Sunday, January 30, 2011

Napak Tilas Lambang NU

Pada Muktamar NU ke-32 di Makasar telah diputuskan bahwa hari lahir NU menggunakan hitungan hijriyah. Dengan demikian, 16 Rajab nanti jam’iyah ini telah menapaki usia 87 tahun.

NU dikenal sebagai ormas yang memiliki nama-nama legendaris seperti simbol jagat, bintang sembilan, juga dikenal sebagai ormas yang memiliki lambang bumi. Lambang-lambang itu memiliki makna yang terus menemukan relevansi. Simbol tersebut juga mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika zaman. Kedalaman makna simbol NU tersebut bisa dilihat dari proses penciptaannya, yang memang mengatasi kondoisi-kondisi manusiawi, sehingga makna yang di-sebarkan juga melampaui zaman.

Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut Kongres, walaupun dalam dokumen resmi kata Muktamar juga digunakan. Pada perhelatan Muktamar ke 2 bulan Robiul Awal 1346 bertepatan dengan Oktober 1927 di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencanakan diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama, Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kala itu Muktamar dipersiapkan lebih matang tidak hanya bidang materi dan manajemennya tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera. Dengan gagasan tersebut maka mulai terbesiklah keinginan untuk memiliki bendera serta simbol atau lambang jam’yah yang membedakan dengan organisasi lain.

Pada saat itu Kongres kurang dua bulan diselenggarakan, tetapi NU belum memiliki lambang. Keadaan itu membuat Ketua Panitia Kongres KH Wahab Chasbullah cemas. Maka diadakanlah pembi-caraan empat mata di rumah KH Ridwan Abdullah di jalan Kawatan Surabaya. Semula pembicaraan berkisar pada persiapan konsumsi Kongres, yang kala itu dipimpin oleh KH Ridwan Abdullah sendiri. Kemudian pembicaraan beralih kepada lambang yang perlu dimiliki oleh NU sebagai identitas dan sekaligus sebagai mitos. Selama ini memang Kiai Ridwan dikenal sebagai ulama yang punya bakat melukis. Karenanya Mbah Wahab meminta agar dibuatkan lambang yang bagus untuk jam’iyah agar lebih mudah dikenal. Tentu saja permintaan Mbah Wahab yang mendadak tersebut agak sulit diterima, tetapi akhirnya disepakati juga demi khidmat kepada NU. Maka Kiai Ridwan mulai mencari inspirasi. Beberapa kali sketsa lambang dibuat. Tetapi semuanya dirasakan masih belum mengena di hati. Usaha membuat gambar dasar lambang NU tersebut sudah diulang beberapa kali dengan penuh kesabaran. Saking hati-hati dan ingin mendapatkan gambar terbaik, Kiai Ridwan butuh waktu hingga satu setengah bulan untuk meramungkannya. Padahal Kongres sebentar lagi akan digelar.

Sampai tiba waktunya, Kiai Wahab pun datang menagih pesanan gambar dimaksud. Saat itu Kiai Ridwan menjawab, “Sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat, tapi rasanya masih belum sesuai.” Mendengar jawaban itu, Mbah Wahab mendesak dengan menga-takan “Seminggu sebelum Kongres sebaiknya gambar sudah jadi lho.” Namun melihat ketidakpastian itu Kiai Ridwan hanya menjawab “Insya Allah.”

Dengan kian sempitnya waktu yang ada, akhirnya Kiai Ridwan melakukan shalat istikharah, minta petunjuk kepada kepada Allah serta qiyamullail untuk inspirasi gambar terbaik. Dalam tidurnya, Kiai Ridwan mendapat petunjuk melalui mimpi, yakni melihat sebuah gambar di langit biru. Bentuknya sama dengan lambang NU yang sekarang.
Pada waktu itu, jam dinding telah menunjukkan jam 02 dini hari. Setelah terbangun, Kiai Ridwan langsung mengambil kertas dan pena. Sambil mencoba meng-ingat-ingat sebuah tanda di langit biru, dalam mimpinya, pelan-pelan simbol dalam mimpi tersebut dicoba divisualisasikan. Tak lama kemudian sketsa lambang NU pun jadi dan sangat mirip dengan gambar dalam mimpinya.

Pagi harinya, sketsa kasar tersebut disempurnakan dan diberi tulisan Nahdlatul Ulama dari huruf Arab dan latin. Akhirnya, sehari penuh gambar tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna.

Namun kesulitan selanjutnya adalah bagaimana mencari bahan kain untuk menuangkan lambang tersebut sebagai dekorasi dalam medan Kongres. Saat mencari kain di wilayah Surabaya, ternyata tidak menemukan yang cocok seperti pada petunjuk mimpinya semalam. Tidak putus asa, Kiai Ridwan mencari hingga ke Malang. Syukurlah, kain yang dicari ternyata ada kendati hanya tersisa 4 X 6 meter. Bentuk lambang NU itu dibuat memanjang ke bawah, lebar 4 meter dan panjang 6 meter. Inilah bentuk asli lambang NU sekaligus ukurannya kala itu.

Menjelang pembukaan, simbol NU telah dipasang di arena Kongres. Adanya simbol baru itu menam-bah keindahan suasana. Ketika acara dibuka dan peserta yang berjumlah 18 ribu diperkenalkan dengan symbol jam’iyah itu, mayoritas orang berdecak kagum. Simbol tersebut memang mewakili dinamika abad ke 19 karena pada perjalanan berikutnya terjadi dinamika yang demikian menarik sesuai dengan semangat zaman yang bergerak menuju kemajuan serta didorong semangat perjuangan.

Arti Lambang NU
Dalam pandangan Kiai Ridwan, lambang NU terdiri dari bumi dikelilingi tampar yang mengikat, untaian tampar berjumlah 99, lima bintang di atas bumi (yang tengah berukuran paling besar) dan empat bintang di bawah bumi. Terdapat tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah bumi dan di bawah bumi ada tulisan NU dalam huruf latin.

Makna lambang NU:
1. Bumi (bola dunia): Bumi adalah tempat manusia berasal, menjalani hidup dan akan kembali. Sesuai dengan surat Thaha ayat 55.
2. Tampar yang melingkar dalam posisi mengikat: Tali ukhuwah (persaudaraan) yang kokoh. Hal ini berdasarkan ayat 103 surat Ali Imran.
3. Peta Indonesia: Melambangkan bahwa NU didirikan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan negara Republik Indonesia.
4. Dua simpul ikatan di bagian bawah melambangkan hubungan vertikal kepada Allah (hablum minallah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablum minannas).
5. Untaian tampar berjumlah 99 melambangkan 99 nama terpuji bagi Allah (Asmaul Husna).
6. Empat bintang melintang di atas bumi bermakna Khulafaur Rasyidin yang terdiri dari Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib kw.
7. Satu bintang besar terletak di tengah melambangkan Rasulullah Saw.
8. Empat bintang di bawah bumi melambangkan empat imam madzhab Ahlussunnah wal Jamaah yang terdiri dari Imam Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafii.
9. Jumlah bintang seluruhnya Sembilan, bermakna Walisongo (Sembilan orang wali) penyebar agama Islam di tanah Jawa.
10. Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab melintang di tengah adalah nama organisasi Nahdlatul Ulama yang berarti ke-bangkitan ulama.
11. Tulisan warna putih bermakna kesucian.

Sebuah Refleksi
Dengan usianya yang kian senja, sudah waktunya seluruh elemen NU untuk kembali merenungi sejarah panjang pendirian jam’iyah ini. Demikian pula sedapat mungkin mencari relevansi semangat dari dicarikannya lambang yang telah dengan susah payah ditemukan.

Penting diingat dan diperjuangkan bahwa berdirinya NU adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunah wal Jamaah dan menganut salah satu dari mazhab empat, di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah NKRI.
Semoga ini akan mengembalikan ghirah dalam berkhidmat kepada organisasi, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Ini penting dengan ter-sebarnya Islam yang rahmatan lil’alamin. (AULA Juni 2010)

http://mediaaula.blogspot.com/2010/07/pada-muktamar-nu-ke-32-di-makasar-telah.html

Saturday, January 29, 2011

Menyambut Satu Abad Pondok Pesantren Lirboyo

09/07/2010

Judul : Mbah Manab, Mbah Marzuqi, dan Mbah Mahrus; Kesan Mendalam Para Tokoh Alumni Terhadap Tiga Tokoh Lirboyo
Penyusun : Tim FORMAL Jakarta
Tebal : xxii+326 hlm., 14x21 cm
Penerbit : Jausan
Cetakan : I, Juli 2010
Harga : Rp 48.000
Peresensi : A. Khoirul Anam *


Ada yang sangat menarik diamati dari Pondok Pesantren Lirboyo, yakni jumlah santrinya yang luar biasa banyak. Para peneliti pendidikan mungkin menilai ini tidak masuk akal. Bagaimana tidak, kamar-kamar santri pun tidak muat untuk ditempati tidur, dan para santri malahan rela tidur di emperan masjid bahkan sampai di tempat jemuran. Konon magnet Pesantren Lirboyo yang begitu kuat sehingga banyak santri tertarik belajar ini merupakan hasil dari tirakat para pendiri pesantren ini, Kiai Abdul Karim, Kiai Marzuqi Dahlan dan Kiai Mahrus Ali.

Santri yang tinggal di Pondok Pesantren Lirboyo kini mencapai lebih dari sepuluh ribu santri yang tersebar di seluruh penjuru negeri, bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura. Sementara para alumninya tak terhingga jumlahnya dan telah berkiprah di berbagai bidang.

Menyambut peringatan satu abad pondok pesantren Lirboyo, yang acara puncaknya akan digelar pada Juli 2010 ini, Forum Mahasiswa Santri dan Alumni Lirboyo (FORMAL) mempersembahkan buku bertajuk “Mbah Manab, Mbah Marzuqi, dan Mbah Mahrus; Kesan Mendalam Para Tokoh Alumni Terhadap Tiga Tokoh Lirboyo”. Buku ini dimaksud untuk menyempurnakan buku Tiga Tokoh Lirboyo yang telah ada namun lebih fokus pada uraian pengalaman para alumni tentang tiga tokoh dan berbagai pengalaman para alumni pada saat belajar di Pesantren LIrboyo.

Tak kurang Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menceritakan pengalamannya di buku ini, yakni ketika ia belajar di Pondok pesantren Lirboyo pada 1968 – 1971 silam. Waktu itu, dan mungkin sampai sekarang, para santri itu hidup sangat sederhana, apa adanya. Para santri tidur di plester (lantai) tanpa bantal, lalu minum dengan air sumur yang selalu aktif dan tidak pernah berhenti dipakai oleh para santri. “Namun di sisi lain kita semua waktu itu sangat mencintai ilmu. Kita belajar tidak karena terpaksa, bukan karena pengakuan formal, ingin mendapat ijazah, bukan. Kita ingin hafal Alfiyah, Imriti, atau Faraidhul Bahiyah, pokonya hafal semua pelajaran. Waktu itu tidak ada ijazah. Kita ingin hanya menjadi orang alim saja, tidak membayangkan setelah lulus kita akan diterima kerja di mana.”

Kang Said dalam buku ini mengaku mendapat banyak perbendaharaan atau khasanah ilmu. Kiai Mahrus dan Kiai Marzuki telah memberikan ilmu, khazanah yang cukup banyak. ”Minimal santri jebolan Lirboyo sudah mengaji Mugni Labib, Ghoyatul Wusul, dan Fathul Wahab,” katanya membanggakan Pesantren Lirboyo.

KH Musthofa Bisri (Gus Mus) juga menceritakan pengalamannya. Kisah yang paling menarik ketika berada di Lorboyo adalah ketika Gus Mus mengumpulkan teman-temannya untuk mencuri tebu Kiai Marzuki.

Gus Mus mengumpulkan kawan-kawan sebayanya. Waktu itu dia mendengar informasi besok tebu kiai ini mau ditebang. “Sebelum ditebang mari kita ngambil. Waktu mau berangkat, Kiai Marzuki yang pada waktu itu gak pake baju, ketemu saya dan rombongan. Beliau berkata, “Gus..Gus..mriki Gus!”

Ternyata Kiai sudah tahu kalau para santrinya akan mencuri tebu. “Padahal saya mau nyuri tebunya beliau, kok pertanyaan pertama kali yang beliau sampaikan malah seperti itu. Pak plong gitu loh.. Saya diam saja. Saya gak bisa menjawab. Orang saya mau nyolong tebunya. Kemudian beliau masuk ke rumah, ke ndalem, dan keluar itu sambil membawa sak gompok tebu, yang bagus-bagus. Jadi kami gak jadi nyolong karena sudah dikasih,” cerita Gus Mus.

Banyak aspek yang diceritakan dalam buku ini. Para narasumber tidak hanya bercerita pengalaman belajar tetapi juga misalnya tentang berbagai aspek kekerabatan di kalangan para kiai. KH Imam Yahya Mahrus, putra tertua Kiai Mahrus dalam buku ini bercerita tentang ihwal perjodohan Kiai Abdul Karim pendiri Pesantren Lirboyo dengan putri Kiai Sholeh. Kiai Hasyim Asy’ari lah yang menyebabkan terjadinya perjodohan ini.

Hubungan Kiai Abdul Karim dengan Kiai Hasyim Asyari itu berawal dari Bangkalan. Pada waktu itu, beliau sama-sama berguru ke Mbah Kholil. Beberapa tahun kemudian, Kiai Abdul Karim mengunjungi Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh Kiai Hasyim, dan tiba-tiba Kiai Sholeh datang dan bertanya ke Kiai Hasyim. “Mana calon menantu saya,” kata Mbah Sholeh menagih. Kiai Hasyim pada waktu itu dengan enteng langsung memanggil “Kang Manab!, Kang Manab! (nama kecil KH Abdul Karim) Ini loh Mbah Sholeh, calon mertuamu.” Nah, sederhana saja, dari situlah Mbah Sholeh mengambil Kiai Abdul Karim sebagai menantunya.

Kiai Abdul Karim sebagai pendiri utama Pesantren Lirboyo dalam buku ini diceritakan sebagai sosok yang sangat sederhana baik pada saat belajar kepada Kiai Kholil Bangkalan maupun saat memimpin pesantren Lirboyo. Pada saat santri Lirboyo sudah mencapai ribuan, Kiai Abdul Karim bahkan masih memegang cangkul ke sawah.

Kisah yang tidak ketinggalan diceritakan oleh hampir semua alumni adalah tentang kelebihan atau lebih tepatnya kesaktian para Kiai Pendiri Lirboyo terutama Kiai Marzuki dan Kiai Mahrus. Misalnya Kiai Marzuki yang tiba-tiba telah berada di Makkah padahal tidak berhaji, atau Kiai Marzuki yang tidak mempan ditembak, juga tentang Kiai Mahrus yang bisa menaklukkan orang gila mengamuk atau Kiai Mahrus selamat dari kendaraan yang tercebur ke kali dengan kondisi tetap santai dan sedang merokok. Banyak cerita-cerita tantang kelebihan para Kiai Lirboyo itu entah para pembaca percaya atau tidak tapi kisah-kisah ini menjadi bagian dari dinamika hidup yang dialami para santri pada saat melakukan tafaqquh fid din di pesantren Lirboyo.

* Peresensi adalah Alumi Pondok Pesantren Lirboyo, Komplek HM Putra

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=24179

Friday, January 28, 2011

Kiai Bergelar Pahlawan Nasional

20/09/2010

Judul: Wahid Hasyim Biografi Singkat 1914-1953
Penulis: Muhammad Rifa’i
Editor: Meita Sandra
Penerbit: Garasi Yogyakarta
Cetakan: 2010
Tebal: 169 hlm.
Peresensi: Moh. Ridwan Rifa’i

Kiai Wahid Hasyim adalah putra dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) dan ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH Hasyim Asy’ari. Silsilahnya dari jalur ayah bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Islam Demak. Sedangkan dari jalur ibunya, bersambung hingga Ki Ageng Tarub. Dan bila dirunut lebih jauh, kedua silsilah itu bertemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja kerajaan Mataram. Maka tidak heran jika pada akhirnya Wahid Hasyim menjadi seorang figur, panutan masyarakat, bahkan gelar pahlawan nasionalpun ia raih. Karena Wahid Hasyim dikenal sebagai sosok yang mempunyai banyak sumbangsih terhadap negara Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Selain dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, Wahid Hasyim aktif dibeberapa organisasi kemasyarakatan seperti MIAI, Masyumi, Liga Muslimin Indonesia, hingga di organisasi terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Di beberapa organisasi tersebut ia selalu dipercaya untuk menjadi Rais Akbarnya. Namun yang paling banyak memberikan sumbangsih dan mengabdi terhadap organisasi yaitu di jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi yang didirikan oleh ayahnya, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.

Karirnya di NU dimulai dari pengurus ranting NU Cukir Jombang, ketua NU Cabang Jombang, hingga kemudian pada tahun 1940 dipilih menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif (pendidikan). Dari sinilah, perjuangan di NU mulai banyak peningkatan sampai akhirnya pada tahun 1946 Wahid Hasyim diberikan amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU menggantikan Kiai Ahmad Shiddiq.

Pada masa kepemimpinannya di NU, Wahid Hasyim tidak hanya berkiprah memajukan serta meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan. Beliau juga mampu berkiprah dalam perjuangan politik. Namun perjuangan politiknya bukan perjuangan politik pragmatis untuk memperoleh sebuah kekuasan dan kepentingan pribadi, melainkan ia mampu berkiprah memperjuangkan politik kebangsaan dan kerakyatan. Kiprah Wahid Hasyim di NU benar-benar mengabdi untuk NU, sehingga pada tahun 1939 atas nama wakil NU, ia mampu membawa NU masuk bergabung dalam MIAI sebuah perkumpulan dari berbagai organisasi Islam dalam satu wadah. Jadi, pada usia 25-26 tahun Wahid Hasyim sudah menjadi ketua pergerakan dengan skala nasional dalam dua organisasi.

Selain itu, Wahid Hasyim pernah mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dengan mengajak M Natsir dan Anwar Cokrominoto, mereka menggerakkan pemuda Islam yang militan, berani berjihad untuk agama, bangsa, dan tanah airnya. Gerakan ini ini diberi nama GPPI (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), yang lahir pada tanggal 2 Oktober 1945. GPPP ini lahir, sebagai organisasi gerakan kepemudaan Islam yang bergerak dalam lapangan politik dan memiliki kecenderungan radikal (hal. 37).

Sejak itulah, kita mengetahuai bahwasanya Wahid Hasyim adalah tokoh pergerakan yang mampu membangkitkan NU di pentas nasional. Ia juga mampu meningkatkan bidang pendidikan dan sosial-politik NU. Dengan semua ini, Wahid Hasyim bisa menunjukkan bahwa NU mempunyai kualitas dan bisa berkiprah walaupun warganya mayoritas berlatar belakang kalangan tradisionalis (pesantren).

Meskipun berlatar belakang dari kalangan tradisionalis, ia tetap konsisten, ikhlas, dan sabar dalam mengabdi pada NU. Dengan kekonsistenan, keikhlasan, dan kesabaran dalam mengabdi di NU, akhirnya NU memberikan sebuah “barokah” (nilai tambah), pada tahun 1949-1952 Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama. Dengan bermodal perjuangan dan mengabdi pada bangsa Indonesia khususnya NU, akhirnya Wahid Hasyim mampu menjadi seorang yang sukses, diterima oleh banyak kalangan, memimpin organisasi terbesar di Indonesia seperti, jam’iyah Nadlatul Ulama (NU) dan organisasi terbesar lainnya yang berskala nasional hingga dipercaya menjadi Menteri Agama.

Buku “Biografi Singkat Kiai Wahid Hasyim” ini, menceritakan sejak ia lahir, pendidikan, kaya-karyanya, perjuangannya di Pesantren Tebuireng Jombang hingga pada saat aktif diberbagai organisasi keagamaan kemasyarakatan yang berskala nasional khususnya di jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Juga beberapa pemikirannya tercantum dalam buku ini, mulai tentang agama dan negara, politik, pergerakan, perjuangan umat Islam, pendidikan dan pengajaran, hingga tentang pemikiran Kementerian Agama.

Salah satu pemikiran Wahid Hasyim yang menarik dalam buku ini, adalah tentang pemikiran politiknya. Pemikiran dan gerakan politik Wahid Hasyim adalah kebangsaan, kerakyatan, membela negara mengayomi masyarakat. Politik bagi Wahid Hasyim bukanlah sebagai kendaraan untuk meraih sebuah kekuasaan dan jabatan, melainkan ia untuk mengabdi untuk negara, mengayomi masyarakat dari semua golongan. Namun kenyataannya sampai sekarang justru politik dianggap sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan, jabatan, demi kepentingannya sendiri.

Dari buku ini, setidaknya dapat menjadi langkah awal sejauh mana kita mengenal sosok dan latar belakang Wahid Hasyim. Agar supaya muncul penulis dan peneliti yang mampu menulis biografi para tokoh, Kiai, yang mempunyai banyak sejarah dan sumbangsih terhadap negara. Dengan harapan bisa diteladani oleh masyarakat khususnya para santri pondok pesantren. Semoga pejuangan yang dilakukan oleh Wahid Hasyim untuk Negara, masyarakat, khususnya warga nahdliyin bermamfaat dan barokah. Amin

Peresensi adalah, Mahasiswa semester akhir STITA Sumenep, saat ini aktif sebagai staf TU Madrasah Ibtidaiyah Nasy-atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep Madura.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=25207

Thursday, January 27, 2011

Ketika Gus Dur Menjadi Seorang Sejarawan

04/10/2010

Judul: Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur
Penulis: Abdurrahman Wahid
Penerbit: LKiS, Yogyakarta.
Cetakan: I, Januari 2010
Tebal: xx + 134 halaman
Peresensi: Akhmad Kusairi

Sebagai seorang anak bangsa, sosok Abdurrahman Wahid atau biasa dikenal dengan Gus Dur dalam perjalanan hidupnya telah banyak menyumbangkan tenaga maupun pikiran bagi berlangsungnya Indonesia sebagai sebuah bangsa. Sebagian orang sudah tidak asing lagi dengan pemikiran-pemikirannya tentang agama, politik dan sosial kemasyarakatan. Namun tahukah orang bahwa Gus Dur juga bisa menjadi sejarawan yang menguasai berbagai literatur tentang sejarah.

Hal ini lah yang membuat menarik hadirnya buku *Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur * ini. Dengan analisisnya yang jeli, kritis, unik, dan terbilang nakal, Gus Dur membuat dugaan-dugaan terhadap fakta-fakta sejarah masa lalu yang terjadi di Indonesia (baca: Nusantara). Orang mungkin akan terkaget atau setidaknya tergelitik membaca tafsir dan spekulasinya terhadap suatu peristiwa sejarah yang selama ini mungkin sudah umum dipercayai sebagai 'kebenaran sejarah', tiba-tiba digoyangnya sedemikian rupa sehingga mau tidak mau orang pun akan melakukan peninjauan ulang.

Penguasaan Gus Dur atas bentangan sejarah nusantara dibuktikan dengan perhatian atas berbagai lakon sejarah, dari Sriwijaya, hingga ke masyarakat Tapanuli Selatan di Medan. Tema-tema pilihan Gus Dur juga beragam dari kekuasaan, toleransi agama, etnisitas, demokrasi, bahasa, gerakan politik, gerakan agama, pertanian, LSM, gender, maritim, dan moralitas.

Penguasaan materi ini tentu dimiliki Gus Dur dengan pembelajaran intensif melalui pembacaan buku, diskusi, atau kunjungan ke pelbagai situs sejarah. Gus Dur dalam sisi ini tampil sebagai intelektual yang peka terhadap sejarah. Modal ini memberikan kontribusi untuk proyek penulisan sejarah nusantara secara komprehensif.

Kejelian dan keberanian Gus Dur dalam menganalisis terlihat misalnya dalam Cerita mengenai pasukan China yang bersama-sama Raden Wijaya mengalahkan pamannya Jayakatwang. Dalaam buku ini Gus Dur menulis bahwa Bukan Kubilai Khan dan pasukannya yang menyerang Jayakatwang yang dibantu Raden Wijaya, melainkan Raden Wijayalah yang dibantu pasukan China di bawah perwira-perwira angkatan laut yang beragama Islam (sebagai-mana Laksamana Ma Chengho/Ma Zenghe, pendiri Singapura). Pendirian ini pun masih harus ditambah dengan perbedaan yang lain, yaitu tentang motivasi penyerangan: balas dendam, perluasan kekuasaan, soal agama, atau yang lain. Dalam kasus ini Gus Dur mengingatkan betapa pentingnya membaca sejarah lama kita dengan berbagai macam-macam versi, versi agamakah atau versi pertentangan akibat ambisi pribadi? (hal 21)

Dalam soal kaum modernis yang cenderung memaksakan perubahan Gus Dur mencontohkan betapa di tanah Batak bagaimana gereja Kristen Protestan di tanah Batak yang mengusulkan agar seorang pemimpin adat, yaitu Sisingamangaraja XII agar diangkat sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah. Di sini tampak penghargaan dari sebuah gerakan agama, Gereja untuk menghargai seorang Raja adat. Menurut Gus Dur, dalam kasus di atas terlihat jelas hubungan simbiotik antara Raja Adat dan gerakan keagamaan, karena keduanya adalah institusi yang berakar menjadi tradisi yang kemudian menjadi satu kesatuan dalam hubungan saling mendukung dan memberikan legitimasi. (hal 118)

Melihat analisinya yang cerdas sepertinya Gusdur sudah sangat familiar dengan sumber-sumber bacaan semacam, *Nagara Kertagama*-nya Prapanca*, Serat Centhini, Serat Cebolek, Babad Tanah ]awi, Babad Diponegoro, Kidung Kebo, Pakem Kajen. *Di samping itu pendapat ahli-ahli sejarah semacam Dr Taufik Abdullah, Yan Romien (Belanda), Charles Issawi (Libanon), Mohamad Yamin, Kuntowijoyo, hingga ahli purbakala, R. Boechori. Tentunya di sini ditambah dengan hasil olah pikirannya sendiri.

Ada cerita tentang asal usul kedatangan orang Arab dan China ke Indonesia; tentang Pangeran Diponegoro; tentang Kerajaan Banten; tentang penyerangan Sultan Agung ke Batavia, dan masih banyak lagi. Tapi yang lebih menarik, di samping melakukan penafsiran-penafsiran, Gus Dur hampir selalu bisa mengaitkan cerita-cerita sejarah lama itu dengan kehidupan masa kini; seperti mengaitkan kisah Perang Bubat di zaman Hayam Wuruk dengan per-kembangan PKB (yang dipimpinnya), mengaitkan pemerintahan Mesir Kuno zaman Pharao/ Fir'aun dengan kejadian di pemerintahan Jepang di bawah PM Kaizumi dan soal otonomi daerah; mengaitkan kisah Jaka Tingkir dengan Lembaga Swadaya Masyarakat.Cerita-cerita sejarah masa lalu semacam itu masih banyak lagi dilihat dan diceritakan Gus Dur.

Dan Gus Dur bukanlah Gus Dur bila dalam ber-bicara tidak menyelipkan kritik. Maka kita tak heran bila di sana-sini, dalam tulisan-tulisannya, kita temu-kan saja kritik-kritiknya yang tajam yang umumnya juga tidak melenceng dari prinsip-prinsip dasar yang diyakininya. Misalnya, dia dengan tajam terus meng-kritik pemerintah: mengkritik politisi yang hipokrit dan mementingkan kepentingan sendiri atau kelompok-nya, mengkritik pejabat-pejabat korup, mengkritik sikap keberagamaan yang terlalu formalitas, dan sudah barang pasti mengkritik MPR/DPR yang dianggapnya melanggar UUD 1945 dengan menyelenggarakan SI untuk melengserkannya kemarin.

Gus Dur dalam kapasitast sebagai seorang ilmuan yang *melek* sejarah merasa ada keganjilan ketika harus mengisahkan sejarah tanpa jejak literatur. Keterbatasan ini mungkin diakibatkan oleh ketidaksadaran penulisan sejarah pada masa lalu. Konsekuensi dari kealpaan ini adalah pelacakan dan penyingkapan sejarah melalui sumber-sumber lisan.

Memang secara ilmiah kesahihan sumber lisan ini bisa diragukan, tapi juga membuka kemungkinan untuk memunculkan perbandingan kritis dengan sumber tertulis walaupun sedikit. Usulan ini diajukan karena Gus Dur sadar ada kemiskinan sumber sejarah untuk lebih mengetahui kebenaran yang sudah terlepas dari bau dongeng atas sebuah pristiwa sejarah.

Terlepas dari semua kekurangannya, buku ini tetep merupakan sumbangan terpenting Gus Dur untuk bangsa Indonesia untuk lebih mengenal lagi kisah masa lalu. Publik harus mengapresiasi warisan esai ini secara konstruktif dan kritis. wacana sejarah Gus Dur sangat gamblang dan memukau, tapi ada esai-esai tertentu mengesankan keterbatasan Gus Dur dalam mengolah sumber informasi dan tidak lihai dalam analisis.

Akhirnya Buku ini harus dibaca sebagai refleksi kritis terhadap sejarah kita. Usaha Gus Dur dalam menulis kumpulan esai ini menjadi bukti keunggulan Gus Dur dalam membongkar wacana-wacana yang sudah telanjur menjadi dongeng.

*Akhmad Kusairi adalah peneliti pada The Al-Falah Institute Yogyakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=25407

Wednesday, January 26, 2011

NU Penggagas Islam Ahlussunnah wal Jamaah

18/10/2010

Judul: Islam NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia
Penulis: Drs KH Busyairy Harist, MAg
Editor: Mohammad Iqbal
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Agustus 2010
Tebal: 223 hlm.
Peresensi: Moh Ridwan Rifa’i

Bila ditilik dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), memang selalu menarik untuk dibicarakan dan diperbincangkan. Karena organisasi ini lahir atas inisiatif kaum tradisionalis (kalangan pesantren), yang memang betul dan paham terhadap kondisi sosial keagamaan sebelum NU lahir.

Karena pada kondisi itu, amaliah dan ajaran Islam ahlusunnah wal jamaah terancam ditiadakan bahkan dihabisi oleh suatu kelompok yang berpaham Wahabi. Kelompok Wahabi ini adalah kelompok yang anti tradisi Islam yang tidak ada di dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

Mereka menganggap tradisi dan amaliah yang tidak ada dalam keduanya adalah bid’ah. Bahkan yang tidak bid’ah pun dianggap bid’ah dan syirik, seperti membaca tahlil, yasinan, diba’an, dan ziarah kubur dilarang. Sehinga ulama pesantren dengan tegas berpendapat, bahwa ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah wajib dipertahankan dan dilestarikan.

Selain dengan latar belakang di atas NU lahir dinakodai oleh para kiai, seperti Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Sansuri. Dan NU lahir tidak sebagaimana organisasi-organisasi lainnya, lahirnya NU adalah sebuah hasil perjuangan dan istikharah para kiai. NU tidak hanya sekedar oraganisasi yang banyak jamaahnya, akan tetapi lahirnya NU mampu memberikan sumbangsih besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia.

Salah satu tokohnya, seperti Kiai Wahid Hasyim pernah menjadi Mentri Agama dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Maka tidak berlebihan jika banyak orang dan kalangan selalu membicarakan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi terbesar di Indonesia.

Peristiwa berdirinya Nadlatul Ulama (NU) juga tidak terlepas dari beberapa organisasi yang dibentuk oleh para tokoh NU, seperti Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Nadlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Taswirul Afkar (Forum Diskusi), Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang) dan lain-lain. Dengan terbentuknya organisasi ini, maka pada akhirnya terbentuklah juga sebuah organisasi besar yang mewadahi para ulama dan kalangan tradisionalis (pesantren). Tepatnya pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, para ulama terkemuka se Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk mendirikan sebuah organisasi yang kemudian diberi nama Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Inilah salah satu perjalanan dan proses NU berdiri, dengan harapan untuk mempertahankan dan memperjuangkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja).

Buku yang ditulis oleh Kiai Buyairi Harits ini sangatlah lengkap, yang didalamnya menjelaskan trentang seluk beluknya mengapa NU didirikan, mengapa akidah ahlussunnah wal jamaah harus diperjuangkan, dan lengkap dengan amaliah-amaliahnya. Dalam buku ini penulis juga menjelaskan tentang sistem bermazhabnya orang NU. Di komunitas NU istilah mazhab sudah lama dikenal. Karena di NU selalu bergulat dengan fiqh yang berpegangan pada salah satu imam mazhab yang empat, yakni mulai dari Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Dari imam mazhab yang empat tersebut, diwajibkan hukumnya bagi umat Islam mengikuti salah satunya. Karena dalam konteks hukum dan fiqh NU wajib mengikuti salah satu mazhab yang empat, dikhawatirkan terjadi percampuradukan antara yang hak dan yang batil, atau tergelincir dalam kesalahan atau mengambil hukum yang mudah-mudah dan cenderung seenaknya (36-37).

Dan yang menarik dalam buku ini dijelaskan tentang amaliah NU yang harus dijaga, dilestarikan, dikembangkan dan dipertahankan oleh warganya khususnya umat Islam hingga akhir zaman. Adapun amaliah NU dibidang ubudiyah, seperti melafazkan niat sebelum shalat, membaca basmalah dalam surat al-fatihah, qonut pada shalat subuh, membaca wirid setelah shalat, berjabat tangan setelah shalat, bilal pada shalat jum’at, khotib jum’at memegang tongkat, dan bilangan rakaat shalat tarawih di dalam buku ini penulis menjelaskan secara sistematis lengkap dengan dalil-dalilnya.

Dalam bidang muamalah (sosial), seperti mengharumkan tubuh mayit dengan membakar dupa, mengantarkan jenazah sambil membaca lafad la Ilaha Illallah, adzan setelah mayit diletakkan dalam kubur, talqin, dan ziarah kubur juga dijelaskan dalam buku ini lengkap dengan dalil-dalilnya.

Dengan membaca buku ini setidaknya pembaca bisa mengetahui tentang NU, mulai dari sejarah berdirinya hingga mengetahui terhadap ajaran-ajarannya. Karena sampai saat ini sudah banyak golongan, seperti orang Wahabi memulai merusak bahkan memberikan fatwah syirik dan haram melakukan tradisi amaliah NU. Mereka berpandangan bahwa amaliah yang dilakukan oleh warga NU, seperti mebaca tahlil, istghosah, yasinan, dibaan, dan ziarah kubur adalah perbuatan bid’ah. Padahal dalam buku ini dijelaskan melakukan amaliah yang sering dilakukakan oleh warga NU hukumnya boleh dan mendapat pahala, tidak haram dan tidak syirik.

Salah satu tugas Nadlatul Ulama (NU) kedepan, adalah menjaga pesantren, pengayom umat, mensejahterakan warganya, dan melestarikan ajaran dan amaliahnya. Dan selama ini, sepertinya NU lebih cenderung kepada gerakan politiknya bukan kepada gerakan sosial keagamaanya. Karena NU bukanlah organisasi politik (ijtimaiyah wassiyasiyah), NU adalah organisasi sosial keagamaan (ijtimaiyah wadiniyah). Semoga dalam kepemimpinan Kiai Sahal Mahfudh dan Kiai Said Aqil Siraj ini, mampu memberikan nuansa baru bagaimana NU bisa maju dan meneladani kepemimpinan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. wallhu a’lam

Peresensi adalah, Staf Pengajar Madrasah Ibtida’iyah Nasy’atul Muta’allimin Candi Dungkek Sumenep dan Saat ini aktif sebagai Sekretaris Ranting NU Banuaju Timur Batang-Batang Sumenep Madura

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=25548

Tuesday, January 25, 2011

Jejak Rekam NU dan Negara

29/11/2010

Oleh Ali usman


Judul: NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan
Penulis: Nur Khalik Ridwan
Penerbit: Ar-Ruzz Media
Cetakan: I, Juni 2010
Tebal: 628 halaman

Nahdlatul Ulama (NU) dan negara sesungguhnya dua entitas yang berbeda, walau eksistensinya kadangkala dianggap jadi satu kesatuan. NU adalah gerakan sosial keagamaan yang berbasis Islam, sementara negara merupakan institusi formal yang memayungi semua kepentingan elemen-elemen masyarakat, termasuk ormas Islam NU.

NU dan negara dianggap jadi kesatuan merujuk pada selain karena ekesistensinya, juga lantaran NU ikut andil dalam perjuangan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pertanyaannya, bagaimana hubungan NU dan negara di tengah pergulatan politik dan kekuasaan?

Buku ini menyajikan sejumlah jawaban yang sangat memadai dalam menjelaskan pasang-surut pola hubungan NU dan negara sejak masa-masa awal pembentukan NU 1914 oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, hingga resmi didirikan pada 31 Januari 1926, bahkan sampai tahun 2010 sewaktu masih dinahkodai KH Hasyim Muzadi. Termasuk pula, di buku ini, Nur Khalik Ridwan, penulisnya, secara detail dan komprehensif menampilkan jejak rekam sejarah pergulatan aktivis NU yang terlibat aktif merebut kemerdekaan RI dari tangan Belanda dan membuahkan deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini bisa ditengok dalam anggota BPUPKI dan PPKI, yang di dalamnya terdapat nama KH Masykur dan KH Wahid Hasyim sebagai delegasi NU.

Itu sebabnya, tecara internal ke-NU-an, terdapat sejumlah fakta-fakta sejarah yang menarik untuk disimak. Tahun 1914 adalah cikal-bakal kelahiran NU dengan membentuk Tashwirul Afkar, sebuah pertukaran gagasan di kalangan santri (pemuda) atas prakarsa KH Abdul Wahab Hasbullah, yang waktu itu, baru saja pulang dari Mekkah. Dari sana, kemudian di tahun 1916 membentuk Nahdlatul Wathan, yang berarti Kebangkitan Tanah Air. Berikutnya, tahun 1918, KH Abdul Wahab Hasbullah bersama KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Tujjar (kebangkitan kaum pedagang), yang difungsikan untuk menyelamatkan perekonomian-perekonomian lokal bumiputera akibat penetrasi yang dilakukan oleh Belanda dan China.

Hal yang menarik dari deklarasi Nahdlatul Tujjar tersebut adalah soal komitmen para ulama atau agamawan untuk menggedor solidaritas kaum bumiputera dan kelompok kaum miskin. Pekik doa keberhasilan terdengar lantang waktu itu: ”Ya Allah, berilah keberhasilan. Amin. Seorang penyair menyatakan, jika ahli ilmu dan hujjah tidak dapat memberikan manfaat, maka keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat sama saja seperti orang bodoh. Demikian juga, jika seseorang tidak memberikan manfaat kepada orang lain, maka keberadaannya bagaikan duri di antara bunga” (hlm. 40).

Dengan semangat berapi-api untuk ikut peduli terhadap nasib rakyat dan bangsa yang ditunjukkan oleh para ulama itulah, yang di kemudian hari, tepatnya tanggal 31 Januari 1926 melahirkan organiasi terbesar di Indonesia bernama NU. Dua tantangan besar menjadi latar belakang berdirinya NU, yaitu gerakan wahhabi dari Timur Tengah yang banyak diadopsi oleh kelompok Islam tertentu, sehingga mengakibatkan kematian ‘tradisi’ masyarakat lokal yang telah tumbuh berkembang di bumi nusantara; dan untuk menyikapi imperialisme alias penjajahan fisik yang dilakukan oleh Belanda, Inggris, dan Jepang terhadap bangsa Indonesia.

Kehadiran NU di kehidupan berbangsa memberikan corak tersendiri dalam mengisi hari-hari keindonesiaan, dari masa kemerdekaan RI hingga detik ini. Yang menarik adalah kekuatan NU tidak dalam keterlibatannya di partai politik praktis—sebagaimana masih terjadi kesalahpahaman di antara banyak kalangan. Jubah kebesaran NU justru pada penguatan civil society yang bergerak liar dalam melakukan advokasi dan pemberdayaan umat.

Keterlibatan NU di kancah dunia politik, yang pernah tergabung dalam Masyumi dan berubah menjadi partai politik pada 7 November 1945, maupun ketika melakukan fusi ke PPP tahun 1973 di masa Orde Baru, mestinya dibaca sebagai bentuk eksperimen NU yang hasilnya kita tahu, mengalami kegagalan total. NU selalu menjadi korban atau tumbal kekuasaan serta seringkali dipecundangi oleh kawan koalisinya di internal partai.

Kehidupan politik NU pada mulanya dirasakan sebagai perluasan wawasan, setidaknya sampai akhir tahun 1950-an, tetapi ternyata perkembangannya memunculkan realitas lain. Sikap dan tindakan NU selalu dikaitkan dengan orientasi untung rugi dari segi kepentingan politik semata. Politik bagi NU bukanlah aspek yang dianggap primer. Sebab, orientasi yang demikian mengakibatkan NU tidak bisa menghindari posisi yang berwatak taktis untuk mendapatkan keuntungan politik belaka. Sedang orientasi utama NU sebagai jam’iyah untuk membina umat, mengembangkan tradisi keagamaan menurut ajaran ahlussunnah waljama’ah yang lebih utuh dan meningkatkan kualitas kehidupan jamaah yang menjadi karakteristik NU, terabaikan (Haidar,1994).

Sejak saat itu, NU mengalami trauma politik, sehingga pada Muktamar 1984 di Situbondo membuat keputusan bersejarah, yaitu kembali ke khittah 1926. Dalam perjalanannya, khittah ini berjalan mulus hingga bertahan kurang lebih 12 tahun, terhitung pascamuktamar 1984. Namun di era reformasi setelah tumbangnya rezim Soeharto, teks khittah kembali “diungkit” dan diinterpretasikan ulang, melahirkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang pada 23 Juli 2010 genap berusia 12 tahun.

Karena itu, kehadiran buku ini, tentu sangat penting untuk mengingatkan kembali masyarakat kita atas prakarsa founding fathers yang telah bersusah payah menegakkan NKRI bersejajar dengan negara-negara lain di seluruh penjuru dunia. Dalam batas-batas tertentu, buku ini seperti kronik yang merekam momen-momen sejarah penting keindonesiaan. Analisis yang di kandung di dalamnya melampaui soal ke-NU-an semata, tapi juga mencakup banyak hal dan kelompok-kelompok lain yang terekam secara apik dalam bingkai keindonesia. Selamat membaca.

*Pustakawan, dan aktivis muda NU di Yogjakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=26261

Monday, January 24, 2011

Memperkokoh Peran NU Terhadap Negara

26/07/2010

Judul Buku : NU dan Keindonesiaan
Penulis : Mohammad Sobary
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : xviii + 258 halaman
Peresensi : Imdad Fahmi Azizi*


Sejak didirikan oleh Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai kharismatik di Surabaya pada tahun 1926, NU mendapat banyak simpati dari berbagai kalangan karena kemampuannya mempertahankan dan menyeimbangkan antara kekuatan tradisionalisme dan budaya modern (almukhafadhatu alal qadimis sholeh wal akhdu bil jadidil ashlah). Disisi lain, tradisionalisme NU mampu mengarahkan umatnya untuk bersikap toleran, menghormati agama lain, serta menghindar dari sikap fundamentalisme dan radikalisasi.

NU menampilkan Islam yang akomodatif (moderat), berarti kesediaan menerima sikap dan pemikiran pihak lain dengan terbuka menciptakan jalan tengah. Tidak hanya dalam hal pemikiran keagamaan, tapi kecenderungan akomodatif ini juga tercermin dalam sikap dan perilaku kebudayaan warga NU untuk menjadi penggerak kehidupan umat dalam sehari-hari sehinggga menjadi pelindung bagi kaum minoritas.

Sehingga sejarah telah mencatat, bahwa NU merupakan warisan para pejuang kemerdekaan dan salah satu ‘pemegam saham’ bagi lahirnya Republik ini. Sebagai ormas Islam terbesar, NU sudah lahir jauh sebelum republik berdiri. NU tetap setia menjaga Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadi kekuatan civil society (kekuatan sipil) yang menempatkan kemaslahatan dan kesejahteraan rekyat sebagai tujuannya. Di samping itu, NU dapat menjadi lokomotif bagi arah kebangsaan di masa depan, sehingga mampu memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas dan menjadi pelopor pembentukan identitas keindonesiaan (nation-character building) (hlm.132-135).

Bersama dengan Muhammadiyah, NU selalu konsisten dengan sikapnya yang akomodatif sehingga dipandang sebagai pilar utama Islam moderat. Keduanya menghargai pluralitas bangsa dan dialog antar agama yang merupakan cerminan harmonisasi antara tradisi kultural dan ajaran agama. Juga NU menekankan keserasian hidup di tengah lingkungan masyarakat yang begitu majemuk.

Begitu juga waktu dibawah kepemimpinan Gus Dur (1984-1999), NU telah diperkenalkan ke dunia nasional bahkan internasional. NU yang sebelumnya dikenal kaum sarungan dengan adat tradisional mampu mengangkat nilai-nilai ke-NU-an yang moderat dan anti kekerasan. Waktu itu, Gus Dur tiba-tiba menjelma sebagai tokoh yang disegani dan kharismatik dimata lawan maupun kawan khususnya rezim Orde Baru, belakangan Gus Dur dijadikan jimat NU. Dengan kata lain, NU tidak bisa dipisahkan dengan nama Gus Dur.

Oleh sebab itu, Gus Dur mulai memperkenalkan wajah Islam Indonesia yang moderat dan damai kian relevan ketika dunia dihadapkan pada pelbagai bentuk ekstremisme dan fundamentalisme yang ujungnya adalah terorisme. Memperkuat moderasi kutural seraya melebarkan perhatian pada moderasi struktural merupakan tantangan NU di masa depan. NU harus tetap bergerak dan mampu berdiri di dua kesadaran sekaligus, yakni tradisi dan kemodernan. NU masa kini dan masa depan diharapkan tetap menjadi generasi yang mampu mempertautkan kearifan tradisi dan kemanfaatan modernitas. Oleh karenanya, diperlukan peran NU untuk lebih berani secara terbuka melakukan penyebaran moral (etika) dengan instrumen yang lebih kongkret terutama bagi para elite negeri ini.

Dengan kembali ke Khittah 1926 dan penerimaan Pancasila sebagai kerangka dasar bernegara menempatkan NU pada posisi aman terhadap penguasa. NU menjadi jangkar nasional sehingga mampu memainkan peranannya untuk menjadi kekuatan budaya dan mampu memperkuat masyarakat sipil (civil society). Didalam tubuh tradisi ke-NU-an, Gus Dur melihat potensi pesantren yang progresif dengan mengistilahkannya sebagai agen perubahan. Keunikan pesantren ini merupakan modal sosial yang sangat berharga.

Karena itu, NU harus memperkuat peran kiai yang berfungsi sebagai ulama (cleric) sekaligus cultural broker (makelar kebudayaan)- bukan political broker ataupun menjadi political operative pemodal yang membutuhkan mereka. Karena diakui atau tidak, NU selama ini terkesan terlalu elitis-politis, kurang populis.

Menurut refleksi Mitsuo Nakamura, pemerhati NU dan Profesor Emeritus Chiba University, Jepang yang harus dikembangkan oleh pucuk pimpinan NU adalah menjadikannya sebagai gerakan agama, pendidikan, dan sosial, yaitu gerakan moral force ; penegakan sejati Pancasila sebagai dasar negara ; pembelaan hak minoritas golongan serta penegakan keharmonisan dan integrasi antar golongan, etnis, dan agama. Ini semua adalah konsekuensi dari kembali le khittah 1926. Sehingga ulama NU dapat meneruskan dan mengembangkan warisan Gus Dur ke tahap yang lebih kuat dan lebih tinggi pada hari depan. (hlm.226-228)

Peran kunci yang juga diharapkan dari NU adalah dalam bidang ekonomi. Selama ini peran tersebut masih belum menonjol. Kaum Nahdliyin dan pesantren selama ini banyak bergelut dengan usaha kecil-menengah dan sektor pertanian, seharusnya NU memiliki potensi yang besar sebagai salah satu kekuatan ekonomi umat. Para pimpinan NU diharapkan mampu mengembangkan semangat kewirausahaan di pesantren. Semangat itu bisa digali dari salah satu sejarah pergerakan ini, di mana pernah muncul gerakan kaum saudagar (Nahdlatut Tujjar) yang berperan penting memperjuangkan ekonomi umat.

Memang selama ini, NU kurang memberikan perhatian pada problem liberalisasi ekonomi, kapitalisme, neokolonialisme, yang menjadikan masyarakat pedesaan yang merupakan basis NU semakin dimarginalkan. Hal tersebut mestinya mendorong NU makin berperan dalam mewujudkan ekonomi rakyat berbasis sumber daya lokal. Dalam rangka menjalankan ekonomi tersebut setidaknya ada dua level ekonomi yang oleh NU harus diperhatikan, yakni level makro dan mikro dengan melakukan kontrol, advokasi dan pemberdayaan.

Buku yang ditulis oleh Kang Sobary seorang budayawan ini sangat menarik untuk dikaji kembali dan dijadikan referensi bagi peneliti NU tentang perannya. Buku ini juga berisi komentar-komentar dari tokoh Republik ini terhadap kiprah NU dan harapan mereka terhadap perannya bagi Indonesia terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, politik dan ekonomi kerakyatan.

*Peresensi Adalah Koordinator Komunitas Penulis Nurul Jadid (KPNJ), Paiton, Probolinggo Jawa Timur

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=24425

Sunday, January 23, 2011

Membongkar Sejarah Santri Yang Tersinggirkan

13/12/2010

Judul: Resolusi Jihad Paling Syar’i, Biar Kebenaran Yang Hampir Setengah Abad yang Dikaburkan Catatan Sejarah Terbongkar
Penulis: Gugun El-Guyanie
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, 2010
Tebal: xiv+128 hal.
Peresensi: Ahmad Shiddiq *

Para ulama yang tergabung dalam Jam’iyyah NU, tentu memiliki pandangan dan ijtihad terhadap seluruh persoalan agama, termasuk dalam menafasirkan makna jihad secara kontekstual. Diskursus tentang jihad selalu menyita perhatian dari berbagai kalangan, baik Islam sendiri atau pun non muslim. Bagi kalangan Islam, ajaran jihad merupakan sesuatu yang inheren, sehingga setiap muslim secara otomatis adalah seorang mujahid. Dalam merespon situasi yang membahayakan kedaulatan, PBNU kemudian membuat undangan kepada konsul NU di seluruh Jawa dan Madura.

Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari langsung memanggil kiai Wahab Hasbullah, kiai Bisri Samsuri, dan para kiai lainnya untuk mengumpulkan para kiai se Jawa dan Madura, atau utusan cabang NU-nya untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di Kantor PB Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2, bukan di kantor PBNU yang saat itu berada di jalan Sasak nomor 23 Surabaya. Hingga memutuskan hal penting bagi bangsa dan negara, yang dikenal Revolusi Jihad tanggal 22 Oktober. Lalu pertanyaannya kenapa dalam lembaran sejarah perjuangan kaun santri lenyap begitu saja.

Buku yang yang ditulis oleh Gugun El- Guyanie ini, sangat penting untuk diketahui bangsa yang sudah lebih setengah abad merdeka. Karena, Pertama, Resolusi Jihad yang perankan NU termajinalisasi bahkan terhapus dari memori sejarah bangsa. Tentu karena pergulatan dan manuver politik, ada upaya-upaya dari kelompok tertentu yang ingin menggusur NU dari dinamika percaturan politik kebangsaan.

Mengapa heroisme terjadi di Surabaya? Kota yang menjadi simbol kota santri, ibu kota NU, dan di ibu kota tersebut pula Jam’iyah NU didirikan tahun 1926? Mengapa dalam pembahasan Resolusi Jihad ini perlu mengungkap setting geosospol dan geokultur. Karena kota Surabaya memiliki khas yang unik, baik dari segi politik, budaya, maupun religiusitasnya. Dengan demikian, akan ditemukan titik sinkron antara Surabaya dan heroisme jihad dari para kiai dan santri dalam membela tanah air. Surabaya kota pesisir timur pantai utara Jawa yang terus berubah, sekarang telah menjadi sebuah metropolitan, dengan proses dan dinamika yang muncul didalamnya.

Maka wacana Resolusi Jihad NU harus dihidupkan kembali, direkontruksi dan tidak ditempatkan pada upaya politisasi sejarah. Tanpa Resolusi Jihad, tak akan ada NKRI. Kedua, pada lingkup internal, banyak kader-kader Muda NU yang tidak mengerti rangkaian sejarah Resolusi Jihad. Hal ini dapat dibuktikan, ingatan masyarakat tentang Resolusi Jihad NU 1945 yang memiliki mata rantai dengan peristiwa 10 November di Surabaya semakin punah. Jangankan masyarakat umum, generasi penerus NU dari pusat sampai ranting, Ansor, Fatayat NU, IPNU-IPPNU pun banya yang tidak mendapatkan transfer sejarah mengenai resolusi penting ini.

Dari fatwa Resolusi Jihad ini, yang keluarkan oleh NU, umat menyambut seruan tersebut dengan gegap gempita. Dimana-mana, peperangan berkobar. Puncaknya, pada pagi, dari ujung-ujung terjauh pulau Jawa, para mujahid berdatangan memenuhi kota Surabaya. Pekik takbir pun membahana, menggoncang jiwa-jiwa musuh yang durjana. Resolusi Jihad telah menggerakkan perang paling kolosal yang pernah ada dalam sejarah Nusantara, yang kemudian terkenal dengan peristiwa 10 November 45. Namun, sejarah tidak merekam perjuangan kaum santri dengan Resolusi Jihadnya. Artinya bahwa kontribusi NU yang begitu besar dalam mempertahankan kedaulatan NKRI ternyata dipandang sebelah mata oleh pemerintah dari zaman kemerdekaan sampai hari ini.

Seandainya saja Resolusi Jihad tidak ada, juga laskar-laskar yang berafilasi dengan NU seperti Hizbullah dan Sabilillah bersama laskar-laskar rakyat lain tidak lahir untuk menentang sekutu, mungkin Indonesia yang merdeka tidak bisa dinikmati sampai hari ini. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian para pengambil kebijakan, juga para sejarawan untuk memposisikan peran NU secara proporsional. Saatnya sejarah harus menampilkan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi, bukan menutupi, mengurangi atau menambahi, memanipulasi atau mengkomoditinya.

Munculnya hari pahlawan, kota pahlawan, dan peristiwa 10 November serta para pahlawan yang gugur adalah bagian dari roh Resolusi Jihad yang ditiupkan oleh para kiai dan santri. Berapa pengorbanan jiwa dan raga yang harus dibayar oleh mereka untuk membayar kecintaannya pada bangsa, tetapi apa balasan pemerintah bagi mereka (warga NU)? Meminggirkan pendidikan pesantren, menuduh pesantren sarang teroris, menyinggirkan alumni pesantren dari dunia kerja?. Pada hal, dengan Resolusi Jihad berdampak pada dua hal penting terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pertama, dampak politik, lahirnya resolusi jihad, secara politik meneguhkan kedaulatan Indonesia sebagai negara bangsa (nation state) yang merdeka dari penjajahan. Meski setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia selalu berdarah-darah untuk mengahadapi masuknya tentara sekutu, agresi militer Belanda pertama dan kedua. Kedua, dampak militer. Resolusi jihad, dengan tampilnya lascar Hizbullah dan sabilillah, berkontribusi besar melahirkan tentara nasional. Tanpa laskar-laskar tersebut, yang terkomando dalam Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan, rekrutmen tentara nasional akan mengalami kesulitan. (hal, 102)

Resolusi Jihad NU telah mengobarkan jiwa dan raga para pejuangnya. Namun sampai hari ini, banyak generasi bangsa yang tidak mengenal tragedy bersejarah itu, bahkan generasi NU sendiri. Hal ini dikarenakan, para sejarawan nasional, atas kepentingan penguasa tidak mencatat Resolusi jihad NU dalam tinta emas sejarah. Oleh karena itu, sudah saatnya sejarah harus berbicara jujur, untuk mengajarkan kepada generasi bangsa bahwa Resolusi Jihad NU adalah pengorbanan yang besar dari para kiai dan santri yang setia, dan mencintai tanah airnya. Orang-orang pesantren selalu meyakini hadits Rasullah bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

Untuk itu, buku ini penting dibaca oleh generasi bangsa, mahasiswa, akademisi (sejarawan), warga dan pengurus NU dari berbagai level, agar bangsa ini bisa menghargai jasa pahlawan yang telah mengorbankan jiwa-raganya, demi terwujud kemerdekaan yang hakiki dari tangan penjajah. Dengan demikian, bangsa ini tidak seperti kata pepatah “air susu di balas air tubah”. Waallahu a’lamu bi al-shawab.

*) Santri Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=26455

Saturday, January 22, 2011

Mbah Hasyim Ideolog Sunni Indonesia

20/12/2010

Judul Buku: Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamaah
Penulis: Achmad Muhibbin Zuhri
Penerbit: Khalista dan LTN PBNU
Cetakan I: Desember 2010
Tebal: XXVI+ 328 Halaman
Peresensi: Fathul Qodir *

Fakta jika mayoritas umat Islam di Indonesia adalah pengikut ajaran Sunni atau ahlussunnah wal jamaah (aswaja) tidak dapat dipungkiri. Keberhasilan itu tidak bisa dilepaskan dari peran Nahdlatul Ulama yang sedari awal berdiri meneguhkan diri sebagai pengamal dan pengawal ajaran ahlussunnah wal jamaah. Diakui ataupun tidak, inklusifitas ajaran Nahdhatul Ulama yang ditransformasikan dari nilai-nilai aswaja telah memberikan kontribusi besar terciptanya wajah moderat dan fleksible Islam di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang multikultur serta kaya akan ragam tradisi, tidak menghalangi Islam ala NU membumi. Mengacu pada teori Islam Kolaboratif Prof. Nur Syam, fleksibilitas doktrin sunni mampu berkolaborasi dengan tradisi-tradisi non Islami yang telah mapan tanpa menghilangkan nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat absolut.

Fenomena kenduri, tahlilan, perayaan maulid, peringatan tiga hari, tujuh hari serta seratus hari pasca kematian, adalah bukti bentuk metamorfosa nilai-nilai ajaran Islam dengan budaya masyarakat Indonesia pra Islam. Sehingga, keberadaan Islam dapat diterima menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia tanpa resistensi yang berarti.

Dalam kajian historis, Walisongo sangat berjasa menanamkan ajaran ahlussunnah di ranah Nusantara. Namun, NU sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki andil yang signifikan dalam mempertahankan ajaran ideologi Sunni. Menjamurnya organisasi keagamaan yang mengusung purifikasi dan pembaruan Islam dalam dekade awal abad 20 secara sistemik dan masif melakukan penggerogotan. Di sinilah NU berperan aktif melakukan pendampingan serta pengawalan terhadap tradisi Sunni sebagai way of life mayoritas umat Islam Indonesia.

Satu hal pokok yang tidak boleh dilupakan bahwa wajah Sunni Nahdlatul Ulama sangat dipengaruhi oleh paradigma Aswaja Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Tidak berlebihan jika KH Hasyim Asy’ari ditahbiskan sebagai ideolog Sunni Indonesia. Penelitian terbaru tentang pemikiran tokoh pendiri organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia ini, Dr Achmad Muhibbin Zuhri menemukan corak Sunni KH Hasyim Asy’ari sangat khas dan tidak sebangun persis dengan konstruksi Sunni era awal, meskipun dalam banyak hal tetap mencerminkan pola Sunni.

Sunni Partikular ala Mbah Hasyim

Ahlussunnah wal jamaah
sebagai ideologi tidak dapat dilepaskan dari normatifitas ajaran yang telah digariskan pengagasnya. Namun, dalam tataran praksis, normatifitas ajaran ahlussunnah tersebut tidak bisa melepaskan diri dari proses dialektika dengan dinamika sosio religious yang mengelilingi. Jika entitas sunni era awal pembakuan sebagai counter ideologis terhadap Mu’tazilah dan Jabariah, serta counter politic terhadap syi’ah. Hal ini berbeda dalam konteks di mana Mbah Hasyim hidup.

Meskipun bangunan pemikiran Mbah Hasyim dipengaruhi oleh pemikiran ulama abad pertengahan dan klasik, namun dekade Mbah Hasyim identik dengan era pertarungan antara entitas Islam Tradisional yang diwakili oleh masyarakat pesantren dan mayoritas umat Islam Indonesia yang berhaluan sunni, berhadapan dengan entitas Islam puritan dan pembaharu yang dikelompokkan dalam Islam Modernis. Uniknya, kelompok Tradisionalis maupun Puritan-Modernis sama-sama mengaku sebagai entitas sunni dan secara geneologis bertemu pada simpul Ahmad bin Hanbal pendiri Madzhab Hanbali yang dikenal otoritasnya sebagai ahli hadist.

Konstruksi naratif pemikiran Mbah Hasyim dapat dipandang sebagai salah satu “counter discource” terhadap mainstream pemikiran modernis dan puritan. Yakni kelompok yang menolak secara tegas pola bermadzhab dan taqlid serta melarang bid’ah atau kreatifitas dalam ibadah yang secara eksplisit tidak terdapat acuan dalam nash Al-Qur’an maupun Al-Hadis.

Pandangan Mbah Hasyim mengenai tawassul, istighatsah, syafa’at, kewalian, maulid, tarekat, dalam beberapa kitab karangannya merupakan wacana tanding pemikiran kelompok Islam Puritan yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pendiri Aliran Wahhabi. Sedangkan isu-isu pembaruan yang dimunculkan oleh kalangan Modernis pengikut pemikiran Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, direspon oleh Mbah Hasyim dalam pembahasan seputar ijtihad, madzhab, taqlid, talfiq, sunnah dan bid’ah.

Menurut Muhibbin, deskripsi pemikiran keagamaan Kiai Hasyim di atas berimplikasi teoritis terhadap konsep Sunnisme. Mbah Hasyim dapat diintrodusir sebagai “sunni partikular”, yaitu paham ahlussunnah wal jamaah yang telah berdialog dengan dinamika keagamaan di Indonesia, khususnya dialektika modernis-tradisionalis pada abad ke-20. (hal. 265)

Sebagai bagian dari komunitas Nahdliyin, penulis telah berhasil menggali dengan mendalam tentang konstruksi pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Tokoh pendiri Nahdlatul Ulama yang hingga saat ini menjadi ikon Islam subtantif dan moderat. Buku ini merupakan hasil disertasi yang diterbitkan, sehingga alur penulisannya sistematis dan analisanya mendalam. Oleh penulis, pembaca diajak mengarungi pemikiran ahlussunnah KH. Hasyim Asy’ari secara runtut dan detail. Mulai dari kajian embrio munculnya pemikiran Sunni, konsolidasi, pelembagaan ideologi sunni era abad pertengahan, hingga dialektika sunni dengan realitas sosio-religius yang melingkupinya dalam berbagai dekade.

Tidak kalah menarik, uraian tentang latar belakang intelektual yang membentuk paradigma Sunni KH Hasyim Asy’ari serta bagaimana pendiri Nahdlatul Ulama ini berusaha mendialektikakan mainstream sunni dengan realitas sosio-religious masyarakat Indonesia era awal abad 20. Sehingga, tampak jelas kepiawaian Mbah Hasyim dalam merumuskan doktrin-doktrin ahlussunnah dari nash Al-Qur’an dan Al-Hadis yang pada akhirnya memunculkan bentuk sunni yang khas Indonesia.

Studi dalam buku ini, selain dapat memberikan referensi bagi usaha-usaha reaktualisasi ideologi, juga berguna menambah khazanah keilmuan tentang Sunni Partikular, yaitu ekspresi ahlussunnah wal jamaah pada dimensi ruang dan waktu tertentu. Selain itu, buku ini merupakan wujud usaha aktualisasi sekaligus kontekstualisasi ahlussunnah wal jamaah yang bercorak inklusif, moderat dan fleksible dalam bersinggungan dengan kesejarahan umat. Walhasil, apresiasi yang besar layak diberikan kepada penulis, sebab isi buku ini menambah kekayaan tafsir tentang ahlussunnah di saat gempuran ideologi “kaca mata kuda” Islam puritan yang cenderung eksklusif menguncang kedamaian dan kesantunan dalam beragama dan keberagamaan. Wallahu a’lam.....

* Staff Pengajar Pesantren Mahasiswa Luhur Al-Husna Surabaya. Alumni Pesantren Lirboyo 2004

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=26599

Friday, January 21, 2011

Gairah Entrepreneurship Pesantren

03/01/2011

Judul Buku: Entrepreneurship Kaum Sarungan
Penulis: Dr. Jazim Hamidi, S.H.,M.H. & Mustafa Lutfi S.H., M.H.
Penerbit: Khalifa, Jakarta
Terbit: April 2010
Tebal: 292 Halaman
Peresensi: Abdul Halim Fathani*)

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna strategis. Pesantren yang telah –lama– mengakar di masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, merupakan modal kekuatan dalam membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk meraih kemajuan dalam hidupnya. Menghadapi era globalisasi yang berdampak pada perubahan di pelbagai aspek, kiranya perlu menelisik peran pondok pesantren dalam “menyambut” dan “mengapresiasi” gejala modernisasi yang melanda masyarakat.

Modernisasi merupakan proses transformasi yang tidak mungkin dapat dihindari, dan karena itu semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap menghadapi dan perlu menanggapi arus modernisasi secara kritis namun terbuka. Indegenousitas pesantren kontras berbeda dengan praktik pendidikan pada lembaga pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik.

Di era globalisasi sekarang ini, fenomena globalisasi yang begitu cepat membawa implikasi akselerasi dalam pelbagai aspek, yang merupakan jawaban atas penerapan teknologi tinggi. Dalam fase inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya, sehingga pesantren dituntut dapat menunjukkan eksistensinya dapat diakui oleh pihak manapun, termasuk membangun- kembangkan mental entrepreneur.

Pesantren dengan pelbagai kelebihan dan kelemahannya –diakui atau tidak– memiliki potensi kemandirian yang patut dicontoh oleh lembaga maupun institusi pendidikan lain. Pesantren lahir bukan untuk kepentingan komersialiasasi pendidikan dan orientasi bisnis oleh pendirinya. Tetapi, pesantren dan kaum sarungannya selalu istiqamah berikhtiar untuk menopang kehidupan yang berorientasi pada fi al-dunya hasanah dan fi al-akhirati hasanah. Di sisi lain, tradisi dan eksistensi pesantren yang dikembangkan merupakan penjelmaan nilai-nilai Islam yang dianut sebagai implementasi dari hablun min al-naas dan hablun min Allah.

Dalam perspektif lain, eksistensi pesantren bukan semata lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan, melainkan juga dapat menjadi pusat penggerak ekonomi (baca: mental entrepreneurship) bagi masyarakat pedesaan. Dalam sejarah perkembangannya, pesantren telah berhasil menumbuhkembangkan semangat kewirausahaan kepada para santri yang kemudian menjadi pengusaha-pengusaha pribumi.

Etos kewirausahaan pesantren terbentuk dengan merujuk pada ajaran Islam sebagai pijakan dan kata kunci. Al-Quran dan Hadits mengandung banyak doktrin maupun keteladanan untuk melakukan kegiatan berwirausaha yang baik. Oleh karenanya, merupakan keniscayaan bagi pesantren untuk dapat melahirkan entrepreneurship yang dapat mengisi lapisan-lapisan usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri yang memegang teguh nilai-nilai islami.

Upaya mengembangkan entrepreneurship di pendidikan pesantren merupakan suatu keniscayaan. Pendidikan pesantren dituntut untuk mampu melahirkan individu-individu yang memiliki kreativitas, berani, dan mampu belajar sepanjang hayat. Dengan tumbuhnya jiwa entrepreneurship pada generasi muda (baca: kaum santri), mereka tidak lagi terfokus menjadi generasi pencari kerja semata yang justru menghasilkan banyak pengangguran terdidik “yang bersarung”. Pendidikan entrepreneurship di pesantren diharapkan mampu memberi bekal agar lulusannya menjadi kreatif melihat peluang berusaha dan mengatasi pelbagai permasalahan yang dihadapinya.

Buku yang ditulis oleh saudara Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, ini memiliki kontribusi riil dan energi positif terhadap gairah entrepreneurship di pesantren Secara umum buku ini tidak hanya mengupas persoalan-persoalan yang fundamental, sesekali juga membahas persoalan filosofis, teoretis, dan juga pragmatis terkait dengan keberadaan dan fungsi kaum santri dalam mengembangkan entrepreneurship di pesantren.

Kelebihan lain dari buku ini adalah substansi yang sarat akan muatan filosofis tapi penulis telah mampu mengungkap dalam bahasa yang lugas, sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca pada segala lapisan masyarakat dan selamat membaca. [ahf]

Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=26755

Thursday, January 20, 2011

Inilah Jurus Ampuh Berdebat dengan Salafi (Wahhabi)

10/01/2011

Judul: Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi
Penulis: Muhammad Idrus Ramli
Penerbit: Bina Aswaja dan LBM NU Jember
Cetakan:1, September 2010
Tebal: vi + 171 halaman
Peresensi: Yusuf Suharto*


Setelah menulis buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik” pada tahun 2008, kemudian setahun berikutnya menulis buku Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlus sunnah wal Jama’ah, Idrus Ramli, penulis buku Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi ini bersama tim LBM NU Jember seringkali diminta mengisi pelatihan dan internalisasi Aswaja di kalangan nahdliyyin. Dalam kegiatan tersebut tak jarang juga diundang tokoh-tokoh salafi. Dari proses dan hasil perdebatan inilah buku ini kemudian ditulis.

Sebagai alumnus pesantren yang sering terlibat dalam kegiatan bahtsul masa’il, dan kemudian di bawah bimbingan KH Muhyiddin Abdusshomad (Rais Syuriah PCNU Jember) mempelajari secara mendalam terutama tentang aspek aqidah ahlussunnah wal jama’ah bersama beberapa alumnus pesantren lainnya, ustadz Idrus, demikian ia biasa dipanggil, terlihat sangat matang memaparkan hujjah-hujjah naqliyah dan aqliyah serta cita rasa gaya pemaparan dan seni berdebat khas yang diungkapkan dalam buku ini.

Untuk membuat semakin berbobotnya buku ini, buku mungil berwarna putih dengan cover berlambang tali jagat ini juga dilengkapi dengan kisah-kisah dialog dan perdebatan para ulama ahlussunnah wal jama’ah dahulu dengan kalangan ulama wahhabi. Misalnya antara Sayyid ‘Alwi bin Abbas al- Maliki al-Hasani (ayahanda sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) dengan Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di (guru Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin) di Masjidil Haram Makkah, dialog terbuka antara Syaikh as-Syanqithi dengan ulama Wahhabi tuna netra, dialog al-Hafidz Ahmad al-Ghumari di Makkah al-Mukarramah, perdebatan Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan dialog Syaikh Salim Ulwan dengan Syaikh Abdurrahman Dimasyqiyath di Australia. Juga disertakan beberapa kisah perdebatan yang dilakukan para ustadz muda teman penulis di kalangan nahdliyyin atau alumni pesantren.

Tujuan yang ingin dicapai penulis buku ini sebagai tergambar dalam kata pengantarnya adalah agar buku ini menjadi panduan dalam berdialog dan berdebat dengan kalangan Wahhabi yang dewasa ini menamakan dirinya Salafi. Tujuan itu agaknya tercermin dari judul buku yang mentasbihkan diri sebagai ‘buku pintar’. Sebuah pilihan judul yang menarik dan sesuai pula dengan muatannya.

Buku dengan tebal 171 halaman ini terdiri dari sepuluh (10) bab, yaitu: Ngalap Barokah, Allah Maha Suci, Bid’ah Hasanah, Otoritas Ulama, Bukan Ahlussunah , Menurut al-Syathibi, Istighasah dan Tawassul, Cerdas bermadzhab, tradisi yasinan, dan permasalahan tradisi.

Tercermin dari sistematika bab tersebut buku ini antara lain memberikan argumentasi meyakinkan tentang adanya bid’ah hasanah, tradisi tahlilan dan yasinan, talqin, pembacaan ushalli, ngalap berkah, tawassul, keberadaan ta’wil semenjak ulama salaf, otoritas ulama dan lain sebagainya. Disinggung pula walau sekilas kritik terhadap ajaran Rafidah atau Syi’ah, terkait posisi aliran ini yang mengkritisi berlebihan para sahabat.

Bahkan dalam beberapa bab disinggung pendapat para ulama yang dihormati dan biasa dikutip ulama wahhabi, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taymiah, al-Hafidz Ibnu Katsir, Ibnu Qayyim, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, namun justru menguatkan dalil golongan mayoritas ahlussunnah wal jama’ah. Misalnya, pendapat Ibnu Taymiyah tentang talqin berikut ini. (Lihat hal. 166)

“Talqin yang tersebut ini (talqin setelah mayit dikuburkan) telah diriwayatkan dari segolongan sahabat bahwa mereka memerintahkannya seperti Abi Umamah al-Bahili serta beberapa sahabat lainnya, oleh karena ini al-Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama lain mengatakan bahwa sesungguhnya talqin mayit ini tidak apa-apa untuk diamalkan…” (Majmu’ Fatawa Ibn Taymiyah, juz 1, hal. 242)

Karena berisi serial dialog dan dan perdebatan-perdebatan, maka kadang klasifikasi atau sistematika bab yang dicoba penulis tidak dapat terpahami dengan segera sebelum membaca subbabnya. Misalnya dalam bab bukan ahlussunnah, disusuli dengan subbab mereka golongan khawarij yang mendeskripsikan bahwa wahhabi bukan bagian dari Sunni, tetapi Khawarij, karena menganut ajaran takfir al-mukhalif dan istihlal dima’ al-mukhalifin (hal. 69-70). Untuk meyakinkan pembaca bahwa wahhabi bagian dari khawarij, penulis membeberkan pendapat beberapa ulama otoritatif sunni semacam Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Amin Affandi (Ibnu Abidin), dan Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Shawi (penulis tafsir al-Shawi Hasyiah tafsir al-Jalalain). Penjelasan bahwa wahhabi tergolong khawarij ini dimulai pada halaman 69 hingga 87.

Sebagai buku penting yang membekali cara berdebat dengan kalangan salafi wahhabi, secara mantap buku ini juga mengulas ciri-ciri aliran bid’ah dan dhalalah menurut pandangan Imam as-Syatibi dalam kitab al-I’tisham. Ciri-ciri yang secara umum dapat dikenali dari ahli bid’ah ini adalah, terjadinya perpecahan dan perceraiberaian pendapat di kalangan internal aliran, berikutnya, gemar mengikuti teks mutasyabihat, kemudian, mengikuti hawa nafsu, menghujat generasi ulama salaf dan terakhir mereka sulit diajak berdialog.

Namun, dalam konteks pluralitas aliran dalam Islam, dan secara luas kenyataan pluralitas agama di Indonesia, buku ini harus dibaca dengan semangat sekedar mempertahankan ajaran internal ahlussunnah walj amaa’ah an-nahdliyyah (meminjam istilah aswaja di internal Nahdlatul Ulama). Katakanlah, buku ini semacam hak jawab internal kaum nahdliyyin atau golongan mayoritas umat Islam terkait kritik yang selama ini disematkan kaum salafi terhadap kaum sarungan ini. Bukankah perbedaan pendapat di antara umat Islam itu adalah rahmat, sebagaimana dinyatakan Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr al-Shiddiq, “Perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Muhammad merupakan rahmat bagi manusia”. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga berkata, “Aku tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad tidak berbeda pendapat. Karena seandainya mereka tidak berbeda pendapat, tentu tidak ada kemurahan dalam agama”. (hal. 67-68).

Akhir kata, buku ini terbukti telah mendapat sambutan yang hangat dari para peserta ketika diperkenalkan dalam acara Daurah Aswaja PWNU Jawa Timur yang diikuti Pengurus Syuriah PCNU se-Jawa Timur pada 17- 19 Desember 2010 lalu di Islamic Centre Surabaya. Karenanya, buku ini layak diapresiasi oleh kalangan nahdliyyin dan umat Islam, karena di samping dapat dianggap sebagai buku panduan pertama yang memakai metode tanya jawab dan dialog untuk mempertahankan dan membentengi ajaran ahlussunnah wal jama’ah yang dalam akidah menganut pada Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, buku ini ditulis oleh seorang aktivis Aswaja yang benar-benar terlibat langsung dalam perdebatan untuk mempertahankan benteng madzhab mayoritas ummat Islam di dunia. Akhirnya, selamat membaca!

*Pengajar di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang Jawa Timur, Mahasiswa S-2 Jurusan PAI Akidah Akhlak IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=26868

Wednesday, January 19, 2011

Faslun fi Babil Bom

Faslun fi Babil Bom
02/06/2006

Saat memberikan taushiyah di hadapan 1.500-an pengurus NU dari tingkat wilayah, cabang, hingga majelis wakil cabang (MWC) se-Jateng tentang konsep Islam moderat, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi tak henti-hentinya menyelingi kelakar dan guyonan khas pesantren.

''Dalam pemahaman Islam moderat, NU tidak mengalami perubahan. Kalaupun sedikit berubah, hanya cara dan teknologinya yang digunakan, sejak Hadratusyekh Hasyim Asy'ari hingga Hasyim Muzadi sekarang ini...,'' tuturnya.

Dia mengungkapkan, walaupun model keislaman NU itu moderat, tapi tetap menjalin komunikasi dengan kelompok-kelompok Islam dari berbagai aliran, termasuk dengan mereka yang dicap beraliran keras dan memegang teguh konsep berjihad dengan pemahaman yang kurang tepat.

''Pesantren-pesantren NU itu kitab kuningnya sakthekruk (banyak sekali), tapi tak ada yang mengupas faslun fi babil bom (bab yang menerangkan tentang bom) .” Lanjut Hasyim, lagi-lagi diringi tepuk tangan meriah

“koyok doroae, dikeploki balik-balik (kayak Burung Dara aja, ditepuki berkali-kali).” Seloroh Hasyim sambil menutup sambutannya. (alf)

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8064

Friday, January 14, 2011

Islam and Politics in Indonesia: the political thought of Abdurrahman Wahid

Mujiburrahman. 1999. "Islam and Politics in Indonesia: the political thought of Abdurrahman Wahid". ISLAM AND CHRISTIAN MUSLIM RELATIONS. 10 (3): 339-352.

Source:
Islam & Christian-Muslim Relations, Oct99, Vol. 10 Issue 3, p339; , 14p
Abstract:
Evaluates the political thought of Islamic leader Abdurrahman Wahid in the context of Islam and politics in Indonesia. Link between the Islamic theology and political philosophy of Wahid; Concept of Islamic universalism; Uniqueness of the arguments presented by Wahid.

Thursday, January 13, 2011

The Public Expression of Traditional Islam: the Pesantren and Civil Society in Post-Suharto Indonesia

Sirry, Mun'im. 2010. "The Public Expression of Traditional Islam: the Pesantren and Civil Society in Post-Suharto Indonesia". The Muslim World. 100 (1): 60-77.

Authors:
Sirry, Mun'im1
Source:
Muslim World; Jan2010, Vol. 100 Issue 1, p60-77, 18p
Abstract:
The article examines the role of pesantren, the traditional Islamic institution of learning, in the process of civil society empowerment and democratization in contemporary Indonesia. It explores how the pesantren deal with issues like democracy, human rights, pluralism, inter-ethnic and inter-religious tolerance, and secular institutionalization. It also discusses the pesantren-state relationship and the views shared by pesantren leaders and activists after the fall of Suharto's regime in 1998.
Author Affiliations:
1University of Chicago Chicago, Illinois

Wednesday, January 12, 2011

Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad

Hosen, N. 2004. "Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad". NEW ZEALAND JOURNAL OF ASIAN STUDIES. 6 (1): 5-26.

Studies on collective ijtihad (ijtihad jama`i), both in English and Arabic, are rare. The reason is that collective ijtihad is a new development in the process of Islamic law, not only in Indonesia but also throughout the Islamic world. Ijtihad in Islamic law can be defined simply as ‘interpretation.’ It is the most important sources of Islam law next to the Qur’an and the Sunnah. The main difference between ijtihad and both the Qur’an and the Sunnah (the traditions of the Prophet) is that ijtihad is a continuous process of development whereas the Qur’an and the Sunnah are fixed sources of authority and were not altered or added to after the death of the Prophet. Historically, ijtihad in Islamic tradition refers to the exercise of Islamic legal reasoning by a single `alim. If a group of `ulama exercise ijtihad, this activity is called by ijtihad jama`I (collective ijtihad).

Sunday, January 9, 2011

Lahirnya Nahdlatul Ulama sebagai Ormas Islam Moderat

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA SETELAH KEMERDEKAAN
(Berdirinya Nahdlatul Ulama sebagai Lembaga Pendidikan Islam)
Oleh: KETUA IPNU KAB. BARRU

I. PENDAHULUAN

Pendidiakan islam di indonesia telah berlangsung sejak masuknya islam ke Indonesia (sekitar abad ke-7 masehi). Pada tahap awal pendidikan Islam dimuai dengam kontak pribadi maupn kolektif anatara muballig (pendidik) dengan peserta didiknya. Setalah kkomunitas muslim terbentuk di suau daerah, maka mulailah mereka membangun masjid. Masjid difungsikan sebagai tempat ibadah dan pendidikan. masjid merupakan lembaga pendidikan islam yang pertama muncul di samping rumah kediaman ulama atau muballig. Setelah itu muncullah tempat-tempat pendidikan lainnya seperti pesantren, daya, surau dan berabagai nama yang lain. Nama-nama tersebut meskipun berbeda namun hakikatnya sama yaitu sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan agama. Perbadaan nama adalah dipengaruhi oleh perbadaan tempat. Istilah pesantren popular bagi masyarakat Islam di Jawa, Rangkang, Daya di Aceh, dan surau di Sumatra Barat.
Inti dari materi pendidIkan pada masa awal tersebut adalah ilmu-ilmu agama yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik. Kitab-kitak klasik menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya agama seseorang. Namun pla pendidikan islam di Indonesia tersebut mengalami perubahan yang signifikan setelah Belanda menduduki Indonesia pada abad ke-18 M. pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, pendidikan islam diawasi dan dikontrol sangat ketat. Slah satu cara dipakai oleh Belanda adalah menerapkan kebijakan ordinasi. Dengan adanya kebijakan ini, guru-guru pendidikan Agama Islam kehilangan kesempatan mengajar karena aturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda.

Akibat eksploitasi politik pemerintah belanda tersebut mendorong tumbuhya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada dikalangan masyarakat Indonesia. Langkah tersebut adalah kesadaran berorganisi. Dengan sendirinya kesadaran berorganisasi yang dijiwai dengan perasaan nasionalisme yang tinggi menimbulkan perkembangan dan era baru di lapangan pendidikan dan pengajaran di Indonesia.

Kesadaran berorganisasi oleh para tokoh nasional pada saat itu menyebabkan lahirnya berbagai organisasi termasuk organisasi Islam untuk menentang imprealisme penjajah. Salah satu diantara organisai islam tersebut adalah Nahdalatul Ulama. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan maka peran organisasi islam tersebut semakin berarti dalam mengembangkan pendidikan islam di Indonesia. Hal inilah yang sangat urgen untuk dikaji lebih mendalam untuk mengetahui peranan organisasi khusunya Nahdalatul Ulama dalam merekontruksi pendidikan Islam di Indonesia.

A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama

Nahdatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama merupakan perkumpulan umat Islam yang didirikan pada tanggal 16 rajab 1344 H. bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. Dan mendapatkan pengesahan dari Gubernur Hindia Belanda dengan nomor keputusan 23 tanggal 6 Pebruari 1930.
Pada saat Ibnu Su’ud dengan aliran Wahhabiyahnya menaklukkan Mekkah dan Madinah dari tangan Syarif Husin, penguasa baru ini mengadakan suatu perubahan secara radikal dalam bidang syariat, dengan menerapkan mazhab Ahmad bin Hambal secara ketat sesuai dengan konsepsi Wahhabiyah. Hal semacam ini menimbulkan kecemasan di kalangan ulama-ulama termasuk ulama Indonesia, karena para ulama tersebut telah mengalami dan mengetahui bahwa penguasa sebelumnya telah memberikan keleluasaan syariat atas dasar mazhab yang empat.
Dengan kondisi seperti tersebut di atas, maka pada tanggal 16 rajab 1344 di rumah H. Wahhab Hasbullah di Kertopaten Surabaya diadakan rapar, yang dihadiri oleh beberapa Kiyai, antara lain; K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang, K.H. R. Asnawi dari Kudus, K.H. Ridlwan dari Semarang, K.H. Nawawi dari Pasuruan, K.H. Nahrawi dari Malang, K.H. Doro Munthaha dari Madura, K.H. Abdullah Faqih dari Gresik, dengan mengambil keputusan sebagai berikut:

Pertama; Mengirim utusan ulama Indonesia ke Kongres Dunia Islam di Mekkah, dengan tugas memperjuangkan hokum-hukum ibadah dalam mazhab empat. Kedua; Membentuk suatu organisasi atau jamiyah yang akan mengirim utusan tersebut, Jamiyah mana atas usul K.H. Alwi Abdul Aziz diberi nama Nahdlatul Ulama.

Menindak lanjuti keputusan tersebut di atas, maka diutuslah K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ganaim al-Misri untuk menghadap raja Su’ud dengan membawa hasil yang memuaskan. Hal ini terbukti dengan terbitnya surat dari Pemerintah Saudi Arabia kepada Pengurus Nahdlatul Ulama, dengan nomor 2082 tanggal 13 Juni 1928 tentang jaminan dan kebebasan umat Islam untuk menjalankan ibadah menurut mazhabnya masing-masing.

Adapun susunan pengurus Nahdhatul Ulama yang pertama pada awal berdirinya sebagai berikut:
Rois Akbar : Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy’ari
Wakil rois : K.H. Said bin Saleh
Katib Awwal : K.H. Abdul Wahab Hasbullah
Khatib Tsani : K.H. Alwi Abdul Aziz
A’wan : 1. K.H. Abdul Halim Lauwimunding
2. K.H. Ridwan (Pencipta Lambang NU)
3. K.H. Bisri Sansoeri,Denayar Jombang
4. K.H. Said
5. K.H. Abdullah Ubaid, Surabaya
6. K.H. Nahrowi Thahir, Malang.
7. K.H. Amin, Surabaya
8. K.H. Khalil Mashyuri, Saditan Lasem
Mustasyar : 1. K.H. Asnawi dari Kudus
2. K.H. Ridwan dari Jombang
3. K.H. Nawawi dari Sidogiri
4. K.H. Doro Muntoho dari Bengkalan
5. K.H. Ahmad Ghanaim Al-Misri
6. K.H. Hambali dari Kudus
Tanfiziyah :
Ketua : H. Hasan Gipo.
Penulis : M. Sadik alias Sugeng Yudhowiryo.
Bendahara : H. Burhan
Komisaris-Komisaris : 1. H. Saleh Samil
2. H. Ihsan
3. H. Nawawi
4. H. Dahlan Abdul Qahar
5. Mas Mangun.

Demikianlah Nahdlatul Ulama berdiri pada tanggal 16 rajab 1344 YH. Atau 31 Januari 1926 M. dan empat tahun kemudian lahirlah surat pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 6 Pebruari 1930 yang ditanda tangani oleh De Algemene Secretaris G. R. Erdbrink. Organisasi Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah dengan memegang teguh salah satu dari mahzab imam yang empat, yaitu Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Bahkan dalam anggaran dasarnya yang pertama (1927) dinyatakan bahwa organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab yang empat tersebut. selain tujuan tersebut Nahdlatul Ulama juga mempunyai tujuan mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan ummat.
Nahdlatul ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma (kesepakatn para sahabat dan ulama) dan al-Qiyas (analogi). Dalam memahami dan menafsirkan islam dari sumbernya di atas Nahdlatul ulama menggunakan jalan pendekatan mahzab yaitu:

1. Dalam bidang aqidah, Nahdlatul ulama mengikuti paham ahlussunnah wal jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.

2. Dalam bidang fiqih, Nahdlatul ulamamengikuti jalan pendekatan (madzhab)salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muahammad bin Idris as-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

3. Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Gazali , serta imam-imam sufi yang lain.
Dalam pendekatan dakwanya Nahdlatul ulamalebih banyak mengikuti dakwah model walisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalakn kekerasan. Budaya yang berasal dari suatu daerah ketika Islam belum datang, bila tidak bertentangan dengan agama akan terus dikembangkan dan dipertahankan.

Secara garis besar, pendekatan kemasyarakatan NU dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Tawasuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk yang tatharruf (ekstrim)

2. Tasmuh, yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat.

3. Tawazun, yaitusikap seimbang dalam berhidmat demi teciptanyakeserasian hubungan antara sesam umat manusia dengan Allah swt.

Perinsip dakwah yang dilakukan oleh Nahdlatul ulama yang sama dengan model dakwah yang pernah dilakukan oleh walisongo, maka Nahdlatul ulama dikenal sebagai pelopor kelompok islam moderat. Kehadirannya bisa diterima oleh semua kelompok masyarakat. Bahkan sering berperan sebagai perekekat bangsa.
B. Peranan Nahdlatul Ulama dalam Perkembangan Pedidikan di Indonesia
Peranan Nahdlatul ulama dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidakal sedikit. Bahkan Nahdlatul ulama dianggap sebagai perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh karena itu Nahdlatul ulama mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting untuk mempertinggi nilai kecerdasan masyarakat Islam dan mempertinggi nilai budi pekerti mereka. Sejak masa pemerinatahan Belanda dan penjajahan Jepang Nahdlatul ulama tetap memajuak pesantren, dan madrasah-madrasah, serta mengadakan tabligh-tabligh begitupula pengajian-pengejian di samping urusan sosial yang lain, bahkan juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu.

Pada akhir tahun 1356 H. (1938 M.) komisi perguruan Nahdlatul ulama telah dapat mengeluarkan reglement tentang susunan madrasah-madarsah Nahdlatul ulamayang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H. susunan madrasah-madasah umum Nahdlatul ulama tersebut adalah sebagai berikut:

1. Madrasah awaliyah lama belajar dua tahun.
2. Madrasah Tsanawiyah, lama belajar tiga tahun.
3. Madrasah Mu’allimin Wusta, lama belajar dua tahun.
4. Madrasah Mu’allimin ‘Ulya, lama belajar tiga tahun.

Tentang kurikulum madrasah-madarasah tersebut harus menurut ketentuan pengurus besar Nahdlatul ulama bagian pendidikan.

Setelah Indonesia memperoklamirkan kemerdekaannya 17 agustus 1945, maka Nahdlatul ulama tampil ke muka dengan resolusi jihadnya pada tanggal 22 oktober 1945. Isinya mengajak umat Islam mempertahankan tanah air Indonesia yang telah merdeka. Dalam resolosi itu ditetapkan bahwa, hokum jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia adalah, adalah fardhu ‘ain, yaitu tiap-tiap muslim wajib berjihad dimana saja mereka berada.

Seiring dengan perkembangan politik Indonesia yang semakin berkembang maka lewat muktamar Nahdlatul ulama ke-19 di Palembang pada tahun 1952, Nahdlatul ulama menjadi partai politik. Sejak itu perjuangan Nahdlatul ulama dalam dunia pendidikan sedikit meredup karena disibukkan dengan politik praktis. Namun hal tersebut tidaklah berlangsung lama, karena seja tahun 1973, pemerintah orde baru menertibkan partai-partai peserta pemilu. Partai-partai yang berazas nasionalis dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sedangkan partai-parati yang berasas Islam dilebur kedalam Partai persatuan pemabngunan. Oleh karena itulah pada muktamar Nahdlatul ulama ke-27 tahun 1984 di situbondo Nahdlatul ulama memasuki babak baru. Setelah malang melintang di dunia politik praktis selama 32 tahun, Nahdlatul ulama kembali ke jati dirinya. Peristiwa itu dikenal dengan istilah kembali ke khitthah 1926. Sejak saat itu Nahdlatul ulama telah melepaskan diri dari poltik praktis dan kembali ke jami’iyyah diniyah yang mengurusi dakwah dan pendidikan.
Sejak masa itu Nahdlatul ulama kembali gencar melakukan pengembangan pendidikan. salah satu lasngkah yang dilakukan adalah dengan membentuk sebuah badan khusus yang mengelola bidang pendidikan yang dinamakan al-Ma’rif yang bertugas untuk membuat perundang-undangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Nahdlatul ulama. Dalam salah satu keputusan dari suatu konfrensi besar al-Ma’rif Nahdlatul ulama seluruh Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-26 Pebruari 1954, ditetapkan susunan sekolah/madrasah Nahdlatul ulama, yaitu sebagai berikut:

1. Raudatul atfal (taman kanak-kank) lamanya dua tahun.
2. SR (sekolah rendah)/ sekarang SD, lamanya enam tahun.
3. SMP Nahdlatul ulama lamanya tiga tahun.
4. SMA Nahdlatul ulama lamanya tiga tahun.
5. SGB Nahdlatul ulama lamanya empat tahun.
6. SGA Nahdlatul ulama (SPG Sekarang) lamanya tiga tahun.
7. MMP Nahdlatul ulama (Madrasah Menengah Pertama) lamanya tiga tahun.
8. MMA Nahdlatul ulama(Madrasah Menegah Atas) lamanya tiga tahun.

Susunan madrasah/sekolah Nahdlatul ulama sekarang sudah mengalami beberapa perubahan dan penyempurnaan. Demikian pula dengan nama madrasah/sekolah sudah banyak menggunakan nama tokoh-tokoh Nahdlatul ulama seperti K.H. Hasyim Asyari, K.H. Wahid Hasyim, serta berbagai nama lai. Nahdlatul ulama kini telah tersebar kesuluh peosok Indonesia.

http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/lahirnya-nahdlatul-ulama-sebagai-ormas.html

Sunday, January 2, 2011

Hasyim Asy'ari dan Historisitas Moderasi Islam

Pemikiran Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari atau lebih akrab dipanggil Kiai Hasyim merupakan representasi dari kondisi dialogis agama dengan tradisi dan budaya. Islam bukan hanya berkutat pada kesalehan ritualistik semata, tetapi lebih jauh sebagai sarana pemecah jalan buntu berbagai anomi sosial.

Sosok kiai asal Jombang dan peletak dasar Nahdlatul Ulama ini merupakan ulama yang mempunyai diskursus perjuangan yang interdisipliner. Baginya, ulama bukan hanya menjadi ”penjaga malam” umat lewat ajaran yang berkutat pada halal-haram, seperti kebanyakan ulama zaman sekarang. Menurut dia, ulama adalah mereka yang mampu menyintesiskan perjuangannya pada konteks sosial. Ulama bukan hanya memimpin umat, tetapi juga memberdayakan dan memberikan pencerahan kepada umat.

Buku Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan tidak hanya mengetengahkan sejarah hidup Kiai Hasyim, tetapi juga pemikiran dan kisah-kisah menarik yang menjadi oral history dari masa ke masa. Melihat kondisi dewasa ini, rasanya sulit mencari pengganti Kiai Hasyim. Baginya, tarekat untuk dekat dengan Tuhan tidak melulu menggunakan ibadah mahdh. Tarekat sebenarnya adalah menciptakan masyarakat yang damai, sejahtera, dan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.

Perjuangan dan moderasi

Yang menjadi pokok pemikiran Kiai Hasyim adalah bulir-bulir moderasi Islam yang dibingkai dengan kearifan lokal. Said Aqil Siradj (2009) memandang, ada sesuatu yang menarik dalam kubah pemikiran Kiai Hasyim. Pengetahuan agama yang didapat di Mekkah tidak serta-merta menjadikan Kiai Hasyim mengusung paham Wahabi yang cenderung puritan dalam beragama dan menolak berbagai tradisi lokal.

Salah satu tindakan moderatif Kiai Hasyim ditunjukkan ketika menerima kemajemukan sebagai realitas sosial-budaya dan sosial-politik bangsa ini. Sejatinya, dengan menerima kemajemukan, berarti mengakui bahwa negeri ini terdiri dari entitas-entitas agama, kesukuan, dan tradisi yang diferensiatif. Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin, tidak hanya memberikan pencerahan bagi umatnya, lebih luas, juga menumbuhkan zeitgeist (semangat zaman) bagi segenap masyarakat Nusantara.

Kiai Hasyim menitikberatkan perhatiannya pada dunia pendidikan. Perjuangannya makin menguat setelah mendirikan Pesantren Tebuireng. Tak bisa dimungkiri, pesantren ini merupakan salah satu mahakarya Kiai Hasyim. Di lembaga pendidikan ini, Kiai Hasyim mencetak santri-santri yang siap berjuang dan berkarya di tengah masyarakat. Dalam mengajar, komitmen akan pentingnya kemandirian dan kepemimpinan sangat besar. Hal ini dibuktikan Kiai Hasyim dengan terlibat secara aktif dalam kegiatan koperasi, sebagai sarana perangsang ekonomi kerakyatan.

Kiai Hasyim bukanlah ahli agama yang hanya menyandarkan segala gerakan dan pemikirannya harus sesuai dengan dalil keagamaan. Dia juga menerima segala unsur baru di luar bingkai hukum agama yang positif, yang semakin memperkaya pilihan-pilihan akan instrumen perjuangan, baik itu yang sifatnya perjuangan fisik maupun perjuangan atas kebodohan.

Hal ini tecermin ketika menerima pengajaran bahasa Inggris dan bahasa Belanda yang merupakan inisiatif dari putranya, KH Abdul Wahid, yang merupakan ayah dari mendiang Gus Dur. Tindakan ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi: al-muhafazah ‘ala qadimi ash-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.

Kiai Hasyim juga mampu memecah stigmatisasi hitam yang mengatakan, ulama pesantren adalah mayoritas diam (silent majority). Baginya, ideologi Islam harus mampu ikut serta dalam membangun kehidupan bernegara. Golongan pesantren, walaupun berjuang dalam ranah kultural dan terkesan berada dalam kabut, tetaplah merupakan kekuatan masyarakat. Perjuangan bukan hanya mengangkat senjata, tetapi juga mampu menciptakan, meminjam istilah Habermas, budaya komunikatif.

Budaya komunikatif mensyaratkan adanya dialog khusus antara penguasa dan rakyatnya. Dalam konteks perjuangan Indonesia pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan, budaya komunikatif menjadi ajang elaborasi para kiai dengan para elite nasionalis yang banyak bernegosiasi dengan pihak penjajah.

Dalam menciptakan budaya komunikasi yang baik, tentu disyaratkan penguasaan ilmu dan kepribadian yang dewasa. Nah, NU yang berposisi sebagai corong masyarakat akar rumput mempunyai kelebihan dalam hal ini. Prinsip moderasi yang dianut NU mampu menembus batas setiap perbedaan kesukuan. Terbukti, gerakan NU mampu melebarkan sayapnya ke seantero Nusantara dan menjadikan organisasi ini sebagai organisasi Islam terbesar di dunia saat ini.

Secara umum, NU mempunyai sebuah paradigma pemikiran yang dirumuskan dalam lima hal. Pertama, pola pikir moderat, artinya NU senantiasa bersikap seimbang dan moderat dalam menyikapi berbagai persoalan. NU tidak ekstrem kanan dan tidak pula ekstrem kiri. Kedua, pola pikir toleran, artinya NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain meskipun akidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.

Ketiga, pola pikir reformatif, artinya NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju arah yang lebih baik. Keempat, pola pikir dinamis, artinya NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespons berbagai persoalan. Kelima, pola pikir metodologis, artinya NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu pada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.



Komprehensif

Penyajian buku ini sangat komprehensif karena tidak hanya mengedepankan historisitas Kiai Hasyim, tetapi juga ajaran Islam moderatnya. Penulis menambahkan berbagai muatan yang memperkaya pemahaman keagamaan lewat mutiara-mutiara yang diperas langsung dari kitab karangan Kiai Hasyim, seperti ajaran tentang pentingnya menjaga tali persaudaraan yang disarikan dari kitab at-Tibyan: fin Nahyi ‘an Muqhata’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan (hal 238).

Menurut Kiai Hasyim, bahwa seorang Muslim sejatinya harus membangun persaudaraan yang tulus. Jika ada hal-hal yang dapat menghambat persaudaraan, sejatinya bisa dihindari dengan cara membangun komunikasi persahabatan.

Begitu pula muatan reflektif-edukatif sangat menonjol dalam karya ini. Para pembaca tidak hanya diajak bernostalgia dalam alur tutur perjuangan Kiai Hasyim. Tetapi, kekuatan dari buku ini adalah refleksi keagamaan yang diembuskan lewat kaidah-kaidah fiqih yang menghiasi hampir setiap halaman.

Kelemahan buku ini terletak pada pembahasan tentang pemikiran Hadratussyaikh yang terlampau singkat. Misalnya, pembahasan paradigma Ahlussunnah wal Jamaah yang semestinya dapat dibedah secara lebih detail, terutama apa yang membedakan antara NU dan kelompok-kelompok Muslim lain. Apalagi di tengah pasar pemikiran yang menyajikan paham Ahlussunnah wal Jamaah pula sehingga terasa sulit untuk membedakan antara versi NU dan non-NU.(Johan Wahyudi Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Sumber: Kompas, 28 Maret 2010