seperti zawiyah di dunia Islam) pada akhirnya berkembang menjadi pesantren. Praktek suluk (menempuh sesuatu) yang merupakan kegiatan tarekat telah memperkenalkan amalan-amalan tarekat yang berkembang dalam lingkungan pesantren (hlm. 133). Praktek ini cepat berkembang lantaran masyarakat Jawa bercenderung dengan ajaran sufistik (hlm. 155).

Pada abad ke-18 M sistem pendidikan Islam pesantren mulai terbentuk. Kebutuhan terhadap pendidikan Islam, melahirkan pola-pola pengajaran pendidikan dan pendidikan Islam sehingga terbentuklah sistem pendidikan pesantren. Sistem pendidikan pesantren dipakai oleh masyarakat Jawa secara berulang-ulang dan selanjutnya sistem tersebut menjadi pola umum dan diterima oleh masyarakat sebagai lembaga pendidikan. Melalui lembaga ini, masyarakat mentransfer ajaran-ajaran dan keilmuan Islam.

Pada abad ke-19 M pesantren berkembang pesat dan mencapai momentumnya. Pesantren didirikan masyarakat Muslim Jawa di mana-mana di seluruh Jawa dan Madura. Tanpa disadari pada abad ini pesantren telah melembaga di Jawa dan sampai saat ini pesantren tidak kehilangan fleksibilitasnya sebagai sarana transformasi pengetahuan dan budaya.

Kebangkitan Islam dan Kolonialisasi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan mempercepat perkembangan pesantren di Jawa pada abad ini yang secara detail dibahas dalam buku ini. Pertama, kebangkitan Islam. Sejak abad ke-14 M Islam telah memperoleh pijakan yang kukuh di Jawa. Selama berabad-abad Islam menyebar ke seluruh pelosok di Jawa sampai penerimaannnya di wilayah besar yang terakhir, yaitu ‘sudut Timur”, yang terjadi pada akhir abad ke-18 M. Sebagian besar orang Jawa barangkali telah menerima keyakinan Islam, tetapi yang berkembang subur adalah Islam mistik yang mengandung spekulasi metafisik dari masa pra-Islam.

Kedua, kolonialisasi. Pada awal abad ke-19 M kebencian masyarakat telah memuncak sehingga terjadi ketegangan antara masyarakat Jawa dengan orang-orang Eropa. Ketegangan-ketegangan ini akhirnya meledak menjadi peperangan antara masyarakat Jawa dengan bangsa Eropa yang menjajah, dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat di Ja, seperti petani, para bangsawan kraton, kiai, para haji, dan santri-santri. Kecencian dan sikap permusuhan masyarakat Jawa dengan kolonial ini mendorong masyarakat pada pemantapan dan upaya untuk mempertahankan identitas diri pada masyarakat Jawa.

Dalam keadaan tertindas, resah, dan gelisah masyarakat Jawa kemudian memakai Islam sebagai identitas kultural untuk melawan Belanda. Di sinilah kemudian pesantren mendapat pengaruh di masyarakat dan semakin berkembang “berkat” kesombongan kolonial Belanda. Misalnya, meskipun di Banten tidak banyak ditemui pesantren besar, namun pesantren-pesantren kecil pada tahun 1888 mempunyai peranan penting dalam peristiwa pemberontakan petani Banten. Kalangan santri pesantren di Banten dikenal sangat radikal dalam melawan pemerintah Belanda.

Di Cirebon, pimpinan Pesantren Lengkong Kuningan, Kiai Hasan Maulani, tak pernah pantang menyerah dalam mempertahankan keberadaan pesantren di hadapan kolonial Belanda. Kiai yang dibuang di Tondanao pada tahun 1942 karena terlibat Perang Jawa ini beserta santri-santrinya mempunyai pengaruh kuat sehingga ditakui oleh Belanda. Sementara itu, Kiai Rifa’i Kalisalak tak jauh sifatnya dengan Kiai Maulani, bedanya ia dibuang ke Ambon karena idealismenya terhadap pesantren (hlm. 182).

Jelas peranan kiai yang berani melawan itu telah membantu mempercepat pengembangan agama Islam di pedesaan. Islam di Jawa secara perlahan-lahan mulai menanggalkan sifat-sifat lokal yang sinkretik dan meningkatkan pertumbuhan ortodoksi Islam di pedesaan yang dipelopori oleh guru-guru agama dan kiai-kiai. Kiai sebagai elit keagamaan mempunyai pengaruh yang luas di masyarakat. Kesadaran akan tanggungjawab dan tugas sebagai ulama kepada umatnya, mendorong kiai untuk memelihara hubungan dengan santri-santrinya serta masyarakat sekitarnya melalui pengajaran, khutbah di masjid, upacara doa, dan kunjungan ke rumah-rumah penduduk.

Maka, kiai sebagai guru dan penyebar agama Islam memiliki peranan penting di pedesaan dalam melawan penjajah. Posisinya sebagai sosok intelektual atau ulama dalam komunitas Muslim sangat sentral dalam menggerakkan gerakan-gerakan sosial dari kelompok-kelompok yang memiliki berbagai kepentingan menjadi gerakan-gerakan ideologis.

Kiai sebagai intelektual memiliki kekuatan untuk memperdalam dan mengintensifkan perjuangan dengan cara memantapkan dorongan-dorongan personal menjadi dorongan-dorongan kelompok dan menggerakkan mereka menuju perjuangan demi ‘kebebaran abadi’. Oleh karena itu, pada masa penjajahan dapat dilihat bagaimana pesantren menjadi alat pengendali ideologi yang efektif (hlm. 176).
***

Buku ini mencoba memberikan pengantar kepada pembaca tentang sejarah perkembangan pesantren sehingga melembaga sebagaimana dapat kita saksikan dewasa ini di hampir setiap daerah di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan yang mulanya mempunyai tujuan murni memberikan pendidikan bagi rakyat, kini telah berkembang –antara lain-- menjadi kekuatan legitimasi politik. Tak mengherankan jika pesantren sering dimanfaatkan sebagai alat legitimasi bagi kelompok politik untuk meraih dukungan. Maka, sejarah berdirinya pesantren di berbagai daerah pun sering mengilhami para peneliti untuk terus menggali sejauh mana peranan pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah Air.

Sosoknya yang dewasa ini mempunyai corak dan sistem pembelajaran yang berbeda jauh dengan masa lalunya menjadikan kita dapat menangkap bahwa pesantren telah mengalami pergeseran yang luar biasa dari awalnya (dulu cenderung memakai sistem pembelajaran bandongan dan sorogan, kini telah mengalami modernisasi menjadi klasikal). Sehingga tak berlebihan ketika buku ini dinilai menjadi kebutuhan tersendiri bagi para peneliti agar lebih intensif mempelajari bagaimana kini pesantren harus berupaya beradaptasi dengan perkembangan jaman yang semakin plural dengan kecanggihan peradaban kapitalisme.

Menggali sejarah pesantren bukan pekerjaan gampang. Apalagi rentang waktu yang telah berjalan sudah dilewati oleh berbagai peristiwa sehingga membutuhkan ketelitian akurat. Dan buku ini pun belum dapat dinilai sempurna dalam menggali itu. Sebab data yang dipakai lebih banyak berdasarkan data pustaka, sementara data lapangan yang semestinya diikutsertakan sebagai penyempurna tidak dilibatkan secara maksimal. Namun demikian, inilah satu-satunya buku sejarah pesantren yang mencoba menyempurnakan literatur-literatur tentang pesantren yang lebih dulu dipublikasikan.*

Kholilul Rohman Ahmad, Penggiat kultural J@RMUNU (Jaringan Muda Nahdlatul Ulama) tinggal di Payaman, Magelang, Jawa Tengah. Naskah ini pernah dipublikasikan Majalah Buku “MataBaca” edisi September 2003

FOTO: cover buku Pesantren di Jawa; salah satu model pembelajaran di Asrama Perguruan Islam Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang. Gus Yusuf, pengasuh Ponpes API, sedang membacakan makna sebuah kitab kuning kepada santri-santri di salah satu ruang kelas yang dimiliki pesantren itu (2007)

Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008_02_01_archive.html