Friday, October 29, 2010

“Ngalap Berkah”, Tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah yang sering Dianggap Bid’ah

30/06/2008

Judul Buku: Tabarruk Ceraplah Berkah dari Nabi dan Orang Saleh
Penulis: Prof Shobah Ali Al-Bayati
Penerbit: Pustaka IIMaN, Depok*
Cetakan: Pertama, April 2008
Tebal: 190 Halaman
Harga: Rp 30.000,-
Peresensi: Muhtamarukin SP**


Beberapa kelompok atau organisasi Islam yang muncul belakangan melakukan serangan bertubi-tubi terhadap praktik tabarruk atau mencari berkah atau barokah, yakni mencari kebaikan dengan pelantaraaan Rasulullah dan peninggalan-peninggalannya, juga mencari berkah kepada orang-orang salih dan peninggalan-peninggalan mereka. Mereka mengatakan bahwa praktik tabarruk adalah bid’ah atau perbuatan yang mengada-ngada yang dihukumi sesat dalam Islam.

Serangan ini tidak saja membuat gelisah kalangan awam yang mempraktikkan tabarruk, bahkan dalam berbagai kesempatan serangan itu menjadi pemicu perselisihan diantara umat Islam.

Adalah Prof Shobah Ali Al-Bayati, seorang cendekiawan Muslim Irak yang tidak tahan dengan situasi itu. Melalui bukunya bertajuk ”At-Tabarruk” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ”Tabarruk Ceraplah Berkah dari Nabi dan Orang Saleh” ia tidak saja menunjukkan bahwa tabarruk bukanlah bid’ah yang dilarang, tetapi sebaliknya menunjukkan dengan gamblang bahwa ia merupakan tuntunan langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Tabarruk (atau kalangan pesantren menyebutnya ngalap berkah) berarti meraih berkah, kebaikan, dan kebahagiaan dengan media sesuatu yang diistimewakan Allah. Diistimewakan karena Allah telah menyematkan atau mengalirkan keberkahan kepadanya. Oleh Prof Shobah, berkah juga didefinikan secara ilmiah sebagai “energi positif” yang luar biasa dahsyatnya, yang terpancar ketika seseorang berhubungan dengan suatu media, tentu atas izin-Allah SWT.

Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menceritakan tentang berkah.

رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ

“Rahmat Allah dan keberkahan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai Ahlulbait! (QS Huud 11: 73)

وَهَـذَا كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُّصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ

Dan ini (Al-Qur'an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi (Al-An’am 6: 92)

Prof Shobah juga mengulas sejarah tabarruk yang telah dilakukan oleh para sahabat dan disetujui oleh Nabi Muhammad SAW, bahkan praktik tabarruk yang telah dilakukan oleh umat terdahulu. Dikisahkan Nabi Yusuf AS menitipkan gamisnya kepada saudara-saudaranya agar diusapkan ke wajah ayahandanya Nabi Ya’kub AS yang telah kehilangan penglihatannya lantaran sedih berpisah dengan Yusuf. Dengan izin Allah gamis itu berhasil menyembuhkan penglihatan nabi Ya'kub AS. Ini hanyalah satu contoh saja, masih banyak kisah-kisah lainnya.

Syiar-syiar di Tanah Haram seperti Hajar Aswad, Ka‘bah, maqam Ibrahim, makam Nabi Saw di Madinah, atau masjid-masjid tua dan karya-karya besar warisan para pewaris Nabi (para ulama saleh dan kekasih Allah), makam mereka, serta petilasan orang-orang saleh, bahkan orang saleh yang masih hidup, adalah sebagian contoh dari sekian “benda-benda” suci penuh berkah yang diyakini oleh umat Islam di eluruh penjuru dunia. Kita dapat bertabarruk dengannya: menziarahi, berzikir dan berdoa, mempelajari, bersilaturahmi dan memohon doa, bertukar pikiran atau konsultasi, menghormati dan bahkan tulus menciumi, tanpa jatuh pada pengkultusan berlebihan.

Buku ini dengan mudah, otentik dan logis menunjukkan betapa tabarruk sudah turun-temurun dipraktikkan oleh para nabi, Nabi SAW sendiri, para sahabat dan orang-orang saleh. Dikatakan Prof Shobah, hanya pandangan dangkal saja yang menganggap praktik ini bid‘ah. Buku ini memberikan penjelasan yang sangat baik mengenai tabarruk. Tidak hanya itu memberikan arahan dan contoh praktik tabarruk yang ditakukan oleh para sabat nabi dan salafus salih.

Buku ini sangat komprehensif karena menyertakan pendapat kelompok yang memakruhkan tabarruk, atau menyarankan untuk tidak melakukannya dengan beberapa alasan. Membaca pendapat dari kelompok yang memakruhkan tabarruk, peresensi menyimpulkan bahwa hal itu hanyalah sebuah bentuk kehati-hatian (ahtiyat) agar umat Islam tidak melakukan perbuatan yang dekat dengan syirik atau menyekutukan Allah. Sungguh pun demikian ditegaskan bahwa jika seorang muslim melakukannya dengan susngguh-sungguh berniat tabarruk, maka itu diperbolehkan. Az-Zarkoni, salah seorang ulama madzhab Maliki mengatakan, “mencium kuburan hukumnya makruh, kecuali bertujuan untuk tabarruk, maka tidak makruh. (hlm. 133)

Buku ini juga dilengkapi dengan redaksi teks buku asli terkait dengan dalil-dalil naqli (Al-Qur’an dan Sunnah) serta riwayat-riwayat para ulama pendukungnya. Ini dimaksudkan agar tidak ada lagi keraguan diantara umat Islam yang melakukan tabarruk.

Sungguhpun demikian buku ini tidak dimaksud untuk meneruskan bantah-bantahan antara kelompok yang mengamalkan tabarruk dan kelompok yang membid’ahkannya. Bantah-bantahan itu tidak banyak berfaedah, bahkan menyita waktu, energi dan pikiran. Penulisnya, Prof. Shobah Ali Al-Bayati, hanya ingin memberikan penjelasan kepada para pengamal tabarruk agar semakin yakin bahwa sesuatu yang dikerjakannya benar-benar merupakan tuntunan syariat Islam. Di akhir buku ini beliau memngingatkan bahwa memang ada kelompok ekstrem yang selalu melakukan serangan dengan mengatakan bahwa tabarruk tidak ada tuntunannya dalam islam, tidak ada dalilnya. Untuk kelompok yang demikian, Prof. Shobah mengatakan, “Orang-orang seperti itu tidak perlu dihiraukan”.


*
Pustaka IIMaN: Alamat Komplek Ruko Griya Cinere II, Jl. Raya Limo No. 3, Depok 16514 Telp/fax (021) 754 6162e-mail:pt_iiman@yahoo.com. Distributor Mizan Media Utama Jl. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp (022) 781 5500

** Peresensi adalah alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, aktif di Forum Kajian Buku LIDI

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=13219

Thursday, October 28, 2010

Kiai Ihsan: Tokoh Intelektual-Spiritual Islam

05/05/2008

Judul Buku: Jejak Spiritual Kiai Jampes
Penulis: Murtadho Hadi
Penerbit: Pustaka Pesantren, LKiS Yogyakarta
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: xii + 76 halaman
Peresensi: Anwar Nuris

Konon, banyak ulama dan pakar bahasa Arab, termasuk ulama Al-Azhar (Mesir), yang tidak segera percaya saat mereka tahu bahwa pengarang kitab Amtsilatut Tashrifiyyah adalah KH Makshum Ali dari Jombang, Indonesia, yang dimaklumi tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu. Kitab Ilmu Tashrif (konjugasi) ini terkenal karena dapat menjelaskan proses bentukan kata dan tata matra (wazan) secara ringkas.

Begitu pula yang terjadi pada KH Ihsan bin Dahlan Jampes, dengan salah satu karya monumentalnya berjudul Sirojuth Tholibin sebagai kitab sarah/penjelas dari Minhajul ’Abidin-nya Imam Al-Ghazali, mampu membuat penasaran para penggemar “etika al-Ghazali” di Eropa, karena mereka mengakui doktrin-doktrin Imam al-Ghazali yang begitu rumit namun dengan gamblang diuraikan Kiai Ihsan. Bahkan, ketika kitab Sirojuth Tholibin terbit dan beredar di dalam maupun di luar negeri, datanglah utusan Raja Faruq dari Mesir yang meminta Kiai Ihsan untuk mengajar di Universitas al-Azhar. Tetapi, dia lebih memilih untuk tetap tinggal di pesantrennya, menjadi teman setia santri dan mengajari mereka keluhuran akhlak. (hal. 24)

Kiai Ihsan bin Dahlan (1901-1952) lahir di Jampes, Kediri. Dia masih keturunan Raden Rahmatullah (dari Surabaya) melalui jalur nasab pihak perempuan, yaitu Nyai Isti’anah. Pertanyaannya, mengapa membaca sosok Kiai Ihsan ini atau membaca buku ini sangat menarik? Tidak lain karena intelektualitas paripurna Kiai Ihsan yang ditopang ketangguhan dan pengalaman-pengalaman yang unik dalam pergulatan spiritualnya.

Jadi, dengan kemakrifatan dan ketinggian ilmunya, Kiai Ihsan (begitu sapaan akrab dalam buku ini) mampu memadukan dirinya dengan pencipta dan hubungannya dengan sesama. Melalui jalan asketisnya, dia mampu menembus jalan wushul kehidupan akhirat, ditambah sosoknya yang yang humoris, kreatif, dan ber-saharul lail (nyangkruk) dengan kopi dan rokok, sehingga begitu dekat dengan alam sekitarnya, terutama dengan santrinya.

Sebagai bukti kreativitas Kiai Ihsan, dia banyak melahirkan cakrawala-cakrawala pemikirannya dalam bentuk karya tulisan. Di antaranya yang sempat terlacak adalah kitab Sirojuth Tholibin (Pelita Para Pencari), Irsyadul Ikhwan; fi bayani hukmi qahwati wad Dukhan (Sebuah Risalah Tentang Kopi dan Rokok), Tashribul Ibarat (Kitab Falak Syarah Natijatul Miqat-nya Kiai Dahlan, Semarang), dan Kitab Manahijul Imdad (syarah Irsyadul Ibad-nya Kiai Zainuddin dari India-Selatan).

Pada tingkatan sastra, Kiai Ihsan telah menunjukkan betapa kuatnya dia dalam cabang yang satu ini. Hal itu diketahui dari karyanya berjudul Irsyadul Ikhwan; fi bayani Qahwati wad Dukhan, sebuah syair-syair yang indah yang memuat tentang kopi dan rokok.

Dalam hal politik praktis, Kiai Ihsan bisa dijadikan parameter. Sebab, sebagai sosok yang mempunyai peran luas dalam sosial kemasyarakatan, dia paham betul dengan high-politics (strategi politik tingkat tinggi) sehingga tidak lantas menjual harga diri pesantren. Hal itu tercermin dari sikapnya pada masa-masa penjajahan, revolusi fisik dan bahkan dengan partai, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu.

Harus diakui, daya pikat politik telah mengubah pandangan hidup banyak kiai dalam memandang ragam pengabdian kepada masyarakat. Meski jika kembali mempertimbangkan faktor semangat zaman dan motivasi, tentu kita bisa memakluminya. Sebab, di zaman sekarang, siapakah yang mau benar-benar senekat Jalaluddin As-Suyuthi yang mengasingkan diri dari khalayak ramai untuk benar-benar menyibukkan diri hanya untuk menulis sehingga menghasilkan lebih 600-an karya dari berbagai disiplin ilmu.

Kembali kepada term buku ini, Murtadho Hadi, penulis buku ini, juga mengupas pemikiran Kiai Ihsan dalam bidang tasawuf sebagaimana yang tertera dalam karya monumentalnya, Sirajuth Thalibin, baik dari narasi besarnya yang merujuk pada kitab Minhajul 'Abidin-nya al-Ghazali atau nilai-nilai sufistik yang terkandung di dalamnya.

Menurut Kiai Ihsan, terdapat tujuh upaya berat/jalan terjal (aqabah) untuk mencapai wushul kepada Rabbul Jalil, yaitu ‘aqabtul ilmi (jalan terjal di dalam ilmu), ‘aqabatut taubah (jalan terjal di dalam tobat), ‘aqabatul awa’iq (antisipasi rintangan dan penghalang), ‘aqabatul ‘awarih (upaya menghadapi persoalan-persoalan yang sifatnya duniawi), ‘aqabatul bawa’its (upaya membangkitkan kerinduan yang mendalam kepada Sang Khaliq), ‘aqabatul qawadhih (upaya untuk mencapai kebersihan jiwa dan mencapai maqam kemurnian), dan ‘aqabatul hamdi was syukri (upaya untuk mencapai maqam syukur yang sebenarnya).

Beberapa isi pokok dalam buku “Jejak Spiritual Kiai Jampes” ini, memang sedikit banyak mengikuti apa yang pernah digeluti para sufi Islam yang lain. Seperti Walisongo, di mana ajaran Islam merupakan sebuah gerakan, pengetahuan, dan sikap yang harus diejawantahkan dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai sifat keberagaman hanif, toleran, dan damai.

Tak pelak lagi, buku ini penting dibaca kembali siapa pun yang ingin menghayati semangat kaum sufi atau nilai-nilai dasar Islam, khususnya para santri di pesantren. Dan bisa dikatakan, buku ini juga termasuk bagian dari “intisari” ajaran Islam yang diyakini sebagai fitrah, yaitu proses perjalanan panjang seorang sufi untuk mencapai Rabb-nya. Seperti semangat yang sering dijalani penganut agama-agama lain.

Hanya, buku ini memiliki kelemahan tersendiri, seperti yang diakui penulis bahwa buku ini lahir dari perbincangan santai dengan para sarkub (sarjana kuburan) di pojok-pojok warung kopi yang ada di sekitar kuburan yang pernah penulis ziarahi, sehingga lebih banyak mengandalkan ingatan, terutama menyangkut nama-nama dan judul-judul kitab. Jadi, bisa dikatakan judul buku ini tidak bisa merepresentasikan isi buku.

Namun, yang demikian itu tetap merupakan upaya yang patut dihargai dan diapresiasi bersama, bahwa kehadiran buku setebal 76 halaman ini bisa menjadi santapan alternatif mengingat kembali dimensi terpenting pergulatan spiritual hamba mencapai tingkatan insan kamil. Sebab, uraian-uraian sufistik dalam buku ini cukup memberi inspirasi dan pencerahan sekaligus menyimpan hikmah yang cukup mendalam.

Peresensi adalah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=12521

Wednesday, October 27, 2010

NU dan Tantangan Menjelang Satu Abad

12/05/2008

Judul: NU dan Neoliberalisme, Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad
Penulis: Nur Khalik Ridwan
Editor: F. Mustafid
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2008
Tebal: xx+204 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti

Nahdlatul ulama (NU), adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344 H) oleh sejumlah kiai (ulama) di Surabaya, Jawa Timur. Organisasi ini sudah memberikan kontribusi dan perubahan yang besar pada negara, khususnya umat Islam di seluruh pelosok Tanah Air. Promotor berdirinya, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Ridwan, KH Nawawi, KH Doromuntaha (menantu KH Cholil Bangkalan). Pendiri utamanya adalah, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari.

Menjelang berdirinya pada 1926, para ulama NU membentuk Komite Hijaz, yang hasilnya benar-benar mampu mewarnai dunia Islam, khususnya bagi kalangan pesantren. NU didirikan bertujuan melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan menganut Imam Madzhab yang empat, di antaranya, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hambali.

Sampai saat ini, NU telah melewati beberapa fase. Fase ini dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, NU didirikan sampai NU menjadi partai poltik. Fase kedua, NU keluar dari Majelis Syura Muslim Indonesia (Masyumi) dan menjadi partai politik sampai keluar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fase ketiga, NU menjadi gerakan sosial-keagamaan dengan sebutan kembali ke Khittah NU 1926.

Buku ini menjelaskan beberapa persoalan yang terjadi di kalangan NU, mulai masalah sosial, politik, khususnya dalam masalah ekonomi warga NU. Buku ini juga memaparkan berbagai rintangan dan hambatan warga NU menjelang satu abad. Kini, NU telah berumur 82 tahun. Umur NU akan menjadi satu abad, tepatnya pada 31 Januari 2026.

Menjelang satu abad pada 2026 nanti, tentunya banyak hal yang harus dipersiapkan bagi organisasi terbesar ini. NU kini mempunyai banyak pekerjaan dan garapan yang harus diselesaika. Sehinga nama NU tidak sekedar formalitas, tetapi benar-benar organisasi sosial-keagamaan yang berperan sebagai pengayom umat dan kalangan pesanten. Namun, kenyataannya, NU saat ini sepertinya sudah meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Khittah 1926. NU selalu ditarik pada ranah politik praktis. Maka, tidak salah jika NU selalu mendapat kritikan baik dari kalangan luar maupun dari warganya sendiri. NU saat ini sudah tidak lagi mengurus umat, melainkan selalu dibuat mainan para elit-elitnya, untuk kepentingan pribadi.

Selain itu, kritik-kritik yang muncul dari banyak kalangan muda yang tidak puas dengan kelambanan NU dalam merespon kondisi-kondisi sosial selama ini. Akibatnya, ketidakpuasan itu, kalangan muda membentuk organisasi non-pemerintah (ornop). Munculnya ornop tentu saja juga merupakan bagian dari gelombang besar masyarakat sipil yang muncul sejak 1980-an dan juga hasil pencerahan yang dilakukan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Kritik-kritik itu juga muncul berkaitan dengan pentingnya NU memahami masalah-masalah global dan nasional yang kompleks. Kalangan muda sering mempertanyakan kualitas gerakan sosial-keagamaan NU yang dianggap berhenti di tingkat formal saja. Sementara, di tingkat praksis, dalam gerakan sosial, kualitasnya masih jauh apa yang diharapkan warga NU (hal.32).

Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, NU memasuki dunia baru. Sejak berdirinya sampai menjadi partai politik, akhirnya NU kembali ke jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Peristiwa itu dinamakan, kembali ke khittah. NU sudah lepas dan menjaga jarak dari politik praktis dan kembali ke format awal, yakni sebagai pengayom umat, mengurus dakwah, pendidikan dan pondok pesantren. Inilah salah satu tugas yang harus diperjuangkan NU ke depan. Perjuangan NU harus lebih banyak difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, dakwah, khususnya peningkatan ekonomi warganya.

Ada dua tantangan besar yang harus dihadapi NU menjelang satu abad nanti. Pertama, globalisasi dan neoliberalisme. Globalisasi dan neoliberalisme ini adalah ideologi lanjutan dari kapitalisme yang saat ini diadopsi sebagian besar negara-negara berkembang dan telah dipraktikkan negara-negara maju.

Kedua, munculnya kelompok-kelompok Islam yang berjenis lain dan tidak sealiran dengan NU, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Jama’ah Islamiyah. Mereka sepertinya mau merubah amaliah yang telah mentradisi di kalangan NU pesantren.

Sungguh menarik buku ini dijadikan bahan bacaan dan referensi bagi kalangan pesantren dan warga NU pada umumnya. Penulisnya mampu menjelaskan kondisi sosial warga NU, dari masalah politik hingga kondisi sosial-ekonominya.

Presensi adalah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=12612

Tuesday, October 26, 2010

Memproklamirkan ‘Ahlussunnah wal Bidah Hasanah’

26/05/2008

Judul: Ahlussunnah wal Bidah Hasanah
Penulis: Tim Jurnal Kalimah
Penerbit: Lesbumi Yogyakarta
Cetakan: Mei 2008
Tebal: 169 halaman
Peresensi: A Khoirul Anam


Kalangan Nahdliyin (warga organisasi Nahdlatul Ulama/NU), juga para kiai dan santri di pondok pesantren sering dihadapkan dengan gugatan kelompok yang menamakan diri ‘kelompok pemurnian Islam’ atau ‘kelompok modernis’. Mereka yang muncul belakangan ini ‘berteriak-teriak’ mengharamkan alias mencap sesat beberapa ritual peribadatan (ubudiyah) yang sudah lama dijalankan semenjak Islam pertama kali berkembang di Nusantara, seperti tahlilan, ziarah kubur, selamatan, selawat Nabi, perayaan Maulid Nabi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Ada satu senjata andalan yang sering mereka todongkan yakni bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan: “Kullu bid’atin dholalah, wa kullu dhalalatin fin nar”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: semua bid’ah atau perkara baru dalam beribadah itu adalah sesat dan semua kesesatan itu adanya di neraka.

Terkadang gugatan itu ditanggapi ditanggapi sambil lalu, terkadang malah didiamkan saja. Namun terkadang juga ditanggapi serius seperti ini: Bahwa kata ‘kullu’ dalam hadits Nabi di atas menurut kaidah kebahasaan tidak harus berarti ‘semua’ tetapi juga berarti ‘sebagian’. Kemudian dikutip juga kaidah Imam Syafi’i bahwa bid’ah itu ada dua, adakalanya ‘bid’ah hasanah’, adakalanya ‘bid’ah dhalalah’, bisa jadi baik, juga bisa saja sesat.

Kadang gugatan ditanggapi dengan sedikit rumit begini: ‘Bid’ah’ itu kata benda, tentu mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits Nabi di atas yang dalam ilmu balaghah dikatakan, “hadzfus sifat alal maushuf”, membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya dituliskan kata ’bid’ah’ maka terjadi dua kemungkinan: yang baik dan yang sesat. Dan seterusnya.

Namun kalangan penggugat tidak peduli dengan ilmu tata bahasa Arab yang rumit sebagai prasyarat memahami dalil hadits. ”Pokoknya yang bid’ah itu sesat, titik!” Dan itu terus bergulir sampai sekarang. Klaim bid’ah sesat betapa pun tetap menjadi tambahan pekerjaan bagi Nahdliyyin yang tidak mengenakkan, tidak berguna sama sekali.

Nah, ada selentingan yang menarik dari para penggiat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), lembaga kesenian NU di Yogyakarta. Dalam jurnal ‘Kalimah: Jalinan Kreatif Agama dan Budaya’ edisi pertama ini mereka mengangkat istilah ‘ahlussunnah wal bid’atil hasanah’. Seakan mereka memproklamirkan bahwa ‘kami ini memang kelompok ahli bid’ah hasanah’.

Selama ini klaim warga Nahdliyyin sebagai 'ahlussunnah wal Jamaah' (Aswaja) atau pengikut setia Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya dianggap kurang menggigit; kurang membidik ke sasaran, karena kalangan ‘pemurnian Islam’ juga bisa mengkalim diri sebagai Aswaja. Sama saja ketika kalangan Nahdliyin menyebut diri sebagai pengikut ulama salaf, mereka juga sering menamakan diri sebagai kelompok salafi.

Maka proklamirkan saja kita sebagai ahli bid’ah hasanah, sekedar mengakhiri polemik, karena terma ’bid’ah’ lah yang selama ini terus menjadi andalan mereka. Lesbumi Yogyakarta sepertinya sedang mengkritik kalangan Nahdliyyin yang sering berlaku defensif dan bersibuk melayani gugatan kalangan ’pemurnian Islam’. Sekali lagi, perdebatan tentang bid’ah itu sama sekali tida berguna.

Memang, masih ada semacam ketakutan yang dibawa-bawa dari Tanah Arab sana, dimulai pada permulaan abad-20 saat berkembangnya faham Wahabi. Mereka sangat ketakutan dengan terma ’syirik’ atau menyekutukan Allah SWT sehingga apapun bentuk ibadah yang tidak diajarkan, atau segala bentuk laku hidup yang tidak pernah dicontohkan langsung oleh Nabi jangan dilakukan! Makam para sahabat Nabi yang bernilai historis diratakan agar tidak ada yang meminta-minta kepada arwah. Lalu, bermadzab atau mengikuti pendapat ulama dilarang, karena semua hal harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Untung saja waktu itu KH Hasyim Asy’ary, KH Wahab Chasbullah dan para kiai yang tergabung dalam ’Komite Hejaz’ (yang merupakan cikal bakal organisasi NU) segera mengirimkan surat kawat dan memohon dengan hormat kepada Raja Ibnu Saud agar menghargai perbedaan pandangan di kalangan umat Islam seluruh dunia, dan alhamdulillah dikabulkan.

Demikianlah. Namun ketakutan untuk berlaku ’syirik’ itu terus menjadi-jadi , apalagi ketika dicampuraduk dengan kepentingan politik. Bahwa semakin banyak pilihan dalam beribadah, semakin banyak pendapat ulama maka semakin sedikit kesempatan penguasa Arab untuk berlaku otoriter.

Tidak untungnya ketakutan itu terus menular ke Nusantara. Tidak untungnya lagi, kalangan anti bid’ah ini berpretensi menghapuskan apapun yang kelaku dalam tradisi masyarakat setempat (meskipun secara diam-diam mereka juga sering mengamalkan bid’ah itu). Oleh kalangan ini, Islam secara sadar kemudian selalu diidentikkan dengan segala sesuatu yang berbau Arab.

Tidak! Islam tidak bersifat lokal. Islam bukan hanya untuk orang Arab saja. Islam adalah rahmatan lil alamin, untuk umat sedunia.

Dengan memproklamirkan terma ‘ahlus sunnah wal bid’ah hasanah’ dalam jurnal Kalimah sepertinya para penggiat Lesbumi Yogyakarta ingin menyelesaikan perdebatan dengan gaya menantang, mengatakan bahwa "kami inilah pelaku bid’ah hasanah."

Jurnal Kalimah edisi ini semakin lebih bermanfaat dengan menghadirkan beberapa tulisan penting terkait terma tersebut, tentang keislaman di Nusantara. Tulisan budayawan Agus Sunyoto mengkaji proses pengembangan nilai-nilai keislaman melalui budaya Nusantara. K Muhaimin ingin “Menemukan Ruas Sambung Agama dan Budaya Lokal." M Jadul Maula membincang soal Islam dan tranformasi budaya lokal, sekedar meyakinkan bahwa para ulama Nusantara adalah benar-benar waratsatul anbiya, pewaris para Nabi. Anis Masduki menjelaskan Aswaja Nusantara sebagai model Aswaja yang benar-benar ‘hidup’ di tengah-tengah tradisi dan problematika umat Islam di Nusantara.

Para ahli bid’ah hasanah ini juga tidak tanggung-tanggung melakukan riset mengenai produk-produk bid’ah yang telah berkembang di Nusantara seperti hadrah, tradisi rumatan, tradisi alalabang, kenduren, dan konversi pewayangan. Ada juga biografi singkat mengenai sosok seorang ahli bid’ah hasanah di Nusantara, KH Soleh Darat.

Di awal perbincangan Lesbumi Yogyakarta mengingatkan kembali kiprah warga Nahdliyin di bidang kesenian. Para ulama telah berkompromi dengan para seniman. Bukan dengan cara memunculkan ‘seni Islami’ yang sangat sederhana dengan dengan mendata dan memamerkan simbol-simbol keislaman seperti sekarang ini, tetapi menjadikan seni sebagai saranan untuk mengembangkan nilai-nilai keislaman.

Mungkin saja, saat ini bidang kesenian kurang tergarap oleh kalangan Nahdliyin gara-gara terlalu sibuk menganggapi klaim bi’dah itu. Maka sekarang jangan sungkan-sungkan, katakan, ahlussunnah wal bid’atil hasanah. Kami ini adalah ahli bid’ah yang baik. Ini bukanlah ide, atau ajaran yang perlu dihafal diperdalam lalu dipaktekkan, tapi sebuah sikap dalam menghadapi berbagai persoalan dan gugatan yang tidak penting.

Peresensi adalah aktivis NU Online

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=12771

Monday, October 25, 2010

Faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA

Di antara enam agama besar di dunia, Islam tergolong agama dakwah. Agama dakwah yang dimaksud adalah agama yang di dalamnya usaha menyebarluaskan kebenaran dan mengajak orang- orang yang belum mempercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh pendirinya atau oleh para penggantinya. Semangat memperjuangkan kebenaran itulah yang tak kunjung padam dari jiwa para penganutnya sehingga kebenaran itu terwujud dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan. Semangat memperjuangkan kebenaran inilah yang mendorong umat Islam untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk di tiap negeri yang mereka datangi, dan ini merupakan kewajiban agama bagi mereka yang disebut da’i atau muballigh.

Dengan semangat dakwah seperti itulah, pada abad ke-9 Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad mengirimkan delegasi dakwah yang terdiri dari orangorang Arab yang berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan bermadzhab Syafi’i ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042 berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai dan pada tahun 1025 berdiri Kerajaan Islam Aceh. Al-Malikus Shaleh merupakan kerajaan yang menganut faham Aswaja dan menganut madzhab Syafi’i. Bahkan menurut catatan sejarah, pada tahun 840 telah berdiri
kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Kerajaan Perlak. Dapat dipastikan bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia sebelum tahun berdirinya kerajaan itu, karena ketika kerajaan itu berdiri sebagian besar penduduknya telah cukup lama memeluk agama Islam. Sementara Islam masuk ke Pulau Jawa diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Pada saat itu, dengan dukungan Walisongo, Raden Patah mendirikan Kerajaan Demak. Berkat dakwah yang dilakukan Walisongo, Islam berkembang pesat sehingga dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Menyusul kemudian berdiri beberapa kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pada abad ke-16, Islam telah menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Perkembangan Islam yang berhaluan Aswaja bertambah pesat ketika generasi penerus Walisongo dan Islam lainnya mengembangkan strategi dan pendekatan penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran dan pendalaman agama Islam secara Iebih terarah. Dari pesantren inilah lahir lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman agama yang relatif utuh dan lurus.

Seiring dengan dibukanya Terusan Suez tahun 1869, terjadi kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dan dunia Islam Iainnya, termasuk negaranegara Arab. Tidak saja melalui jamaah haji, tetapi juga melalui sejumlah pelajar Indonesia di negara-negara Arab, sehingga perkembangan agama dan ilmu pengetahuan Islam makin pesat.Seiring dengan perkembangan pengetahuan Islam melalui kontak langsung tersebut, telah masuk faham-faham Islam Iainnya yang bertentangan dengan faham Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia.

Oleh karena itu, untuk membendung arus faham-faham lain tersebut dan untuk membentengi mayoritas umat Islam Indonesia, para ulama Aswaja wajib bangkit secara proaktif mendirikan jam’iyyah (organisasi) yang di kemudian hari dikenal dengan Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama. Nama yang dipilih adalah kebangkitan, bukan sekadar perkumpulan atau perhimpunan. Yang bangkit adalah para ulama yang menjadi panutan umat. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1334 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.

Nahdlatul Ulama adalah jam’iyyah diniyyah Islamiyyah berdasarkan faham Aswaja dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Nahdlatul Ulama bertujuan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Islam Aswaja dan menganut salah satu madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Setiap warga negara Indonesia yang menganut faham ini hendaknya memahami dan mendalami faham ini. Untuk itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyusun buku yang terdiri dari muqaddimah, empat bab isi, dan khatimah.

Bab I berisi pengertian dan sejarah lahir Aswaja. Melalui bab ini pembaca dapat memahami definisi atau apa yang dimaksud dengan Aswaja, baik yang bersifat ishtilahi maupun yang bersifat substantif. Juga memahami dalil-dalil yang dipergunakan Aswaja sebagai faham yang menyelamatkan umat Islam dari neraka. Di samping itu, pembaca dapat mengetahui ruang Iingkup Aswaja yang secara garis besar meliputi aspek akidah, fiqih dan akhlak. Selain itu juga latar belakang lahirnya Aswaja yang secara terminologis lahir seiring dengan munculnya madzhab kalam Al-Asy’ari dan Al- Maturidi, yang tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dan periode Ali ibn Abi Thalib. Akhirnya melalui bab ini pembaca dapat memahami pola (manhaj) berpikir Aswaja.

Bab II mengenal faham Aswaja yang meliputi akidah, syari’ah, tashawuf dan akhlak. Melalui bab ini pembaca dapat memahami faham Aswaja mencakup pengertian iman, rukun iman, ciri khas akidah Aswaja dan khalifah sesudah Rasulullah SAW menurut Aswaja. Demikian pula pembaca dapat mengetahui sumber-sumber hukum Islam menurut Aswaja, disertai alasan-alasan dan dalil-dalilnya. Di samping itu, pembaca dapat mengetahui faham Aswaja tentang sumber-sumber keteladanan bagi umat Islam dalam melaksanakan berbagi kehidupan, termasuk tashawuf dan akhlak.

Bab III mengenal NU dan Aswaja. Melalui bab ini pembaca dapat mengetahui penyebaran Islam di Indonesia, yang diperkirakan pada abad ke-7 dan diikuti berdirinya pusat-pusat kekuasaan dalam bentuk kerajaan Islam di berbagai wilayah Indonesia, sehingga agama Islam dianut mayoritas penduduk Indonesia. Umat Islam di Indonesia pada umumnya menganut madzhab Aswaja. Akhirnya para ulama bangkit mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama untuk membentengi warga Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari arus faham lain yang bententangan dengan Aswaja. Kemudian pembaca juga dapat memahami Aswaja yang dianut oleh jam’iyyah NU.

Bab IV mengenal aktualisasi Aswaja yang meliputi aktualisasi wawasan Aswaja, aktualisasi materi Aswaja, perspektif sosial politik, perspektif hak asasi manusia, perspektif ekonomi, perspektif budaya, perspektif pertahanan dan keamanan, perspektif pendidikan, perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, perspektif sumber daya manusia, dan perspektif lingkungan hidup.

Melalui bab ini pembaca dapat mengkaji bentuk-bentuk pemerintahan yang sesuai dengan Aswaja. Tentu saja tipologi masa Rasulullah SAW dan Khulafa’ur Rasyidin merupakan acuan utama dalam bentuk politik dan bernegara. Yang direalisasikan dalam suatu negara adalah prinsip-prinsip al-‘adalah (keadilan), al-hurriyah (kebebasan), al-musawah (persamaan), dan asy-syura (musyawarah). Mengenai hak asasi manusia, pembaca bisa mengkaji ushulul khamsah (lima prinsip pokok) tentang jaminan agama, jiwa, akal, harta, kehormatan dan keturunan. Di samping itu, pembaca dapat mengkaji prinsip perekonomian Aswaja, religiusitas seni budaya, seni sebagai sarana pendidikan dan dakwah, pandangan ulama terhadap seni budaya dan seni sebagai sarana perjuangan.

Sumber : http://www.lakpesdam.or.id

http://aswaja-nu.blogspot.com/2009/07/faham-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html

Sunday, October 24, 2010

Ajaran Keteladanan KH Badri Masduqi

02/06/2008

Judul Buku: KH Badri Masduqi
Penulis: Saifullah
Penerbit: Pustaka Pesantren-LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, April 2008
Tebal: vi +290 halaman.
Peresensi: Ahmad Hasan MS

Almarhum KH Badri Masduqi merupakan ulama kharismatik yang memiliki jangkauan luas dari berbagai bidang kehidupan. Wajar bila KH Tauhidullah Badri, dalam kata pengantar buku ini, mengatakan bahwa KH Badri Masduqi adalah sosok multidimensi yang memiliki beragam aktivitas mulai dari pengasuh Pondok Badridduja, Dosen Ma’had Aly serta pemimpin Thariqah Tijaniyah di Indonesia. Semasa hidupnya Almarhum Masduqi rajin mengisi di berbagai forum pengajian, seminar, bahtsul masail hingga menerima tamu dari berbagai masyarakat yang berkunjung ke rumahnya.

Dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1942, KH Badri Masduqi sejak kecil terlihat tanda-tanda keistimewaanya. Sejak kecil, ia sudah mulai belajar membaca Al-Quran dengan orang tuanya, Nyai Muyassaroh sekaligus memperoleh didikan yang baik dari kakeknya, Miftahul Arifin yang tinggal di daerah Pamekasan, Madura. Pendidikan formalnya diawali dari Sekolah Rakyat ( SR ) meski hanya sampai kelas IV pada 1950.

Pendidikan informalnya dilakukan melalui pengembaraannya ke berbagai pesantren di Tanah Air. Beberapa pesantren yang pernah ia jelajahi adalah pesantren Zainul Hasan, Probolinggo (1950), Pesantren Bata-Bata, Pamekasan, (1956), Pesantren Sidogiri, Pasuruan ( 1959 ), dan terakhir di Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo (1965).

Di pesantren Bata-Bata, KH Badri Masduqi sering berpuasa dan hapal Alfiyah Ibnu Malik dalam waktu cukup singkat. Tidak heran bila pujian banyak datang kepadanya. Semasa mudanya, ia dikenal sebagai pemuda yang tangguh. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Cabang Gerakan Pemuda Anshor, Kraksaan, Probolinggo. Saat terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965, ia juga menjadi pelopor anak muda untuk menumpas pemberontakan PKI.

Sebagai seorang kiai, ia memiliki komitmen tinggi terhadap pengembangan pesantren. Tidak heran bila aktivitas sehari-harinya ia gunakan untuk mengajar, mendidik di pesantren Badridduja, Kraksaan, Probolinggo. Pada 1975-1977, ia mulai berkiprah di Nahdlatul Ulama (NU). Lalu ditunjuk sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang NU Kraksaan. Selain berjuang di organisasi, ia juga aktif di jajaran Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. Pada 1982, misalnya, ia dikenal sebagai motor penggerak tokoh NU: KH Mahrus Ali (Lirboyo, Kediri), KH Kholil Ag (Bangkalan, Madura), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kh Ahmad Siddiq dan sebagainya.

KH Masduqi juga dikenal sebagai tokoh Muqaddam Tarekat Tijaniyah. Setiap kali tampil di berbagai forum diskusi ilmiah dan seminar, ia seringkali mewacanakan tentang Tarekat Tijaniyah. Bukan hanya itu, berbagai kaset rekaman pun ia lakukan dalam rangka menyebarkan ajaran tarekat Tijaniyah. Meski demikian, ia tidak lantas bertindak konservatif. Ia dikenal sebagai tokoh moderat yang memandang masalah melalui jangkauan pemikiran yang luas. Jelasnya, ia berdiri di atas paham Ahlussunnah wal Jamaah yang menganut setia ajaran Nabi Muhammad beserta sahabatnya.

Ia merupakan sosok alim yang menguasai segudang ilmu pengetahuan; baik pengetahuan tentang agama, penguasaan kitab kuning, penguasaan masalah-masalah hukum, maupun penguasaan bidang pengetahuan umum seperti ketajaman analisa sosial-politiknya. Di hadapan para kiai lainnya, ia tidak hanya dikenal sebagai ulama yang menguasai model pendidikan dan pengajaran kitab-kitab klasik (salaf), melainkan juga sebagai ulama yang konsentrasi terhadap model pendidikan pesantren modern sebagaimana yang dilakukan terhadap pesantren yang didirikannya, Badridduja.

Pengorbanan yang dilakukannya melalui Pesantren Badridduja amatlah besar bagi umat, bangsa dan negara. Itulah sebabnya, jasa-jasa perjuangannya yang telah dirintis selayaknya dilestarikan dan menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia agar senantiasa meneladani kiprah perjuangannya yang selalu memperjuangkan kesejahteraan umat.

Peresensi adalah Santri pada Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=12852

Sejarah dan Gerakan Berdirinya NU

09/06/2008

Judul Buku: 99 Kiai Kharismatik Indonesia; Biografi, Perjuangan, Ajaran, dan Doa-doa Utama yang Diwariskan
Penulis: KH A. Aziz Masyhuri
Penerbit: Kutub, Yogyakarta
Cetakan: II, April 2008
Tebal: xvii + 340 halaman
Peresensi: Fikrul Umam MS

KH Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara yang lahir pada Jumat, 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian. Wahid Hasyim adalah salah seorang dari silsilah yang bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Islam Demak.

Sejak kecil, Wahid Hasyim diperkenalkan dengan pengetahuan Islam dan dibebaskan untuk mempelajari pengetahuan umum. Tidak soal baginya bagaimana mendapatkan buku bahan bacaan walaupun kondisi ekonomi tergolong mampu, sehingga Wahid Hasyim tumbuh dan berkembang. Wahid Hasyim kecil memiliki otak yang cerdas, ia sudah pandai membaca Al-Quran dan malah sudah khatam ketika berusia 7 tahun.

Pada April 1934, sepulang dari Mekah, Wahid Hasyim banyak diminta kawan-kawannya agar aktif di perhimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun-tahun itu, di Tanah Air banyak berkembang kaum nasionalis maupun keagamaan. Apa yang terjadi pada pergulatan panjang pemikiran Wahid Hasyim tidak begitu cepat menentukan alur organisasi. Kemungkinan pertama, ia menerima tawaran dan masuk ke dalam salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri.

Selama 4 tahun, Wahid Hasyim menimbang-nimbang berbagai tawaran, akhirnya dipilihlah NU, tepatnya pada 1938, ia menyatakan menerima tawaran untuk aktif di NU. “NU merupakan perhimpunan orang-orang tua yang geraknya lambat, tidak terasa dan tidak revolusioner.” Namun di mata Wahid Hasyim memiliki nilai lebih dibanding perhimpunan atau organisasi lain. Selama lebih satu dasawarsa, NU mengembangkan sayapnya dan baru memiliki 20 cabang dan itu tempatnya berdekatan.

Selama 4 tahun Wahid Hasyim mengembangkan pemikiran kritisnya terhadap eksistensi berbagai perhimpunan atau partai yang ada. Setelah itu, ia memilih NU, karena dinilai lebih memberikan keyakinan kuat bahwa NU akan berpengaruh besar terhadap perkembangan kebangkitan umat Islam di Indonesia. Buku yang sangat menarik memberikan beragam informasi tentang tokoh-tokoh NU, di antaranya; KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Musthofa, KH Raden Asnawi Kudus, KH Ali Maksum, dan lain-lain.

Pada 20 Desember 1949, Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Hatta. Dalam kabinet pertama yang dibentuk presiden Soekarno, Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Menteri Negara. Dalam Kabinet Sjahrir pada 1946, setelah terjadinya penyerahan kedaulatan dan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) dan dalam Kabinet Hatta, ia menjadi Menteri Agama.

Pada 1952, Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslim Indonesia, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri dari atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Darul Dakwah al-Irsyad. Susunan pengurusnya adalah Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H Sirojuddin Abbas sebagai wakil ketua II.

Kelebihan lain Wahid Hasyim adalah senang menulis. Tulisannya tersebar dalam bentuk pidato-pidato resmi, ceramah-ceramah keagamaan dan artikel-artikel di berbagai media massa. Karya-karya tulisannya antara lain; Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia; Berimanlah dengan Sungguh dan Ingatlah Kesabaran Tuhan; Kebangkitan Dunia Islam; Kedudukan Ulama dalam Masyarakat Islam di Indonesia; dan Islam antara Materialisme dan Mistik.

Meski dikenal sebagai pemimpin nasional, Wahid Hasyim memiliki sikap tawadhu’ kepada para ulama, terutama pada Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari.

Peresensi adalah aktivis Muda NU, tinggal di Yogyakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=12950

Saturday, October 23, 2010

Jawaban Praktis Amaliah Warga NU

14/07/2008

Judul Buku: Hujjah NU Akidah-Amaliah-Tradisi
Penulis: KH Muhyidin Abdusshomad
Editor: Muhammad Faishol, MAg
Penerbit: Khalista Surabaya
Cetakan: I, Juni 2008
Tebal: xii+ 121 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti

KH Muhyidin Abdusshomad adalah sosok kiai, yang dikatatan paling produktif, khususnya di kalangan warga NU. Saat ini ada beberapa karyanya yang sudah banyak beredar di seluruh pelosok Tanah Air. Di antaranya, Fiqh Tradisionalis, Tahlil Dalam Persfektif Al-Quran dan As-Sunnah, Penuntun Qolbu: Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual, Etika Bergaul di Tengah Perubahan (Kajian Kitab Kuning), dan Hujjah NU Akidah Amaliah Tradisi.

Buku yang disebut terakhir ditulisnya sebagai sebuah tinjauan ulang dan jawaban praktis terhadap apa yang terkandung dalam prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) secara baik dan sempurna. Karena saat ini, prinsip dan nilai-nilai yang terkandung dalam Aswaja kadang kala disalahtafsirkan. Belum lagi banyaknya organisasi kemasyarakatan Islam yang semua mengaku berhaluan Aswaja. Padahal, gagasan dan pandangan mereka seringkali menyimpang dari nilai-nilai dan konsep Aswaja sendiri.

Dalam catatan sejarahnya, Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas yang bertujuan melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Aswaja. Arti Aswaja, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, Aswaja adalah orang yang mengikuti dan berpegang teguh kepada Al-Quran, Al-Hadits, Al-Ijma' dan Al-Qiyas. Latar belakang tersebut, paham Aswaja tidak bisa dilepaskan dari kedudukan Hadits sebagai dasar dari setiap diskursus keagamaan yang dilakukannya.

Tetapi, menurut pandangan NU, bukan berarti Aswaja dan "ber-mazhab", kita diharuskan langsung untuk memahami dan menerapkan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadits, tanpa mempertimbangkan bagaimana zaman yang selalu berubah. Bagaimana cara menghukumi sesuatu yang tidak ada dalilnya yang sharih (jelas) di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Dan, masalah-masalah sosial lainnya, yang juga tidak pernah ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits.

Tradisi dan Budaya

Adapun salah satu ciri paling mendasar dari konsep Aswaja adalah, moderat (tawasuth). Konsep ini tidak hanya mampu menjaga para pengikut Aswaja tidak terjerumus pada perilaku keagaamaan yang ekstrim, berdakwah secara destruktif (merusak), melainkan mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan masyarakat secara proporsional.

Dalam kehidupan, tidak bisa dipisahkan dari yang namanya budaya. Karena budaya adalah, kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Menghadapi budaya atau tradisi, yang terkandung dalam ajaran Aswaja telah disebutkan dalam sebuah kaidah "al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadidil al-ashlah", yaitu mempertahankan kebaikan warisan masa lalu, mengambil hal yang baru yang lebih baik.

Dalam buku ini, KH Muhyidin Abdusshomad juga menjelaskan seputar persoalan bid'ah (mengada-ada dalam beribadah). Karena saat ini, banyak ormas Islam yang mengaku pengikut Aswaja tidak paham mana yang dikatakan bid'ah atau sebaliknya. Contoh, terbitnya buku "Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali", karya Ustad Mahrus Ali yang mengaku mantan kiai NU. Padahal, dia tidak pernah tercatat bahkan menjadi anggota NU.

Dengan demikian, ajaran dan nilai-nilai tradisi dalam Aswaja ternyata tidak ada yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam. Meskipun juga, terkadang kelompok lain memandang bahwa selametan atau tingkepan yang kata orang Madura "peret kandung" (seorang wanita tengah mengandung 7 bulan sebagai bid'ah). Nah, tradisi ini, harus disikapi secara proporsional, arif, dan bijaksana, khususnya bagi para pengikut Aswaja. Karena, dalam selametan dan tradisi-tardisi lainnya yang dianggap bid'ah masih ada nilai-nilai baiknya dan mengandung filosofis yang tinggi. Tradisi tersebut tidak harus dihilangkan dan dilarang.

Semoga gagasan dan pandangan KH Muhyidin Abdusshomad dalam buku ini mampu menghadirkan Islam yang toleran, damai, dan menghormati setiap hak manusia. Bukan Islam yang berperilaku seperti "preman berjubah" yang berteriak-teriak "Allahu Akbar" sambil mengacung-acungkan pentungan dan pedang yang tujuannya menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat.

Praktis, buku ini penting untuk dibaca dan dimiliki umat Islam, khususnya warga NU. Karena buku ini menjadi bahan pegangan untuk memantapkan bagaimana warga NU mampu melestarikan dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Aswaja dengan baik dan sempurna.

Peresensi adalah Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=13412

Friday, October 22, 2010

Memaknai Ulang Peran NU

04/08/2008

Judul Buku: Sarung & Demokrasi, dari NU untuk Peradaban ke-Indonesia-an
Penulis: Abu Dzarrin Al-Hamidy, dkk
Pengantar: KH Miftachul Akhyar
Penerbit: Khalista
Cetakan: Juli 2008
Tebal: xiv+288hlm; 14,5 x 21cm
Perensi: Ahmad Shiddiq Rokib

Peran Nahdlatul Ulama (NU) bagi perjalanan peradaban ke-Indonesia-an tidak bisa dipandang sebelah mata. Sikap akomodatif terhadap kebudayaan lebih diletakkan dalam rangka menunjukkan bahwa agama (Islam) selalu memberi peluang bagi tumbuh kembangnya kebudayaan yang memang menjadi “naluri” masing-masing komunitas. Itu sebabnya, NU selalu merawat kebudayaan (lokal) sebagai alat untuk mengembangkan tradisi keagamaan yang berpahamkan Ahlussunnah wal Jamaah. Wajah agama (Islam) yang ditawarkan NU adalah agama yang berwajahkan ke-Indonesia-an. Sikap akomodatif ini tidaklah diambil berdasar kalkulasi opurtunistik, melainkan eksternalisasi paradigma keagamaan yang terbuka dan tidak memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang hitam-putih.

Peradaban ke-Indonesia-an yang kemudian hendak dibentuk NU adalah peradaban kebangsaan kebebasan yang dilandasi moral keagaman (Islam). Nilai-nilai Islam memberikan inspirasi sekaligus menggerakkan kehidupan kebangsaan indonesia, meski hal tersebut tidak diletakkan untuk mendirikan negara agama, melainkan negara beragama. NU sadar bahwa realitas empirik kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang plural, yakni yang dibangun dengan mensinergikan secara adil suku bangsa yang berbeda dan agama yang berlainan, bahkan paham agama yang yang lain pula, baik ekonomi, hukum, dan sebagainya.

Buku hasil lomba karya tulis ilmiyah (LKTI) yang diselenggarakan Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini banyak menjelaskan NU dan ke-Islam-an, politik, pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan. Ada yang menarik untuk direnungkan dan diaplikasikan dalam mengaktualisasikan peranan NU sebagai organisasai sosial keagamaaan, sehingga tidak hanya menjadi macan podium, tapi juga bermanfaat bagi warganya, terutama yang berada di pinggiran dan terjepit kapitalisme dan neokolonialisasi.

Tulisan M. Suhaidi R.B. berjudul NU dan Transformasi Keaswajaan Revitalisasi Gerakan Pembebasan Sosial NU dalam Memberdayakan Umat Secara Kaffah, misal, mencoba menghadirkan sebuah kritik tentang dinamika (politik) NU yang terlalu dominan. Akibat dominanasi politik tersebut, peran serta NU dalam berbagai bidang mengalami pasang surut dan cenderung acuh tak acuh terhadap realitas yang dihadapi umat. Stadi kasus pada mayarakat Madura yang menanam tembakau dan petani garam adalah warga Nahdliyin, selalu mengalami nasib tidak beruntung. Tembakau yang dianggap daun emas dan merupakan penghidupan tersendiri, ternyata tidak seindah namanya. Rata-rata harganya antara 5000-8000 per kilogram. Harga sedemikian murah, sulit kiranya petani tembakau untuk mencicipi hasil manis, sebab modal yang dikeluarkan tak sebanding dengan hasil dan harga tembakau, cenderung dipermainkan pemilik modal. (hal 7)

NU sebagai institusi tempat mengadu berbagai persoalan yang hadapi dan tempat bernaung warganya, menurut Koordinator Forum Studi Agama dan Demokrasi (ForSAD) ini, harus melakukan langkah-langkah amaliah (praksis) yang nyata, dan tidak hanya kata-kata (qaul). Dan menjadikan pendiri NU contoh serta teladan dalam merespons realitas yang dihadapi masyarakat dengan senantiasa merasakan penderitaan warganya. Sehingga prinsip pokok mabadi khairul ummah dan amar ma’ruf nafi munkar, yang betul-betul membumi.

Dalam mempertegas gambaran di atas, sekaligus menjadikan evaluasi ulang terhadap peran NU pada warganya, ada beberapa pilar yang bisa dijadikan komitmen untuk memasyarakatkan dan mempertegas politik kebangsaan NU, seperti yang ditulis Fathor Rahman Jm, dengan judul Revitalisasi Gerakan Politik Kebangsaan NU untuk Pemberdayaan Bangsa. Di antaranya pesantren, semangat politik NU, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Tujjar, Tasywirul Afkar, dan basis ajaran tasawuf NU, bisa menjadi instrumen untuk mewujudkan komitmen dan pembelaan terhadap warganya. Misal, di antara salah satu dari pilar-pilar di atas, diberdayakan atau dijadikan sebagai sumber kekuatan terutama dalam menopang ekonomi dan memperbaiki kehidupan umat.

Pesantren yang merupakan pusat pendidikan tertua di Indonesia dengan keunikan dan kekhasan tersendiri, di dalamnya terdapat interaksi di antara orang-orang, pascakemerdekaaan menjadi pusat pemberdayaan masyarakat secara sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam hal ini, pesantren Sidogiri bisa menjadi cerminan. Dengan memanfaatkan alumni dari berbagi daerah untuk jaringan ekonomi dalam mendirikan kopersai simpan pinjam, BPRS, dan baitul mal wattanwil. Jika semua pesantren yang ada di Indonesia mengikuti langkah Pesantren Sidogiri, maka komunitas NU dan yang berada di berbagai daerah pelosok negeri, bisa jadi masyarakat yang seperti kasus tembakau di Madura di atas, cukup diselesaikan oleh pesantren. Serta tidak dibayangi neokolonialisme lagi. Sedangkan NU sendiri membangun dan memberikan jaringan disertai penambahan modal bagi pesantren dalam mengelola ekonomi kerakyatan atau NU menghidupkan Nahdlatul Tujjar yang digagas KH Wahab Chasbullah dengan Tujuan memperkuat modal pedagang dan pertanian warga NU. Hal ini, sesuai statuten dari perkumpulan NU di Surabaya pada 1930 pasal 3 mengenai usaha-usaha yang mesti dilakukan NU, item f berbunyi: ”Memperhatikan Perekonomian Umat Islam”. (hal 68-75)

Buku setebal 288 halaman ini, sangat penting dibaca akademisi, politisi, peneliti, pemerhati, dan warga nahdiyin, untuk memberikan wawasan baru tentang ke-NU-an dan langkah apa saja yang menjadi pekerjaan rumah NU untuk melangkah lebih maju. Namun, sayang bukan buku utuh yang ditulis satu tim atau satu orang (perorangan), akan tetapi hasil LKTI yang dimungkinkan terdapat tumpang tindihnya gagasan.

Dari gasasan di atas, adalah upaya penyegaran memori dan memberikan motivasi bagi elit NU dari tingkat pengurus besar sampai pengurus ranting untuk selalu berkomitmen dan ikhlas dalam mengerakkan NU sesuai semangat khittah, agar benar-benar membela kepentingan umat secara praksis dan tidak lagi terjebak politik praktis.

Peresensi adalah mantan aktivis Ikatan Pelajar NU Gapura, Sumenep, Jawa Timur, dan saat ini menjadi pengelola Taman Baca Surabaya

Thursday, October 21, 2010

Romantisme Tarekat dan NU dalam Afiliasi Politik

11/08/2008

Judul Buku: Pertemuan antara Tarekat dan NU, Studi Hubungan Tarekat dan NU dalam Konteks Komunikasi Politik (1955-2004)
Penulis: Drs Ja’far Shodiq, MSi
Penerbit: Pustaka Pelajar
Cetakan: Pertama, Juli 2008
Tebal: 222 Halaman
Peresensi: Muhibin A.M.

Membaca gerakan tarekat di Indonesia, maka tidak akan terlepas dari sejarah masuknya Islam di Nusantara. Suatu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim dan merupakan satu-satunya negara yang penduduknya mayoritas muslim di dunia. Secara historis, Islam masuk ke Nusantara dengan jalan damai dan tidak pernah menempuh jalan kekerasan/peperangan. Islam masuk ke Nusantara dibawa para saudagar muslim dari Asia Barat yang mayoritas mereka adalah penganut sufi dan tariqat. Sehingga tidak heran jika saat ini kita banyak menyaksikan sisa-sisa peningalan penyebar Islam Nusantara yang masih berbau tasawuf dan bahkan sangat kental dengan nuansa sufi. Salah satu contoh konkretnya adalah mayoritas umat Islam Indonesia yang menganut Islam tradisionalis yang ajaran-ajarannya lebih banyak bernuansa tasawuf, seperti di pesantren.

Ajaran tarekat yang masuk ke Nusantara hampir bersamaan dengan penyebaran Islam. Karena tokoh-tokoh sufi yang menyebarkan Islam saat itu juga merupakan penganut amalan tarekat yang memang saat itu menjadi ikon umat Islam di seluruh dunia, terutama setelah runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad (Irak) oleh serbuan tetaran Mongol, serta munculnya kekhalifahan Turki Usmani dengan tarekat Bektasi-nya. Dalam perkembangna selanjutnya, ajaran-ajran sufi di Nusantara, umumnya bertahan di pesantren-pesantren yang menjadi pusat pendidikan Islam kultural dan sebagai pusat perkembangan amalan-amalan tarekat.

Sementara, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah wadah aspirasi bagi kelompok Islam tradisionalis atau yang lebih dikenal dengan golongan nahdliyin (warga NU). Gerakan NU lebih banyak bergerak dalam bidang organisasi ke-Islam-an yang terjun dalam lapangan sosial kemasyarakatan dan juga politik. NU merupakan satu-satunya organisasi yang tetap mempertahankan keberadaan mazhab di samping juga tidak menolak adanya modernisme Islam. Keberadaan NU juga untuk mengimbangi gerakan modernis yang menolak mazhab Islam.

Antara tarekat dan NU memiliki jarak yang cukup panjang dalam sejarahnya. Namun, kebanyakan ulama-ulama NU merupakan orang-orang tarekat dan bahkan berguru pada ulama-ulama tarekat. Bahkan, pendiri NU, KH Hasyim Asy’ary, merupakan penganut salah satu tarekat. Sehingga NU dan tarekat bisa dipastikan sebagai sebuah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena hanya NU-lah satu-satunya organisasi yang sampai saat ini setia melindungi keberadaan tarekat dari tuduhan-tuduhan miring kaum modernis.

Salah satu yang menyebabkan berkolaborasinya antara tarekat dan NU adalah adanya persamaan dalam model kepemimpinan mereka yang menggunakan kepemimpinan yang paternalistik dan kharismatik sekaligus. Jika dalam tarekat dikenal sebagai seorang mursyid (guru), maka dalam NU akan dikenal dengan kiai yang banyak berdomisili di pesantren. Dan, terkadang seorang kiai dapat merangkap sebagai seorang mursyid tarekat sekaligus. Kepemimpinan dengan model paternalistik, sekaligus kharismatis ini merupakan model kepemimpinan yang juga ada di kalagan tradisionalis NU. Dalam struktur organisasi NU yang selama ini berjalan bahwa siapa yang paling memiliki kharisma di antara kiai-kiai lainnya, maka dialah yang akan terpilih menjadi pimpinan tertinggi, seperti KH Hasyim Asy’ary yang saat itu merupakan satu-satunya kiai yang paling kharismatis di Jawa, yang tidak hanya di kalangan nahdliyin tapi juga pada golongan modernis, seperti, Muhammadiyah dan Persatuan Islam. (halaman 156)

Bukan tak mungkin karena hanya NU-lah satu-satunya organisasi yang dapat melindungi kaum tarekat, maka kemudian kaum tarekat merupakan salah satu pendukung setia NU. Sampai saat ini, hanya NU-lah yang memiliki undang-undang organisasi yang mengakui keberadaan tarekat yang ada di Indonesia sebagai bagian dari NU. Hal itu dimaksudkan untuk menolak tuduhan-tuduhan miring, bahkan sesat, dari golongan modernis.

Setidaknya, dengan masuknya tarekat ke dalam NU, akan dapat mengurangi tuduhan-tuduhan itu dan sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab NU sebagai sebuah organisasi untuk mengklarifikasi setiap tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada tarekat. Namun, yang perlu kita ketahui bahwa antara NU dan tarekat memiliki perbedaan-perbedaan, di antaranya, jika tarekat merupakan bagian dari NU, namun warga NU tidak mesti menjadi kelompok tarekat, karena banyak sekali warga NU yang enggan masuk dalam jamaah tarekat.

Meski demikian, kalangan nahdliyin dalam setiap amalan ibadahnya kebanyakan menyerupai dengan amalan ibadahnya jamaah tarekat. Jelasnya, antara NU dan tarekat merupakan kaum-kaum sufisme yang setia. Konsep ajaran yang ada di tarekat dan NU keduanya tidak jauh berbeda. Ini merupakan salah satu pengaruh yang paling kentara dalam sisa-sisa penyebaran Islam di Nusantara oleh ulama-ulama sufi.

Buku setebal 222 halaman ini mencoba mengklarifikasi hubungan yang harmonis antara NU dengan tarekat. Dengan model persamaan dalam kepemimpinan yang dimiliki keduanya, sehinga dalam politik perekrutan massa pun dikenal dengan politik kultural dan struktural. Politik kultural karena kedua golongan tradisionalis dengan tarekat ini memiliki persamaan di banyak bidang. Sementara, secara struktural, keduanya kemudian meleburkan diri dalam sebuah organisasi yang dinamakan NU. Model politik kultural dan struktural ini yang digunakan NU untuk menarik massa saat memasuki dunia politik yang meleburkan diri dalam Masyumi hingga saat ini.

Peresensi adalah Peneliti pada Hasyim Asy’ary Institute,Yogyakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=13741

Wednesday, October 20, 2010

Pergolakan Islam dalam Tradisi Jawa

18/08/2008

Judul Buku: Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa
Penulis: Ahmad Khalil, MFilI
Penerbit: UIN-Malang Press
Cetakan I: Mei 2008
Tebal: xv + 344
Peresensi: Abdul Halim Fathani

Salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah keragaman budaya. Dari zaman kerajaan sampai dewasa ini, keragaman itu masih tetap “kokoh”, bahkan terus bertambah. Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan yang ada di dalamnya, misal, budaya Islam Jawa.

Islam di Jawa terlalu banyak terkontaminasi unsur budaya. Bahkan, terlalu banyak yang mengamalkan budaya Jawa yang dianggapnya sebuah ajaran dalam Islam. Agama Islam yang disebarkan Nabi Muhammad adalah Islam sejati. Islam yang asli memancarkan budaya syar'i, yakni bentuk pemahaman dan pengamalan Nabi atas agama yang belum dipengaruhi unsur budaya lokal. Budaya Arab jahiliyah yang menyembah berhala itu oleh Muhammad dinamakan musyrik, sedangkan agama Islam memperkenalkan agama tauhid yang hanya menyembah Tuhan, Allah.

Dalam pandangan Ahmad Noer (2008), Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meski hal ini tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu dibanding yang lain. Bahkan, Gertz seorang antropolog terkenal dunia, sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup lama untuk membaca wajah Islam di Jawa. Dengan sampling masyarakat Islam Mojokuto, Gertz berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya, santri, abangan, dan priyayi.

Keunikan Islam Jawa, merunut pada tesis Gertz (dalam Ahmad Noer, 2008) adalah terletak pada gerak spiritualitas yang dilakukan golongan Abangan. Di akar budaya yang dimiliki golongan ini, kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan, dalam pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik unsur Islam maupun Jawa, terlihat ada rasa saling mengerti.

Selain itu, pengaruh budaya Islam yang berasimilasi dengan budaya Jawa semakin mengukuhkan harmonitas sosial masyarakatnya. Karena Islam dengan pengayaan budayanya akan lebih diterima masyarakat, sehingga akan terbentuk suatu masyarakat yang memiliki jati diri muslim lewat lingkungan dan simbol-simbol edukatif-religius yang dimiliknya.

Adanya kemungkinan akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya lokal Jawa, dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodasi eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat dalam kaidah fikih yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhkamah” (adat adalah syariat yang dapat dijadikan hukum).

Hanya, tidak semua adat/tradisi bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak semua unsur budaya pasti sesuai dengan ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak sesuai diganti atau disesuaikan sebagaimana misi Islam sebagai pembebas manusia dengan semangat tauhid. Dengan semangat tauhid ini, manusia dapat melepaskan diri dari belenggu tahayul, mitologi dan feodalisme, menuju pada peng-esaan terhadap Allah sebagai sang Pencipta. Pesan moral yang terkandung dalam kaidah fikih di atas adalah perlunya bersikap kritis terhadap sebuah tradisi, dan tidak asal mengadopsi. Sikap kritis inilah yang justru menjadi pemicu terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami persinggungan dengan Islam.

Dengan demikian, kedatangan Islam selalu mendatangkan perubahan masyarakat atau pengalihan bentuk (transformasi) sosial menuju ke arah yang lebih baik. Sunan Kalijaga, misalnya, dalam melakukan Islamisasi di Jawa, dia menggunakan pendekatan budaya, yaitu melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan Majapahit. Melalui seni pewayangan, ia berusaha menggunakan unsur-unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon juga bentuk fisik dari alat-alatnya. (Madjid, 1992:550)

Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya Jawa. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama. Islam lahir memang tidak hanya dimaksudkan untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan keakhiratan, tapi mengatur secara menyeluruh semua aspek manusia. Karena itu, umat Islam dituntut untuk selalu berijtihad dan berinovasi demi kejayaan Islam di mana pun dan sampai kapan pun (hlm.11).

Buku ini mengupas-tuntas tentang etika, kebijaksanaan hidup, dan tradisi masyarakat Jawa dalam perspektif tasawuf. Dilengkapi contoh nyata dari budaya Jawa tentang agama dan ritual seblang, yang merupakan hasil penelitian penulis di komunitas Jawa Osing (Banyuwangi, Jawa Timur) membuat buku ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hadirnya buku ini akan membuka “kran” pengetahuan pembaca untuk dapat menjalani hidup secara arif nan bijaksana.

Peresensi adalah Peneliti pada Lingkar Cendekia Kemasyarakatan (Lacak), Malang, Jawa Timur

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=13839

Tuesday, October 19, 2010

Perebutan Wacana di “Republik” NU

25/08/2008

Judul Buku: Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati
Penulis: As’ad Said Ali
Pengantar: Dr KH Sahal Mahfudz
Penerbit: LP3ES, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: (xxiv + 264) halaman
Peresensi: Mashudi Umar


Progresivitas pemikiran kalangan muda dan dinamika yang terjadi di kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU) belakangan ini mungkin tidak terbayangkan oleh KH Ahmad Siddiq, saat pertama merumuskan pentingnya kembali ke Khittah 1926. Saat itu, KH Ahmad Siddiq hanya memimpikan para ulama mendidik santrinya tidak hanya menjadi muqallid a’ma (pengikut buta), tetapi untuk menjadi muqallid lebih baik. Harapan itu sekarang sudah terlampaui, tidak hanaya menjadi muqallid yang lebih baik, tetapi merambah lebih jauh, yaitu mengeksplorasi pendekatan manhaji (metodelogis) dalam meneropong berbagai persoalan kontemporer. Kesan jumud dan antikamajuan yang selama ini melekat pada jamiyyah nahdliyyah, dengan sendirinya terhapus oleh dinamika perkembangan NU selama lebih dari dua dekade belakangan ini.

Perkembangan seperti ini tidak dihasilkan secara mudah. Perjuangan gigih KH Achmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada pertengahan dekade 1980-an dalam meletakkan NU, sebagaimana perjuangan KH Hasyim Asy’ari pada 1926, memberi andil penting dalam mempersiapkan perubahan-perubahan yang terjadi sebelumnya. Doktrin Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi napas organisasi dengan sadar, tidak pernah dikesampingkan, malah diperkukuh dengan memberi visi baru. Dan, muatan baru itu bermula dari gagasan sederhana, bagaimana melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam klasik.

Seperti memahami definisi fikih sebagai, “al-ilmu bi al-ahkam al-syar’iyah al-amaliyah al-muktasab min adillatiha al-tafshiliyyah” (mengetahui hukum syar’i amaliah yang di gali dari petunjuk-petunjuk yang bersifat global), fikih memiliki peluang yang sangat luas untuk berjalan seiring dengan perkembangan zaman.

Karena itu, paradigma fikih sosial harus didasarkan atas keyakinan bahwa fikih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (terseir). Fikih sosial bukan sekedar alat melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam-putih sebagaimana cara pandang fikih yang lazim kita temukan, tetapi fikih sosial juga menjadikan fikih sebagai paradigma pemaknaan sosial.

Gejala kemajuan yang muncul di kalangan muda NU memang semacam konsekuensi yang tidak bisa terhindarkan. Dekade 1980-an adalah awal dari “panen raya” kalangan intelektual di lingkungan NU. Generasi baru yang berpendidikan ganda ini tidak sepenuhnya mampu diserap dalam lingkungan NU yang masih didominasi kalangan ulama tua. Mereka kemudian mencari jalan lain, dengan beraktivitas dalam gerakan mahasiswa, gerakan lembaga swadaya masyarakat dan lainnya. Perkenalan dengan dunia luar pesantren itu ternyata cukup banyak mengubah struktur berpikir kalangan muda NU.

Pergumulan kalangan muda NU dengan gagasan, agenda dan jaringan di luar pesantren dan NU itu, pada akhirnya melahirkan apa yang mereka sebut sebagai gerakan “kultural”. Suatu gerakan yang berbasis pada pengembangan pemikiran dan pemberdayaan masyarakat akar rumput. Dalam kerangka gerakan, agenda aksinya tersusun berdasarkan pemikiran yang lebih konsepsional dalam melakukan pemberdayaan terhadap berbagai masalah mutakhir.

Dalam konteks inilah, lahir gagasan Islam Trasformatif, Islam Liberal, The Wahid Institute, Rahima, Islam Emansipatoris hingga pada gagasan Islam Postradisionalis, dan lain-lain. Dari komunitas kultural itu, lalu muncul tokoh-tokoh muda brilian dan intelektual seperti Abdul Moqsith Ghazali, Rumadi, Ulil Absar Abdallah, Achmad Suaedy, Abdul Mun’im, Zuhairi Misrawi, Imam Aziz, Imdadun Rahmat, Khamami Zada, Marzuki Wahid, dan lain-lain. Ketika gagasan itu semakin matang, dan kritis benturan langsung dengan pemikiran tradisional ulama NU yang sudah terpatri sebelumnya tidak bisa dihindarkan.

Benturan itu terjadi karena sejak awal gerakan kultural merupakan perlawanan “diam-diam” kalangan muda terhadap kecenderungan umum NU saat itu yang sangat tergoda dengan kehidupan politik. Dalam persepsi mereka, Khittah NU 1926 semestinya menghentikan NU dari kecendrungan politik praktis dan mengkonsentrasikan sepenuhnya pada gerakan keagamaan dan kultural.

Namun, impian ini tidak mudah diwujudkan, dunia politik bagaimana pun tetap memesona. Sejumlah aktivis NU mendapat peluang lebih besar pascakeputusan Khittah 1926 dengan berkiprah pada sejumlah partai politik. Sementara, NU sendiri pernah diletakkan Gus Dur sebagai kekuatan semi oposisi pada masa akhir Orde Baru. Puncaknya, pada masa reformasi, Pengurus Besar NU pernah memfasilitasi terbentuknya sebuah partai politik baru dan NU struktural harus bersusah payah membela Gus Dur tatkala menjadi presiden. Jadi, berpolitik memang seakan kegiatan yang tak kenal lelah, baik yang dilakukan “NU politik” maupun—terkadang—NU struktural”, walaupun tentu dengan modes operandi yang berbeda.

Di tengah membuncahnya aktivitas politik itu, institusi NU seringkali menjadi “korban”. Pemilihan kepala daerah, baik Jawa Timur maupun Jawa Tengah, menjadi fakta, semua pihak merebut suara NU. Bahkan, di Jawa Timur, kader NU potensial sama-sama masuk putaran kedua yaitu, Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum (nonaktif) Pengurus Pusat Muslimat NU, Calon Gubernur, dan Saifullah Yusuf, Ketua Umum (nonaktif) Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, sebagai Calon Wakil Gubernur.

Kecenderungan inilah yang dilawan gerakan kultural. Mereka meletakkan gerakannya sebagai alternatif dari gerakan “NU struktural” maupun “NU politik” yang dianggap mudah membelokkan NU menjadi kekuatan politik.
Jadi, sekarang NU pada dasarnya mempunyai tiga aset penting selain para ulama. Pertama, adalah kalangan terpelajar dan intelektual yang sedang giat menekuni pemikiran keagamaan. Dan, bagaimana menjaga aset ini agar tidak terlepas dan tercerai-berai, apalagi direbut kelompok Islam transnasional, harus tetap menjadikan NU sebagai rumah besar mereka. Kedua adalah kalangan pengusaha dan ketiga adalah politisi yang tersebar di berbagai partai.

Kalimat “inside NU” atau “what’s right with NU” sangat tepat untuk mengapresiasi buku ini. Sebuah buku yang sangat komprehensif dalam membedah jeroan NU, terutama pergolakan pemikiran yang telah dan sedang terjadi di kalangan generasi muda NU. Pemetaan yang brilian, cerdas dan lugas telah dihadirkan As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang tidak hanya menyoroti dimensi siyasah (politik), tsaqafah (budaya) dan fiqrah (pemikiran), akan tetapi juga dimensi yang sangat mendesak untuk diprioritaskan, yaitu istishadiyah (perekonomian).

Pergumulan anak muda NU dalam berinteraksi dengan neoliberalisme juga terpapar dengan gamplang dalam buku ini. Juga menghadirkan pengamatan cermat tentang perubahan besar yang terjadi pada jantung tradisi NU sebagai buah perubahan di “dunia dalam” dan “dunia luar” yang membawa sintesis kreatif antara tradisi dan inovasi. Sebuah buku penting tentang peta ke-NU-an, ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.

Peresensi adalah Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=13897

Monday, October 18, 2010

Menjelajahi Sisi Lain Keteladanan Kiai As’ad

19/01/2009

Judul Buku: Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat
Editor: Syamsul A. Hasan
Penerbit: Pustaka Pesantren-LKIS, BP2M PP Salafiyah Syafiiyah
Cetakan: Ketiga, 2008
Tebal: xxxi + 214 halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Di deretan ulama-ulama besar di Indonesia, nama Kiai As’ad tentu bukanlah nama yang asing. Ia merupakan mediator berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) dan salah seorang inspirator penerimaan asas Pancasila di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, yang ia pimpin.

Sebagaimana kita ketahui, sebelum NU berdiri, pada 1924, Kiai Kholil Bangkalan mengutus Kiai As’ad muda sebagai santrinya pergi ke Tebuireng, Jombang, untuk menyampaikan lambang/tanda kepada KH Hasyim Asy’ari. Pertama, Kiai As’ad diutus untuk menyampaikan sebuah tasbih dan ucapan surat Thaha Ayat 17-23 yang menceritakan mukjizat Nabi Musa dan tongkatnya ke Kiai Hasyim. Setahun kemudian, Kiai Kholil mengirim Kiai As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari dengan mengucapkan: Ya Jabbar, Ya Qahhar. Kedua peristiwa ini diyakini sebagai persetujuan Kiai Kholil atas berdirinya NU dan pemilihan KH Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin spritual masyarakat pesantren.

Hingga akhirnya, dalam konteks ke-NU-an, Kiai As’ad merupakan satu-satunya orang yang ditunjuk oleh Muktamar ke-27 NU untuk menyusun ahl al-halli wa al-aqdi yang mempunyai otoritas penuh untuk selanjutnya membentuk struktur Pengurus Besar NU setelah NU kembali ke Khittah 1926, di mana Abdurrahman Wahid menjabat Ketua Umum PBNU pertama kalinya bersanding dengan KH Achmad Siddiq sebagai Rais Am PBNU. Ia juga bersama ulama sepuh, seperti KH Ali Maksum, KH Mahrus Ali, dan KH Achmad Siddiq—dikenal sebagai andalan untuk melerai kemelut yang melilit tubuh NU. Memang, Kiai As’ad tidak pernah menduduki posisi strategis dalam struktural NU, ia hanya menduduki Mustasyar PBNU waktu itu.

Masih segar dalam ingatan warga NU—waktu itu--, ketika mulai ramai perbincangan mengenai konflik MI-NU dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan membaranya api membicarakan soal rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial politik maupun kemasyarakatan, tiba-tiba di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah berkumpul ratusan ulama NU untuk mengadakan Musyawarah Nasional (Munas). Ini terjadi pada 18-21 Desember 1983.

Uniknya, di saat semua ormas Islam banyak menolak asas Pancasila, Munas tersebut justru menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan akidah Islam. Munas juga memutuskan mengembalikan NU ke garis dan landasan perjuangan asalnya, yang kemudian populer dengan sebutan kembali ke Khittah 1926. Semua peran itu tidak lepas dari ide brilian Kiai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU yang kala itu tercabik-cabik oleh banyak kepentingan.

Menurutnya, Pancasila tidak bertentangan sama sekali dengan Islam. Sila pertama adalah ajaran tauhid dan sila-sila berikutnya adalah implementasi dari ajaran Islam. Sementara, sejumlah tokoh Islam yang menolak mengutip argumen normatif atas penolakannya terhadap Pancasila, dengan tegas, Kiai As’ad mengatakan, bahwa secara substantif Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Al Quran dan Al Sunnah. Walaupun tidak eksplisit kata Al Quran dan Al Sunnah tidak tercantum dalam sila-sila Pancasila, namun ajaran-ajaran fundamental Islam telah terpatri di sana.

Sedangkan rumusan Khittah NU 1926 hasil Munas di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah pada 1983, pertama, mengembalikan aktivitas NU dari bidang politik ke bidang asalnya, yakni bidang dakwah, pendidikan dan sosial. Terlalu lama NU berkecimpung di politik praktis (sejak 1955-1982), hingga garapan pokoknya terbengkalai.

Kedua, menyerahkan sepenuhnya kepada warga NU dalam menyalurkan aspirasi politiknya, apakah ke Partai Golkar, PPP maupun Partai Demokrasi Indonesia–waktu itu—yang memang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.

Ketiga, membenahi organisasi, setelah terperangkat dalam kemelut intern sesuai Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta, pada 1981, yang melahirkan dua kubu yaitu Cipete dan Situbondo. Pembenahan bidang ini kemudian terbukti dengan terjadinya rekonsiliasi 10 September 1984 di kediaman KH Hasyim Latif, Sepanjang, Sidoarjo.

Faedah kembalinya NU ke Khittah 1926, di samping rumusan-rumusan di atas, juga mengangkat peran ulama dalam lembaga, seperti Mustasyar dan Syuriyah, sebagai lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU.

Buku ini sudah dalam cetakan edisi ketiga. Dengan kata lain, buku ini tetap menarik untuk dibaca, dijadikan referensi untuk membaca kembali perjuangan Kiai As’ad waktu penjajahan Kolonial Belanda. Buku ini tidak berbicara soal Kiai As’ad sebagai penyelenggara dan pertemuan alim ulama NU atau Munas di pesantrennya, juga tidak berbicara mengenai pembentukan awal berdirinya NU, di mana Kiai As’ad sebagai penyambung komunikasi antara Syaikhona Kiai Kholil Bangkalan dengan Syaikhona Kiai Hasyim Asy’ari.

Penyunting buku ini, Samsul A. Hasan, sebagai santri Pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang juga sangat produktif menulis di beberapa media melakukan penelitian yang mengurai tentang keberanian Kiai As’ad mengumpulkan para bajingan sebagai sisi lain kehidupan nyata Kiai As’ad di samping gambaran di atas, juga mengungkap tentang kepiawaiannya dalam mendekati para tokoh bajingan tengik, yang kemudian dikumpulkan dalam wadah pelopor. Sehingga masyarakat ada yang memanggil Kiai As’ad—waktu itu—sebagai “singa” berjalan.

Peresensi adalah Redaktur Eksekutif Majalah Alfikr terbitan Institut Agama Islam Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15882

Sunday, October 17, 2010

Becermin dari Kiai Blambangan

15/12/2008

Judul Buku: Tiga Kiai Khos
Penulis: Ainur Rofiq Sayyid Ahmad
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, September 2008
Tebal: xiii+154 Halaman
Peresensi: A. Syaiful A'la

Saat konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pecah, muncullah istilah yang dicetuskan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan nama kiai khos dan kiai kampung. Buku yang ditulis Ainur Rofiq Sayyid Ahmad bukan berarti untuk membedakan antara kiai khos dan kiai kampung. Tetapi yang dimaksud penulis adalah untuk menjelaskan kepada publik, mana kiai yang harus menyandang gelar warasatul al-anbiya’ (pewaris nabi)? Karena banyak kiai di beberapa daerah sekarang ini yang tidak mencerminkan sebagai pewaris nabi ketika terjun dalam politik praktis. Yang seharusnya menjadi kiai khos berubah menjadi kiai “kaos”, kiai kampong—seorang kiai yang bersentuhan langsung dengan masyarakat—malah menjadi kiai “kampungan” yang selalu membodohi masyarakatnya.

Disadari atau tidak, kiai atau ulama telah dianggap sebagai pewaris para nabi – sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadits—al ulama waratsatul anbiya’. Dalam konteks ini, kiai berarti mempunyai dua fungsi. Pertama, li khilafati an nubuwwah fi hirasati ad din (pemilik otoritas menegakkan agama). Kedua, wa fi hirasati siyasati ad dunya, yakni membimbing umat manusia. Dalam praktiknya, kemasyarakatan dan kenegaraan, idealnya nilai-nilia moral keulamaan yang mengontrol kehidupan masyarakat dan moral ulama pula yang mengendalikan sebuah kekuasaan.

Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ al Ulumiddin, membagi ulama dalam tiga tingkatan. Yakni al-ulama al dunya (hidup dan perjuangannya yang selalu diukur dengan materi), al ulama ukhrawi (seorang ulama yang mengedapan amalan ritual, penghambaan diri kepada Allah) dan al ulama’u su’un (menghalalkan sesuatu dengan berbagai cara untuk kepentingan dirinya pada akhirnya menjerumuskan dirinya pada jurang ketidakpastian).

Kata “ulama akhirat” yang didefinisikan Imam Al-Ghazali sebenarnya bukanlah pengetian yang cukup sederhana, yakni bukan hanya ulama berkutat pada sebuah ritual mahdah, pengahambaan diri kepada Allah tanpa mempertimbangkan atau memperhatikan apa yang terjadi sekitarnya. Melainkan ulama dalam arti yang lebih luas, hakIkat dari ulama akhirat adalah bahwa karakteristik ulama selalu menjadi ruh dan inspirasi bagi setiap kehidupan sosial, politik dan kultur masyarakat. Dan, yang demikian itu, seperti yang dicontohkan ketiga kiai dari Banyuwangi, Jawa Timur, dalam buku ini.

Pertama, KH Zarkasi Djunaidi bukanlah seorang politisi praktis, namun hampir tidak satu proses politik yang terjadi di Banyuwangi tidak luput dari sentuhan tangan lembutnya. Di samping itu pula, dalam keseharian hidupnya, ia dikenal sebagai sosok yang bijak. Ia mengerti dengan siapa ia berhadapan. Kalau berkumpul dengan anak-anaknya menggunakan kata-kata layaknya kanak-kanak. Begitu juga ketika berkumpul dengan orang tua, ia juga dengan gaya bahasa orang tua atau dewasa (yukrim kabirana wa yarham shaghirana).

Kedua, KH Mukhtar Syafaat bukanlah seorang ekonom, namun kontribusi terhadap pemberdayaan ekonomi umat tidak kecil. Pengaruhnya semakin kuat dalam pemberdayaan ekonomi kerakyatan ketika ia menyandang jabatan Mustasyar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi. Hal itu sevisi dengan cikal bakal berdirinya jam’iyah Bintang Sembilan itu, bahwa salah satu pilar berdirinya NU adalah pemberdayaan ekonomi umat yang dikenal dengan jam’iyah Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para saudagar/pengusaha) yang digagas Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai semasanya.

Ketiga, KH Askandar bukanlah pemegang tampuk kekuasaan negara atau militer, namun perjuangannya untuk terus memberikan kesadaran terhadap masyarakat dan membela Tanah Air (semangat nasionalisme) melawan penjajah tidak dapat disepelekan. Perjalanan panjang yang dilaluinya dalam mengisi kemerdekaan, sebagai pengasuh pesantren tetap tidak melupakan pesantrennya sebagai pusat pendidikan (education center) bagi masyarakat. Bahkan, ketika masuk dalam perpolitikan nasional, ia berkabung ke kepengurusan NU (Partai NU pada waktu itu). Tetapi kesibukan dalam dunia politik tidak membuatnya lupa pada pesantrennya dan tunggung jawabnya untuk membina masyarakat.

Kiai dan Politik

Selama ini, politik oleh banyak orang selalu dikonotasikan yang negatif. Secara substansinya seperti memang dari “sononya”. Melainkan, akibat terkait dengan implementasinya yang justru menyimpang seperti yang dipertontonkan para politikus saat ini. Akhirnya, masyarakat menyimpulkan sendiri bahwa kiai yang terjun dalam politik praktis juga dicap jelek.

Yang ironis, dalam percaturan politik, kiai terkadang memainkan segala peran untuk memenuhi ‘syahwat’ politiknya guna tercapainya tujuan yang diinginkan. Kata-kata “demi umat”, “ukhuwah”, “pembangunan”, “demokrasi”, “rakyat” sudah menjadi ‘nasi’ dan ‘sayur’ bagi mereka untuk mengais perhatian. Dalil Al-Quran pun sudah mereka lahap dengan nikmatnya, sekalipun tidak dalam konteks yang sesungguhnya.

Buku ini perlu dibaca para kiai atau calon kiai (santri) untuk menjadi rujukan bahwa ketiga figur kiai di atas adalah benar-benar tidak terpengaruh dengan tawaran duniawi yang sifatnya sementara (fana’). Tapi, lebih (selalu) mengedepankan nilai-nilai kepentingan umat dalam jangka waktu panjang.

Melalui buku ini, kita pun akan jernih melihat persoalan politik yang dimainkan kiai, jalan panjang demokrasi kita. Misal, politik yang selalu distempel jelek keterlibatan kiai dalam politik praktis. Sehingga mengakibatkan kehilangan jati diri atau identitas ke-kiai-annya.

Peresensi adalah Aktivis pada Komunitas Baca Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15435

Saturday, October 16, 2010

Pesan ‘Spritual’ Pangeran Sufi

08/12/2008

Judul Buku: Mutiara Agung Pangeran Sufi Al-Junaid Al-Bagdhady
Penulis: KH Moh. Lukman Hakim, MA
Penerbit: Cahaya Sufi, Jakarta
Cetakan: Pertama 2008
Tebal: (xix + 317) halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Tasawuf sesungguhnya bukan sesuatu penyikapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, seperti diteguhkan Dr Abu Al-Alaf Afifi dalam studinya tentang tasawuf Islam klasik, tasawuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah revolusi moral spritual dalam masyarakat. Dan, bukankah moral spritual ini merupakan ethical basic atau al-asisayatu-akhlaqiyah bagi suatu formulasi sosial seperti dunia pendidikan?

Kaum sufi adalah kelompok garda depan di tengah masyarakatnya. Mereka seringkali memimpin gerakan penyadaran akan adanya penindasan dan penyimpangan sosial.

Selain itu, tasawuf juga merupakan metode pendidikan yang membimbing manusia kedalam harmoni dan keseimbangan total. Metode ini bertumpu pada basis keharmonisan dan pada kesatuan dengan totalitas alam. Dengan demikian, perilakunya tampak sebagai manifistasi cinta dan kepuasaan dalam segala hal. Bertasawuf yang benar berarti sebuah pedidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual—kini dikenal dengan ESQ (Emotional Spiritual Quotient).

Intinya, belajar untuk tetap mengikuti tuntuntan agama, entah itu berhadapan musibah, keberuntungan, kedengkian orang lain, kaya, miskin, atau dalam kondisi pengendalian diri atau pengembangan potensi diri. Sufi-sufi besar seperti Rabi’ah Al-Adawiyah, Al-Ghazali, Sirri Al-Siqthi, Asad Al-Muhasabi dan Junaid Al-Bagdadi, telah memberikan teladan kepada umat bagaimana pendidikan yang baik itu. Di antaranya berproses menuju perbaikan diri dan pribadi yang pada gilirannya akan menggapai puncak makrifatullah, yakni sang Khaliq sebagai ujung terminal perjalanan manusia di dunia.

Kata-kata tasawuf makin banyak dikenal orang sejak periode Hasan al Basri, putra kelahiran Madinah tahun 21 H/642M dan wafat pada 729 M. Pada 37 H, setahun setelah perang Shiffin, ia pindah ke Basrah. Di sini ia memulai karirnya sebagai ulama, seorang zahid yang yang sangat berpengaruh. Para ulama tasawuf berpendapat, Hasan Basri-lah orang pertama yang mengajarkan ilmu tasawuf yang melambangkan awal sikap asketik dan mengeritik pemerintahan yang zalim, karena telah larut dan basah oleh kehidupan dunia dan kering kerontang pada kehidupan akhirat. Motivasi itu disebabkan kemenangan umat Islam yang gilang gemilang pada 711 M, tanpa diimbangi tempaan batin untuk tetap memelihara sikap kemanusiaan mereka.

Sampai abad pertengahan, dalam mekanisme penyebaran Islam, kehidupan tasawuf semakin memuncak dan mengalami kemasyhuran, sehingga bermunculan tokoh-tokoh spektakuler, semisal, al-Hallaj yang menerima eksekusi pancung pada 309 H. Imam al-Ghazali, sebagai tokoh yang dijadikan acuan para sufi moderat. Al-Ummi, Abdul Qadir Jailani, Ibnu Arabi, adalah menjadi bukti bahwa dimensi spritual lebih menarik para pelakunya ketimbang ilmu lahir.

Pemahaman sufi yang sesungguhnya menjadi sangat menarik di tengah-tengah komersialisasi komunitas sufi di perkotaan bahkan tidak segan-segan untuk meng-”komuditas” terhadap Tuhan, untuk dijadikan bisnis miliaran, khususnya di Jakarta. Penulis menyarankan kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan untuk hati-hati terhadap model “bisnis spritual-sufi” dengan topeng pelatihan, workshop atau pertemuan yang harus mengganti kontribusi jutaan rupiah hanya untuk mencapai ma’rifatullah atau ketenangan jiwa dengan waktu yang sangat singkat, apalagi pembimbingnya tidak kapabel, tidak alim terhadap profesi tersebut. Carilah guru yang sesungguhnya!

Buku ini dibagi menjadi tiga bab yang berkaitan dengan aktivitas dan ketokohan Junaid Al-Bagdhadi yang dilahirkan di kota Irak. Mutiara Agung Pangeran Sufi menjelaskan beberapa hal di antaranya tentang tauhid, tobat, uzlah, gelombang nafsu, dalam perspektif sufi al-Junaid, dan lain-lain.

Sementara, pada konteks studi-studi orientalis, dalam hal ini, al-Junaid menempati posisi pemikiran yang senantiasa dianggap “misteri” yang dalam. Berbagai metode dilakukan untuk membuka tirai agar bisa mengulas perkembangan pemikiran kaum sufi dalam lingkaran tasawuf.

Sebenarnya kehidupan al-Junaid di Baghdad tidak semulus ketokohannya. Seringkali ia dikejar dan ditangkap, karena dituduh sebagai pelaku kekufuran dan ke-zindiq-an. Ini juga menimpa al-Hallaj, murid al-Junaid dalam eksekusi kematian dan penyaliban, karena ia telah memperkenalkan publikasi rahasia-rahasia spritual. Apalagi pandangan al-Hallaj yang disalahpahami khalayak seputar wujud rabbani dan wujud insani yang mendorong masyarakat terjerumus dalam pandangan “serba boleh”, yang ini merupakan pandangan kalangan yang mewenangkan segala yang haram dan mengabaikan hukum-hukum syariat melalui metode ketiadaan dan ketidakwujudan mereka kemudian disebut ahlul ibahah.

Di tengah realitas itu, bagaimana al-Junaid mampu mengintegrasikan norma yang berbeda-beda tersebut dalam relevansi tasawuf dan doktrin Islam? Bagaimana ia melepaskan diri yang tidak bisa dilakukan al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami atau ahlul ibahah (liberalis kebatinan) seperti Rabah dan Kulaib.

Al-Imam Syekh al-Junaid al-Bagdhadi, bagi kalangan umat Islam, khususnya warga NU adalah tokoh pemuka, pangeran sekaligus “burung merak” yang indah nan agung dari kalangan mereka. Ia adalah pemimpin kaum sufi di zamannya sekaligus menjadi panutan berabad-abad bagi kekuatan umat Islam seluruh dunia. Ia adalah simbol para wali di zamannya sekaligus pahlawan kaum yang telah menggapai tahap ma’rifatullah.

Ia berguru pada para ulama dan pakar sufi, sepert Al-Muhasiby, Adz-Dzary, Abu Sa’id Al-Kharraz dan ulama besar yang lain. Ia juga melahirkan murid yang terkenal seperti Asy-Syibli dan al-Hallaj.

Al-Junaid mengatakan, apabila kefanaan wujud hamba yang manunggal menuju wujud yang haq, terkadang menyeret pada istilah hulul dan ittihad. Maka, ia membuat paradigma kebenaran bahwa fana tersebut adalah fana dalam Allah melaluinya kembalinya hamba yang manunggal kepada al-baqa’ setelah mengalami al-fana’ dan kembali pada al-khudur setelah mengalami al-ghaibah.

Penyunting buku ini, Lukman Hakim, tokoh NU yang berprofesi sebagai seorang sufiolog—orang memberikan nama—karena ia mempunyai komunitas sufi di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi yang berjumlah 1 juta orang tiap paguyuban/tempat, bahkan melebar ke Surabaya dan Malang, mencoba menguraikan tokoh sufi yaitu Junaid Al-Bagdhadi atas beberapa tutur-kata dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti. Buku ini sangat penting untuk dijadikan referensi, baik sebagai pemimpin, pemerhati, pengamat maupun pelaku sufi itu sendiri karena menambah pengetahuan dan wawasan tentang makna dan aplikasi tasawuf-sufi. Selamat membaca!

Peresensi adalah Ketua Eksternal Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Probolinggo, Jawa Timur

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15315