Thursday, September 30, 2010

Aswaja Tantangan Masa Kini Di Indonesia

23/06/2009

Oleh Sri Sofiati Umami *

Sebelum kelompok-kelompok teologis dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja) adalah umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompok-kelompok teologis muncul, Aswaja berarti para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi.

Dalam pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompok-kelompok teologis semisal Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain.

Dalam sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama, kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan, terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu’tazilah dan lain-lain.

Aswaja melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan turun-temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas nalar sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki kekuasaan terbatas (kasb) dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, bukan semata disetir oleh kekuatan absolut di luar dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau bebas absolut menentukan perbuatannya (sebagaimana pandangan Qadariyah dan Mu’tazilah).

Pada wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-sumber yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan lain-lain.

Setelah melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat Islam yang tersebar mulai dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko), disusul oleh Syi’ah di Iran, Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah (pecahan Mu’tazilah) di sejumlah tempat di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran Muhammad Bin Abdulwahhab, rezim Saudi Arabia berafiliasi kepada apa yang disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan (Afganistan dan sekitarnya) reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya dengan sikap-sikap keras dalam mempertahankan dan menyebarkan keyakinan.

Di Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan sedikit perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam di Indonesia adalah Aswaja.

Yang paling penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah sikap keberagamaan yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), moderat (tawassuth) dan konsisten pada sikap adil (i’tidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah yang menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang berbeda-beda.

Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance) yang dimulai pada abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.

Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis keras, bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.

Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat, dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.

Dua ancaman riil inilah yang mengharuskan Aswaja di Indonesia untuk mengkonsolidasi diri, merapatkan barisan, memvitalkan kembali modal nilai-nilai luhur yang diturunkan dari ajarannya dan pengalaman sejarahnya. Karena sifat dua tantangan ini yang mondial, maka reaksinya pun harus mondial.

Sejauh ini, ikhtiar itu ada. Nahdlatul Ulama melalui forum ICIS (International Conference of Islamic Scholars) sudah tiga kali menggelar pertemuan para ulama-intelektual dunia Islam di Jakarta untuk tujuan dimaksud: tujuan luhur mengembalikan Islam sebagai rahmat bagi semua.

Ke dalam, penggairahan masjid sebagai pusat peradaban dan institusi perawatan nilai-nilai juga disadari semakin penting dilakukan. Manakala masjid berfungsi merawat Aswaja, maka serbuan dua ancaman tadi bisa dilawan pengaruhnya.

Tentu saja, penyikapan yang komprehensif harus diupayakan secara menerus. Nilai dilawan nilai. Instrumen dilawan instrumen. Sudah saatnya, pada tingkat instrumen, organisasi penyangga Aswaja di Indonesia memiliki misalnya, stasiun televisi, production house untuk membuat film berbasis nilai-nilai Aswaja, perusahaan penjaga kemandirian ekonomi umat dan segala institusi baru lainnya agar penyikapan komprehensif dan efektif bisa dilakukan secara maksimal. Wallahua’lam

* Penulis adalah guru madrasah, tinggal di Pondok Pesantren Ta’limussibyan al-Manshuriyah Bonder, Lombok Tengah, NTB
Sumber : http://www.nu.or.id

http://aswaja-nu.blogspot.com/

Tuesday, September 28, 2010

Prospektif Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam NU

Oleh : Ahmad Damanhuri Tuanku Mudo

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh pesantren. Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat. Ini berarti NU adalah organisasi keagamaan yang secara konstitusional membela dan mempertahankan aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel.

Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah), NU merupakan bagian integral dari wacana pemikiran suni. Terlebih lagi, jika kita telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat erat dengan para ulama “Haramain” (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Usmani yang ketika itu berhaluan aswaja.

Selama ini image masyarakat terhadap NU terlanjur miring dengan jargon sebagai kaum tradisionalis, kolot, irasional dan jumud (stagnan) dalam pemikiran. Tentu saja image tersebut tidak berdasar. Jika NU statis, bagaimana mungkin memiliki umat 35 juta yang tersebar di seluruh tanah air dan memiliki kredo (kaidah hukum) Al-Mukhafatdlatu ‘Ala Qadimish Shalih Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan nilai dan tradisi lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif terhadap nilai dan tradisi baru yang lebih baik). Bahkan seorang Ben Anderson (pakar studi tentang Indonesia dari Amerika) mengeluhkan sedikitnya perhatian ilmiah yang diberikan pada NU. Padahal NU yang dianggap sebagai simbol Islam tradisionalis, menurutnya, memainkan peran signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan politik di Indonesia. Lebih keras lagi Ben menuduh adanya prasangka ilmiah (scholarly prejudices) dalam studi-studi Indonesia yang membuat NU terabaikan dan terisolasi.

Keadaan agak tertolong, setelah NU secara yuridis menjustifikasikan satu keputusan monumental bagi reformasi secara kritis dan analitis dalam institusi tertinggi dibawah Muktamar yaitu Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandar Lampung pada tahun 1992. Dalam keputusan tersebut disepakati bahwa sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahsul Masail Diniyah (pembahasan masalah-masalah agama) bisa dilaksanakan dengan pola bermazhab secara qauli (tekstual) maupun manhaj (kontekstual). Hal ini memberikan kemungkinan untuk mengikuti manhaj, jalan pikiran dan kaidah hukum yang telah disusun oleh para Imam mazhab. Begitupun dalam bidang akidah, tidak mustahil terjadi pembaharuan pemikiran sepanjang sejalan dengan manhaj Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Pola berpikir semacam ini dapat diketahui pada pemikiran Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Syahrastani dan Al-Razi.

Reinterpretasi aswaja NU

Secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal Jamaah dapat dikonsepsikan : Ahlun berarti pemeluk aliran atau pengikut mazhab. Al-Sunnah berarti thariqat (jalan), sedangkan Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Secara terminologi dapat didefenisikan bahwa Aswaja adalah orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandasan atas dasar-dasar moderasi, menjaga kesinambungan dan toleran, dan shalat tarawih 23 rakaat. Pandangan seperti itu pas betul dengan anggapan sementara orang luar NU terhadap perilaku warga NU sendiri.

Prospektif aswaja NU

Diskursus aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup mengagetkan kalangan ulama tua. Doktrin aswaja NU selama ini dinilai sebagai sesuatu yang final dan haram hukumnya diperdebatkan eksistensinya. Secara mengejutkan, muncul pemikiran baru tentang perlunya rekonstruksi rumusan aswaja NU untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran dalam bidang keagamaan yang melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi fiqhiyyah aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive dalam menghadapi perubahan sosial. Akan tetapi lain halnya, bila menelusuri doktrin aswaja NU dalam bidang teologis, yang di dalamnya tidak luntur sebagaimana konstruksi fiqh.

Pemikiran nyeleneh yang disebut terakhir ini, sebenarnya akibat langsung dari pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang tradisionalis radikal (meminjam istilah Mitsuo Nakamura). Ia mengkombinasikan sintesis yang canggih dari apa yang terbaik di dalam nilai-nilai modernitas dan komitmen terhadap rasionalitas dan keulamaan maupun kebudayaan tradisional. Pemikiran radikal gaya Gus Dur kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh NU diantaranya Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj, MA, Masdar F Mas’udi dan Fajrul Falakh.

Salah satu rekonstruksi aswaja adalah pandangan bahwa doktrin aswaja harus dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau sebagai metotologi berfikir, bukan aswaja sebagai mazhab apalagi produk Mazhab. Ini artinya, berpaham aswaja berarti bersikap dengan menggunakan Manhaj Tawasuth, yaitu bersikap ditengah-tengah antara pemahaman tektual dengan rasionalisme, bersikap dengan Manhaj Tawazun, berarti berpandangan keagamaan yang berusaha mengembangkan, sikap moderat aswaja tercermin pada metode pengambilan hukum (istimbat) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. Dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara wahyu (nash) dan rasio (al-ra’yu). Metode seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat serta generasi berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial.

Sikap lain yang ditunjukkan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras (tatharruf), tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Sedangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, aswaja mempunyai sikap toleran (tasamuh) yang tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap umat lain saling menghargai.

Lebih menarik, bila mengamati aswaja dalam NU. Terminologi aswaja masih memungkinkan memerlukan reinterpretasi (penafsiran ulang). Hal ini karena rumusan baku aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun asasi (UUD) NU pun belum ada penjelasan yang mendasar mengenai rumusan aswaja. Di dalamnya, KH. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan Madzahibul Arba’ah (bukan salah satu dari empat mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar warga NU yang heterogen wacana pemikirannya tidak ta’asub. Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut, yang tidak bisa menerima tawaran pemikiran baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal itu masih merupakan wilayah ijtihadiyah, sehingga mungkin saja dibenarkan jika kalangan NU itu sendiri melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks aswaja yang ada. Selama ini orang NU berpendapat bahwa berhaluan aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar, mendirikan madrasah, mengelola ziarah kemakam para ulama terdahulu, seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di pulau Jawa, tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan dalam menjalin hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya. Hal inilah yang menunjukkan bahwa aswaja sangat prospektif, tidak mati karena perkembangan zaman.

Pemikir-pemikir liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap perkembangan pemikiran NU di daerah yang tidak saja di dominasi oleh pemikiran kiai-ulama sepuh, tetapi gerak langkah tokoh muda NU menghiasi wacana baru yang lebih progresif.

Menanggapi fenomena di atas, sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era mendatang dan kiranya perlu kesiapan mental menguasai elite NU agar dinamika pemikiran mereka tidak dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut langit di awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang selalu berpegang kuat pada senjata akomodatif terhadap perkembangan baru yang lebih baik.

Pengurus Departemen Agama dan Idiologi PW. GP. Ansor Sumbar

http://aswaja-nu.blogspot.com/2009/06/prospektif-ahlussunnah-wal-jamaah-dalam.html

Thursday, September 23, 2010

Pribumisasi Islam Ala Gus Dur

04/06/2007

Oleh M. Husnaini*

Judul Buku: Islamku, Islam Anda dan Islam Kita
Agama Masyarakat Negara Demokrasi
Penulis: KH. Abdurrahman Wahid
Penerbit: The Wahid Institute
Tebal: xxxvi + 412 halaman
Cetakan: I, 2006

Persoalan yang paling rumit di dalam keberagamaan adalah masalah penafisiran. Kesalahan pada ranah ini akan berakibat fatal karena dapat mendestruksi keseluruhan nilai yang terkandung di dalam agama yang luhur ini. Terorisme dan bunuh diri di antaranya dilatari oleh kesalahan dalam menafsirkan agama tersebut, di samping sebab-sebab lain, seperti globalisasi, kepentingan politik dan ekonomi. Di sinilah, membedah pemikiran Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid ) menjadi sangat urgen untuk mengantarkan kita kepada pemahaman agama (baca: Islam) secara komprehensif.

“Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita” adalah sebuah potret pemikiran Gus Dur tentang Islam dalam kaitannya dengan isu-isu mutakhir, seperti nasionalisme, demokrasi pluralisme, Hak Asasi Manusia (HAM), kapitalisme, sosialisme dan globalisasi.

Sebagai seorang cendekiawan, Gus Dur merupakan tokoh Muslim yang penuh talenta. Pembahasannya tentang Islam selalu mampu menerobos wilayah-wilayah yang sering tidak terpikirkan oleh para ulama pada umumnya. Dalam konteks ini, Gus Dur ternyata mampu menghadirkan Islam mulai dari masa awal kehadirannya hingga saat ini, dari nuansa tekstual hingga kontekstual, dari aspek struktural hingga kultural.

Seperti pernyataan Dr. M. Syafi’i Anwar, dalam kata pengantarnya, dalam buku ini, benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat kejayaan Islam justru terletak pada kemampuannya untuk berkembang secara kultural. Oleh karena itu, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi dibanding upaya ideologisasi. Pemahaman seperti inilah yang menggugah Gus Dur untuk melantangkan pentingnya pribumisasi Islam, terutama dalam konteks keindonesiaan.

Dalam upaya ini, menurut Gus Dur, penafsiran terhadap Islam tidak murni pemahaman atas teks-teks suci belaka, tetapi juga pemahaman terhadap konteks lokalitas keberagaman dan kekinian. Dalam aras ini, varian-varian kebudayaan harus didukung oleh pendekatan tekstual sebagaimana terdapat dalam dasar-dasar fikih dan kaidah-kaidah fikih. Dengan demikian, Islam harus ditafsir sebagai proses partisispatif dan dinamis.

Pendekatan tersebut merupakan salah satu karakter terpenting dari mayoritas Muslim, khususnya kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Dalam Muktamar NU tahun 1935, para ulama telah melahirkan sebuah pandangan keagamaan yang merupakan cikal bakal bagi keindonesiaan, yaitu wajib hukumnya mempertahankan Indonesia yang—pada saat itu—dipimpin oleh orang-orang non-Muslim (Hindia Belanda). Salah satu alasannya, agar ajaran Islam dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga negara secara bebas. Selain itu, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU, terakhir di Surabaya, juga mengeluarkan maklumat bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersifat final.

Dalam kaitan ini, Gus Dur sampai pada kesimpulan bahwa wacana negara Islam dan wacana politik Islam yang sejenis merupakan pemahaman yang kurang tepat (hal. 81-84), karena pada dasarnya, Islam hadir bukan untuk membentuk sebuah institusi negara, melainkan untuk mendorong terwujudnya nilai-nilai universal. Atas dasar itulah, NU memandang bahwa solidaritas kemanusiaan menempati urutan teratas baru disusul kemudian solidaritas kebangsaan dan ke-Islam-an.

Dalam buku ini, Gus Dur memberikan tiga kerangka keber-Islam-an yang patut kita apresiasi bersama secara serius dan mendalam, terutama dalam menciptakan Islam yang damai. Pertama, Islamku, yaitu keber-Islam-an yang berlandaskan pada pengalaman pribadi perseorangan. Sebagai sebuah pengalaman, pandangan ke-Islam-an seseorang tidak boleh dipaksakan (harus disamakan) kepada orang lain. Jika itu terjadi, maka akan mengakibatkan munculnya dislokasi pada orang lain yang pada akhirnya dapat “membunuh” keindahan dari pandangannya sendiri.

Kedua, Islam Anda, yaitu keber-Islam-an yang berlandaskan pada keyakinan. Dalam hal ini harus diakui bahwa setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri terhadap beberapa hal tertentu. Pandangan kalangan NU bisa jadi berbeda dengan pandangan kalangan Muhammadiyah. Demikian pula sebaliknya. Namun perbedaan tersebut jangan sampai dijadikan alasan untuk saling menebar kekerasan di antara satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Dengan kata lain, keyakinan kelompok tertentu harus dihormati dan dihargai dengan sepenuh hati.

Ketiga, Islam Kita, yaitu keber-Islam-an yang bercita-cita untuk mengusung kepentingan bersama kaum Muslimin. Dalam buku setebal 412 halaman ini, Gus Dur menekankan pentingnya menerjemahkan konsep kebajikan umum sebagai jembatan untuk mengatasi problem Islamku dan Islam Anda.

Pada umumnya, diskursus ke-Islam-an hanya terhenti pada kedua model tersebut. Oleh karena itu, Gus Dur menawarkan solusi akan pentingnya merajut antara keber-Islam-an yang berbasis pada pengalaman dan keyakinan untuk membangun pemahaman keagamaan yang berorientasi pada perdamaian dan keadilan sosial.

Nah, buku ini dapat mengantarkan kita kepada pemahaman Islam yang berbasis perdamaian, apalagi di tengah ketegangan yang terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam saat ini. Konflik intra-agama dan antar-agama, serta konflik yang berbasis kepentingan politik. Karena itu, harapan untuk mengakhiri kekerasan harus senantiasa digaungkan setiap saat. Sebagaimana Gus Dur telah (selalu) “menyenandungkan” keberagamaan yang penuh kedamaian, bukan kekerasan.

*) Penulis adalah Peminat buku, Alumnus Pondok Pesantren Al-Ishlah, Sendangagung Paciran, Lamongan, Jawa Timur, Kontributor Jaringan Islam Kultural.

Retrieved from: http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=9223328742178868692

Wednesday, September 22, 2010

Potret Keluarga Demokratis

18/06/2007

Oleh M. Husnaini*

Judul Buku: Sama Tapi Berbeda (Potret Keluarga Besar KH A Wahid Hasyim)
Penulis: Ali Yahya
Penerbit: Yayasan KH A Wahid Hasyim Jombang
Cetakan: I, Mei 2007
Tebal: xxxviii + 411 halaman

Siapa yang tak kenal KH A Wahid Hasyim. Hampir setiap orang tahu dan mengenalnya. Dia adalah putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari. Perjalanan hidupnya singkat, karena Allah telah memanggilnya ketika usianya belum lagi genap 39 tahun. Meski di usianya yang relatif muda, ia telah menjadi figur penting dan memiliki pengaruh yang luar biasa di berbagai kalangan. Kiprahnya sungguh “mencengangkan”.

Menariknya, enam putra-putri mantan Menteri Agama di era Presiden Soekarno ini memiliki sifat, profesi, dan politik yang berbeda. Semua itu, tentu saja tak terlepas dari sikap sang ayah yang selalu menanamkan ruh demokrasi dalam lingkungan keluarga. Setiap perbedaan yang ada tidak pernah menjadi momok yang mematikan. Namun justru menghasilkan variasi yang unik dalam keluarga yang penuh warna ini.

“Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Salah seorang pendiri negara Republik Indonesia ini meninggalkan lima putra-putri—yang ketika itu masih kecil-kecil—dan jabang bayi yang masih di dalam kandungan ibunya. Dia adalah Solichah Wahid Hasyim.

Putra-putri KH A Wahid Hasyim kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tokoh dan panutan pada waktu, tempat, dan lingkungan yang berbeda-beda. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu mantan presiden RI yang ke-4. Sosoknya penuh kontrovesi. Aisyah Hamid Baidlowi menjadi politisi Partai Golkar, Salahuddin Wahid (Gus Solah) penjelajah lintas disiplin ilmu, Dr Umar Wahid seorang profesional murni, Lily Chodidjah Wahid pembangkang yang taat, serta Hasyim Wahid (Gus Im) dikenal sebagai pemberontak yang unik. Sedangkan dari generasi cucu, setidaknya telah muncul dua nama. Mereka adalah Yenny Wahid (putri Gus Dur) dan Ipang Wahid (putra Gus Solah).

Potret keluarga besar KH A Wahid Hasyim ini diuraikan secara gamblang dalam buku ini. “Sama Tapi Berbeda” karya Ali Yahya, alumnus Psikologi Universitas Indonesia ini mengupas lebih mendalam sisi-sisi lain keluarga besar KH A Wahid Hasyim mulai A sampai Z. Gaya bahasanya pun renyah, lugas dan mudah dicerna. Ahmad Syafi’i Ma’arif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah)—dalam pengantarnya—mengatakan, gaya penulisan buku ini adalah tuturan yang mengalir.

Meski demikian, Ali Yahya tidak larut dalam nuansa kekagumannya terhadap sang tokoh. Meski kekagumannya terhadap keluarga ini sungguh luar biasa, namun dirinya tetap berusaha obyektif dalam memotret keluarga besar KH A Wahid Hasyim yang cukup fenomenal, tidak hanya di kalangan NU, tetapi juga di lingkungan masyarakat umum di seluruh Indonesia.

KH A Wahid Hasyim dan ayahnya, KH Hasyim Asy’ari adalah dua tokoh bangsa yang sering jadi perbincangan berbagai kalangan dalam berbagai kepentingan, terutama untuk riset mengenai masalah-masalah ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.

Dalam konteks ini, apa yang telah diwariskan KH A Wahid Hasyim adalah mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat memicu radikalisme dan konflik kekerasan. Aspek pluralisme dan toleransi yang terbingkai dalam gagasan demokratisasi ini kiranya yang menjadi landasan perjuangan sang putra, KH Abdurrahman Wahid. Adanya berbagai macam golongan dan kelompok; besar dan kecil, berbeda suku, ras, agama, keyakinan, kelompok kepentingan serta pengelompokan dengan dasar lainnya, berhak untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam mengambil keputusan politik.

Sikap inilah yang menjadi ciri khas Gus Dur. Implikasi dari komitmen terhadap asas pluralisme dan kesetaraan ini adalah penolakannya terhadap ide pembentukan negara Islam sebagai tujuan politik umat Islam di Indonesia. Menurutnya, Islam harus difungsikan sebagai pandangan hidup yang mengutamakan kesejahteran masyarakat, apa pun corak, ragam, dan bentuk masyarakat tersebut.

Tak ada yang membantah, memang, di antara putra-putri KH A Wahid Hasyim yang paling menonjol adalah Gus Dur. Sekitar dua dekade terakhir, dia adalah tokoh NU—bahkan Islam secara umum—yang paling banyak menyita perhatian berbagai kalangan. Ketokohannya pun banyak mendapat sorotan. Mulai pengamat nasional hingga internasional.

Ternyata popularitas generasi ini tak hanya diwakili Gus Dur seorang. Pelan namun pasti, sosok Salahuddin Wahid merangkak naik ke permukaan. Tokoh ini mulai mendapat perhatian publik sejak mendapat amanat menjadi salah seorang Ketua PBNU tahun 1999. Ia makin ‘naik daun’ ketika dipercaya sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sekaligus Wakil Ketua komisi ini. Dan puncaknya, pada pemilu 2004, ia tampil sebagai calon wakil presiden mendampingi Wiranto. Popularitasnya pun semakin berkibar. Jika sebelumnya orang lebih mengenalnya sebagai adik Gus Dur, kini ia menjadi Gus Solah sebagai pribadi, lepas dari bayang-bayang siapa pun, termasuk sang kakak.

Di luar itu, kita juga mengenal Aisyah Hamid Baidlowi sebagai anak KH A Wahid Hasyim yang aktif di percaturan politik nasional. Hingga kini, ia telah tiga periode menjadi anggota DPR. Uniknya, ia lebih suka bernaung di bawah “pohon beringin” ketimbang masuk ke “kandang-kandang sendiri”. Bagi sebagian orang, fakta ini cukup mengherankan. Tetapi, bagi mereka yang mengenal serta cukup tahu bagaimana kemandirian dan demokratisasi yang sejak lama terbangun di lingkungan keluarga, kenyataan ini tidaklah mengejutkan.

Di samping ketiganya, putra-putri KH A Wahid Hasyim yang lain pun cukup dikenal di komunitasnya masing-masing dengan aktifitas dan independensinya sendiri-sendiri. Umar Wahid misalnya, dia adalah dokter spesialis paru yang sempat dikenal publik ketika menjadi Ketua Tim Dokter Kepresidenan di era Gus Dur. Selain itu, dia juga menjadi anggota DPR RI. Dua saudara yang lain, Lily Chodidjah Wahid dan Hasyim Wahid, meski belum teralu dikenal, namun namanya tidak asing lagi di kalangan-kalangan tertentu.

Mengamati peri kehidupan anak-anak dan cucu-cucu KH A Wahid Hasyim dalam buku ini, sungguh akan kita dapatkan keunikan tersendiri. Setidaknya terlihat sejauh mana kesamaan dan perbedaan di antara mereka masing-masing. Dari sini juga kita dapat mengamati betapa peran orangtua sangat menentukan arah perjalanan sang anak. Dalam hal ini adalah penanaman nuansa demokratis sejak dalam keluarga.

Dalam banyak hal, anggota keluarga KH A Wahid Hasyim memang memiliki kesamaan satu sama lain. Tetapi perbedaan di antara mereka—baik antar maupun inter generasi—pun ternyata tidak sedikit. Hal inilah yang mungkin belum banyak diketahui orang. Semua itu membentuk ritme irama tersendiri dalam keluarga. Mereka memang sama tapi berbeda.

*Peresensi adalah Penikmat Buku, Kontributor Jaringan Islam Kultural

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=9453

Tuesday, September 21, 2010

Ensiklopedi Praktis Warga NU

Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah

02/07/2007

Penulis: H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos, Pengantar: K.H. Abdul Muchith Muzadi, Penerbit: Khalista, Surabaya, Cetakan: I, Juni 2007
Tebal: xviii + 322 halaman, Peresensi: M. Abdul Hady JM

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Surabaya oleh para ulama pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H.

Ada banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya NU. Diantara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem brmadzhab.

Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.

Sebagai organisasi keagamaan, NU telah melewati pergulatan sejarah yang cukup panjang. Setidaknya, NU telah melewati beberapa masa atau era yaitu era pra kemerdekaan, orde lama (pasca kemerdekaan), orde baru, dan reformasi. Dalam setiap perjalanan panjang ini, tentu saja NU mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup besar. Buku "Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah" ini mencoba memberikan potret cukup jelas dan lengkap seputar sepak terjang NU sejak awal berdirinya yaitu pada masa KH. Hasyim Asy'ari hingga masa sekarang, yaitu era kepemimipinan KH. Hasyim Muzadi.

Pada awal berdirinya, NU merupakan sebuah "jam’iyyah diniyyah " murni (independen). Ia bukan organisasi politik, bahkan tidak berafiliasi sama sekali terhadap partai politik tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya, NU pernah bergabung dengan partai politik tertentu, bahkan pernah menjadi partai politik sendiri.

Pada tahun-tahun awal berdirinya, yaitu tahun 1926- 1942, perjuangan NU dititik-beratkan pada penguatan doktrin Ahlussunnah waljamah (Aswaja) dalam rangka menghadapi serangan penganut ajaran Wahabi. Di antara program konkretnya, selain melakukan penguatan persatuan di antara para kiai dan pengasuh pesantren adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran Aswaja.

Pada Muktamar NU ke-19 di Palembang tahun 1952, NU dideklarasikan sebagai partai politik sendiri, setelah sebelumnya cukup lama bergabung dengan Masyumi. Pada pemilu pertama 1955, Partai NU muncul sebagai kekuatan yang cukup besar dengan menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada masa-masa ini yaitu ketika masih menjadi partai politik, banyak tokoh NU yang menempati posisi strategis dalam lembaga pemerintahan dan lembaga legislatif, serta banyak juga yang diangkat sebagai Duta Besar RI di luar Negeri (hal. 18-20).

NU terus menapaki lorong-lorong terjal sejarah. Pada masa berikutnya yaitu sejak tahun 1973 Partai NU tidak diakui lagi, dan dipaksa harus melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Masa ini berlangsung hingga tahun 1984. Pada masa peleburan partai ini, tokoh-tokoh NU (sengaja) dipinggirkan dari kancah perpolitikan nasional dan pemerintahan oleh rezim otoriter Orde baru. Bahkan banyak tokoh NU yang dijebloskan ke dalam penjara dengan aneka macam tuduhan.

Pada dasawarsa 1980-an terjadi perubahan mengejutkan di tubuh NU. Setelah malang melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, NU kembali ke khitthah 1926. NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali ke jati dirinya semula sebagai organisasi keagamaan (jam'iyah diniyah).

Pada masa ini, NU mulai lebih mengurusi pendidikan dan lebih menekuni kegiatan dakwah kemasyarakatan. NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan. Kegiatan-kegiatan pengajian kembali digalakkan, bahkan mulai masuk ke unit-unit pemerintahan. Satu persatu cabang dan ranting yang mati dihidupkan kembali (hal. 21).

Sebagai organisasi sosial keagamaan, dalam NU terdapat banyak istilah baik yang terkait dengan kelengkapan organisasi maupun nama kebijakan atau keputusan yang pernah dikeluarkan oleh NU. Dalam buku ini dijelaskan ada 57 istilah. Istilah-istilah tersebut disebutkan secara alpabet.

Selain itu, buku ini juga menjabarkan beragam budaya dan amaliah warga NU. Sebuah budaya dan amaliah yang tidak terdapat, bahkan tidak dikenal di luar organisasi NU. Bahkan ada yang dianggap sebagai amaliah bid'ah. Sekadar disebutkan misalnya, di antaranya, barzanji, tahlil, tawassul, dan ziarah kubur. Seperti nama-nama istilah dalam NU tersebut, beberapa budaya dan amaliah warga NU ini juga dipaparkan secara alpabet dari A sampai Z.

Pada bab terakhir, yaitu bab IV pembaca juga disuguhi kisah singkat para tokoh atau kiai NU. Namun dalam buku ini hanya 49 tokoh yang disebutkan. Mereka memiliki peranan yang cukup besar dalam merintis dan mengawal langkah perjalanan panjang NU. Namun demikian, selain tokoh-tokoh tersebut sejatinya juga masih banyak NU yang tak kalah pentingnya. Dari kisah singkat para tokoh ini, setidaknya kita, terutama warga NU dapat mengambil pelajaran penting (uswah) dari pernik-pernik kehidupan dan pengabdian mereka. Sebab, kontribusi mereka terhadap bangsa khusunya NU sangat besar.
Menariknya, dalam buku ini juga dilengkapi beberapa gambar peristiwa, kegiatan NU, dan foto-foto para tokoh NU tersebut. Sehingga, selain penampilan buku ini semakin menarik, yang terpenting, pembaca bukan hanya tahu namanya saja melainkan juga dapat mengetahui wajah para tokoh yang dipaparkan dalam buku ini. Akhirnya selamat membaca. !!!.

*M. Abdul Hady JM, Mahasiswa Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, Alumnus PP. Al-Jalaly Ambunten Sumenep Madura.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=9627

Monday, September 20, 2010

Idham Chalid, Cermin Politisi Sejati

09/07/2007

Judul Buku: Idham Chalid, Guru Politik Orang NU
Penulis: Ahmad Muhajir
Penerbit: Pustaka Pesantren Jogjakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2007
Tebal: xx + 169 halaman
Peresensi: Titik Suryani*

Tak bisa disangkal, Idham Chalid adalah sosok kontroversial dalam sejarah perpolitikan Nahdlatul Ulama (NU). Ia dianggap sebagai politikus yang tidak memiliki pendirian, mementingkan diri sendiri (egois), dan banyak merugikan kepentingan umat. Bahkan, sikap politiknya yang—dianggap—selalu mengambang di atas dan sering lebih menguntungkan pihak penguasa, membuat dirinya mendapat julukan ‘politikus gabus’ dari Gerakan Pemuda Ansor--organisasi sayap pemuda NU.

Benarkah semua asumsi itu? Buku ini secara jeli berusaha menguak sisi ruang batin Idham Chalid yang tidak terekam oleh ‘sejarah resmi’. Ahmad Muhajir, dalam buku ini, berupaya mengungkap apa yang disebut Urvashi Butalia sebagai ‘sisi balik senyap’ (the other side of silent), yakni berbagai hal tentang Idham yang riil dan hidup di tengah masyarakat, namun tidak dianggap penting sehingga tidak ter(di)suguhkan kepada kita. Berbeda dari persepsi umum yang berkembang di masyarakat mengenai gerak langkah ‘politik abu-abu’ Idham, buku ini mengangkat ‘sisi senyap’ di balik gerakan politik Idham. Melalui buku ini, penulis menelisik lebih jauh ruang terdalam manusiawi seorang tokoh kelahiran Kalimantan Selatan 85 tahun silam tersebut.

Sebagai seorang tokoh NU, Idham memainkan dua lakon berbeda, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, kompromistis, dan terkesan pragmatis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dengan tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya. Ia telah berusaha keras mengupayakan terbentuknya kestabilan kondisi umat di bawah (grassroot) yang menjadi tanggungjawabnya. Meski berbagai stereotip bakal menimpa, ia tak memedulikannya.

Baginya, yang terpenting—dalam berpolitik—adalah berorientasi pada kemaslahatan dan berguna bagi banyak orang. Karenanya, tidak (perlu) harus ngotot dan kaku dalam bersikap, sehingga umat senantiasa terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi di masa itu kondisi politik sedang mengalami banyak tekanan keras dari pihak penguasa dan partai politik radikal semacam PKI dengan gerakan reformasi agraria (land reform) dan pemberontakannya.

Strategi politik tersebut dilandaskan pada tiga prinsip. Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi yang justru membahayakan kepentingan umat. Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat.

Dalam kaitan ini, Idham memandang bahwa NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat ketimbang berada di luar kekuasaan yang justru lebih menyulitkan untuk bergerak. Hal ini, misalnya, terlihat ketika ia mengompromikan langkah pemerintah pada masa Orde Lama dengan Demokrasi Baru. Akan tetapi, ketidakmengertian tentang arah politik Idham tersebut, menyebabkannya harus tersingkir dan ter(di)lupakan begitu saja.

Karena itu, kehadiran buku ini tentu saja dapat membuka tabir tersembunyi atau sisi senyap pemikiran seorang Idham, sekaligus menambah deretan mozaik langkah para politisi NU dalam kancah politik yang kurang banyak diungkap ke permukaan. Selain itu, buku ini juga dapat digunakan sebagai rujukan jejak politik tokoh-tokoh politik NU dalam mewujudkan strategi politik di masa lampau seiring semakin maraknya para ulama masa kini yang masuk ke ruang politik ketimbang ruang keumatan.

Di samping itu, nilai tambah buku ini adalah, Ahmad Muhajir juga melakukan tinjauan terhadap literatur-literatur ilmiah tentang Idham Chalid, seraya menyediakan gambaran bagaimana Idham dipotret oleh para sarjana Indonesia dan Barat. Akan tetapi, bagian utama dari teks ini dipersembahkan untuk menjelaskan dan menganalisis pemikiran politik keagamaan Idham, terutama yang berhubungan dengan sikap-sikap NU dalam merespon Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Muhajir memusatkan diri pada penafsiran Idham mengenai konsep syura serta bagaimana tafsiran itu digunakan untuk menjustifikasi penerimaan ideologi semi-otoriter Demokrasi Terpimpin.

Namun demikian, sekalipun bersimpati dalam menggambarkan sang tokoh, Muhajir tetaplah kritis. Sebagai sesama orang Banjar, tentu saja Muhajir memiliki wawasan budaya dan akses kepada sumber-sumber yang tidak dipunyai para sarjana terdahulu. Dia meneliti literatur klasik mengenai syura dan membandingkannya dengan penafsiran yang lebih kontemporer, sebelum berargumen bahwa tulisan-tulisan Idham mengenai konsep ini dipengaruhi oleh situasi politik yang dihadapi NU pada akhir 1950-an.

Praktis, buku setebal 169 ini layak dibaca siapa saja sebagai suatu permulaan bagi perdebatan yang lebih dalam mengenai kiprah Idham Chalid dan perannya dalam sejarah perpolitikan NU. Semoga!

*Peresensi adalah Penikmat Buku dan Kontributor Jaringan Islam Kultural

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=9682

Sunday, September 19, 2010

Books

Asy'ari, Hadratussyaikh Hasyim, Khoiron Nahdliyyin, M. Arief Hakim, M. Jadul Maula, and Abdurrahman Wahid. 1999. Risalah Ahlussunnah Wal Jamaʼah. Yogyakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LKPSM).

Bafadal, Fadhal Ar, and M. Syatibi A. H. 2006. Pergeseran literatur pondok pesantren salafiah di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Pusdiklat Lektur Keagamaan.

Baso, Ahmad. 2006. NU studies: pergolakan pemikiran antara fundametalisme Islam & fundamentalisme neo-liberal. Ciracas, Jakarta: Erlangga.

Bruinessen, Martin van. 1989. Kitab kuning: Islamic books in Arabic script published in Southeast Asia, collected in Indonesia, Malaysia and Patana. Jakarta: eigen beheer].

-----. 1995. Kitab kuning, pesantren, dan tarekat: tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

-----, Abdurrahman Wahid, and Qāsim Sāmarrāʼī. 1995. Kitāb al-ʻArabī fī Indūnīsiyā. al-Riyāḍ: Maktabat al-Malik Fahd al-Waṭanīyah.

Dhofier, Zamakhsyari. 1999. The pesantren tradition: the role of the Kyai in the maintenance of traditional Islam in Java. Tempe, Ariz: Monograph Series Press, Program for Southeast Asian Studies, Arizona State University.

Fealy, Greg, and Greg Barton. 1996. Nahdlatul Ulama, traditional Islam and modernity in Indonesia. Clayton, VIC, Australia: Monash Asia Institute.

Hasan, Muhammad Tholhah. 1988. Telaah kitab kuning di pesantren. Magelang: Pondok Pesantren Darussalam.

Ihsan, Soffa. 2004. In the name of sex: santri, dunia kelamin, dan kitab kuning. Surabaya: JP Books.

Mahfudh, H.M.A. Sahal. 1988. Kitab kuning di Pesantren. Magelang: Pondok Pesantren Darussalam.

Mas'udi, Masdar F. 1988. Pandangan hidup ulama Indonesia (UI) dalam literatur kitab kuning. [Jakarta]: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia : Departemen Agama.

-----. 1991. Perempuan di antara lembaran kitab kuning. Jakarta: INIS (Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies).

Mochtar, Affandi. 2009. Kitab kuning & tradisi akademik pesantren. Bekasi, Jawa Barat, Indonesia: Pustaka Isfahan.

Nafis, Cholil. 2008. Masalah garis perbatasan Nahdlatul Ulama: hujjah aqidah dan amaliyah kaum Nahdliyyin. [Jakarta]: Pengurus Pusat, Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.

N.U. (Organization). 2007. Aswaja an-nahdliyah: ajaran ahlussunnah wa al-jama'ah yang berlaku di lingkungan Nahdlatul Ulama. Surabaya: Khalista.

Rahmat, M. Imdadun. 2002. Kritik nalar fiqih NU: transformasi paradigma bahtsul masa'il. Tebet, Jakarta: Lakpesdam.

Rumadi. 2008. Post-tradisionalisme Islam: wacana intelektualisme dalam komunitas NU. [Cirebon, Jawa Barat]: Fahmina Institute.

Siddiq, Achmad. 1985. Islam, Pancasila dan ukhuwah Islamiyah: wawancara dengan Rois Aam PBNU, KH. Achmad Siddiq. Jakarta: lajnah Ta'lif wan nasyr PBNU.

-----. 2005. Khitthah nahdliyyah. Surabaya: Diterbitkan bersama Khalista [dan] Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN NU) Jawa Timur.

Surjanto. 1996. Aspek Kitab Kuning dalam Suluk Centini. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga.

Wahid, Abdurrahman. 1981. Muslim di tengah pergumulan: berbagai pandangan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional.

-----. 1988. Pemekaran wawasan kitab kuning melalui reaktualisasi kandungannya (istiyaq al-muhtawayat). Magelang: Pondok Pesantren Darussalam.

Wina'i, M. Mahfudh Ichsan al-. 1995. Konsep Kitab Kuning. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Winarsho AS, Teguh. 2007. Kantring genjer-genjer: dari kitab kuning sampai komunis. Lamongan: Pustaka Pujangga.

Yusuf, Slamet Effendy, Mohamad Ichwan Syam, and Masdar Farid Masʼudi. 1983. Dinamika kaum santri: menelusuri jejak & pergolakan internal NU. Jakarta: Rajawali.

Zahro, Ahmad. 2004. Tradisi intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa'il, 1926-1999. Yogyakarta: LKiS.

Menggali Fiqih Bernuansa Sosial

07/08/2007

Judul Buku : Nuansa Fiqih Sosial, Penulis : KH. MA. Sahal Mahfudh, Penerbit : LKiS Jogjakarta, Cetakan : VI, Maret 2007, Tebal : viii + 384 Halaman, Peresensi : Titik Suryani*

KH. MA. Sahal Mahfudh (Rais Aam PBNU) adalah seorang pakar fiqih (hukum Islam). Kepiawaiannya dalam bidang hukum Islam itu tidak diragukan lagi. Sejak belia, ia seakan sudah terprogram untuk menguasai ilmu ushul fiqih, bahasa Arab, dan ilmu kemasyarakatan.

Fakta ini jelas tidak bisa dipisahkan dari faktor keluarga. Kiai Sahal memang dilahirkan dari keluarga yang berlatar pesantren, pada 17 Desember 1937. karena itu, sedari kecil ia dididik dan dibesarkan dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi di bawah asuhan ayahnya sendiri, Kiai Mahfudh Salam, yang juga seorang kiai ampuh, dan adik sepupu almarhum Rais Aam NU, Kiai Bisri Syansuri.

Setelah itu, Kiai Sahal kemudian nyantri kepada Kiai Muhajir di Kediri dan Kiai Zubair Sarang, Lasem. Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqih dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru’ (bermoral luhur).

Tidak heran kalau Kiai Sahal—meminjam istilah Gus Dur—lalu ‘menjadi jago’ sejak usia muda. Belum lagi genap berusia 40 tahun, dirinya telah menunjukkan kemampuan ampuh itu dalam forum-forum fiqih. Terbukti pada berbagai sidang Bahtsu Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah, ai sudah aktif di dalamnya.

Buku ini sejatinya adalah rangkuman beberapa (saja) tulisan Kiai Sahal yang berserakan di berbagai halaman surat kabar, jurnal ilmiah, dan makalah-makalah seminar. Dalam banyak kesempatan, Kiai Sahal selalu mengajak masyarakat untuk memahami fiqih secara kontekstual. Menurutnya, asumsi formalistik terhadap fiqih masih menjadi masalah laten, sehingga tidak jarang fiqh—dalam hal ini kitab kuning—dianggap sebagai kitab suci kedua setelah Al-Qur’an yang harus diperlakukan sebagai norma dogmatis dan tidak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu, menggali fiqih yang bernuansa sosial adalah upaya yang sangat urgen. Apa itu fiqih sosial?

Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqih sosial didasarkan atas keyakinan bahwa fiqih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan primer (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan tersier (tahsiniyah). Fiqih sosial tidak sekedar sebagai alat untuk melihat setiap persoalan dari kaca mata hitam putih, sebagaimana cara pandang fiqih yang lazim kita temukan, tetapi fiqih sosial lebih menempatkan fiqih sebagai paradigma pemaknaan secara sosial.

Seperti hasil yang telah dirumuskan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan Rabithah Ma’ahid Islamiah (RMI) dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), fiqih sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol: Pertama, interpretasi teks-teks fiqih secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermadzhab, dari bermadzhab secara tekstual (qauli) ke bermadzhab secara metodologis (manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana ajaran yang cabang (furu’). Keempat, fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologis filosofis, terutama terkait budaya dan sosial.

Dalam pandangan Kiai Sahal, gagasan tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Toh pemahaman kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak. Justru dengan pemahaman seperti itu, segala aspek perilaku kehidupoan akan dapat terjiwai oleh fiqih secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu sendiri. Minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri, tapi juga oleh siapa saja yang berminat mengkaji referensi pemikiran Islam.

Tidak bisa disangkal, gagasan ini muncul seiring meningkatnya anarki pemaknaan sosial-politik di Indonesia. Pemikiran fiqih, mau tidak mau, lalu mengalami pergeseran: dari fiqih sebagai paradigma kebenaran ortodoksi menjadi paradigma pemaknaan sosial. Jika yang pertama menundukkan realitas kepada kebenaran fiqih, maka yang kedua menggunakan fiqih sebagai counter discourse dalam belantara pemaknaan yang tengah berlangsung. Jika yang pertama memperlihatkan watak hitam putih dalam memandang realitas, maka yang kedua memperlihatkan wataknya yang bernuansa, dan kadang-kadang rumit dalam menyikapi realitas.

Nah, Kiai Sahal Menggali fiqih sosial itu dari pergulatan nyata antara kebenaran agama dan realitas sosial yang masih timpang. Sebuah ujian nyata bagi relevansi agama dalam kehidupan aktual demi terbentuknya karakter fiqih yang bernuansa sosial.

*Mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=9926

Saturday, September 18, 2010

MA & PhD Thesis

Abdul Kadir, Suzaina. 1999. Traditional Islamic society and the state in Indonesia: the Nahdlatul Ulama, political accommodation and the preservation of autonomy, 1984-1997. Thesis (Ph. D.)--University of Wisconsin--Madison, 1999.

Alaena, Badrun. 1999. Pergeseran pemaknaan terhadap doktrin Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jamaah (Aswaja) dan pengaruhnya bagi generasi muda Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta: tesis. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada.

Asyari, Suaidi. 1999. The role of Muslim groups in contemporary Indonesian nationalism: a study of the Nahdlatul Ulama under the new order, 1980s-1990s. Thesis (M.A.)--McGill University, 1999.

Asyari, Suaidi. 2007. Islam and democracy in Indonesia: political responses of Muhammadiyah & Nahdlatul Ulama in the outer islands of Java 1998-2007. Thesis (Ph.D.)--University of Melbourne, Asia Institute, 2008.

Bush, Robin. 2002. Islam and civil society in Indonesia: the case of the Nahdlatul Ulama. Thesis (Ph. D.)--University of Washington, 2002.

Chumaidy, A. Farichin. 1976. The Jam'iyyah Nahdlatul 'Ulama: its rise and early development, 1926-1945. Thesis (M.A.)--McGill University.

Effendi, Djohan. 2000. Progressive traditionalists: the emergence of a new discourse in Indonesia's Nahdlatul Ulama during the Addurrahman Wahid era. Thesis (Ph.D.)--Deakin University, Victoria, 2000.

Effendy, Bahtiar. 1988. The Nine Stars and politics: a study of the Nahdlatul Ulama's acceptance of Asa Tunggal and its withdrawal from politics 1983-1987. Thesis (M.A.)--Ohio University, August, 1988.

Fealy, Greg. 1998. Ulama and politics in Indonesia a history of Nahdlatul Ulama, 1952-1967. Thesis (Ph.D.)--Monash University, 1998.

Feillard, Andrée. 1993. L'Islam traditionaliste et le pouvoir en Indonésie (1965-1993) Le Nahdlatul Ulama aux prises avec l'Etat modernisateur. Lille: A.N.R.T, Université de Lille III.

Hakim, Ahmad. 2002. Islam and politics: a study of the influence of the Ahl al-Sunna wa'l-Jamāʻa on the Nahdlatul Ulama's political theory and on Abdurrahman Wahid's governmental policies on the relation between religion and politics. [Bangkok]: Mahidol University.

Irsyam, Mahrus. 1975. Nahdlatul Ulama, 1945-1952. Thesis (master's)--Universitas Indonesia, 1975.

Ismail, Faisal. 1988. The Nahdlatul Ulama: its early history and religious ideology. Thesis (M.A.)--Columbia University, 1988.

Jamhuri, Said. 1999. Kepemimpinan kharismatik Nahdlatul Ulama: studi kasus Abdurrahman Wahid. [Jakarta]: Program Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kato, Hisanori. 1999. Religion and its functions in society: Islam and the creation of a democratic civilised society in Indonesia : with special attention to Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah and Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia. Thesis (Ph. D.)--School of Studies in Religion, Faculty of Arts, University of Sydney, 1999.

Khairiyah, Umi. 1996. Penyelenggaraan latihan kepemimpinan Nahdlatul Ulama sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas pengurus. [Jakarta]: Fakultas Ilmu Pendidikan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta.

Machrusah, Safira. 2005. Muslimat and Nahdlatul Ulama: negotiating gender relations within a traditional Muslim organisation in Indonesia. Thesis (M A (Asian Studies))--Australian National University, 2005.

Mahbub, Moh. 1998. Kiprah politik NU pasca khittah: studi hubungan NU dengan negara (dalam perspektif state and civil society). Surabaya: Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.

Mahfudz, Abdul Halim. 1991. The watershed: the changing of Nahdlatul Ulama's political orientation, 1982-1984. Thesis (M.A.)--Cornell University.

Mardani, A. Mas'ud. 1982. Suatu tinjauan terhadap Jam'iyah Nahdlatul Ulama sebagai lembaga daʻwah di Jakarta. Thesis (master's)--Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 1982.

Marijan, Kacung. 1997. The political culture of the young Indonesian elite: a study of political values and affiliation of the young elite of Nahdlatul Ulama to Indonesia's new order. Thesis (M.A.)--Flinders University of South Australia, 1998.

Mazzidah, Rr. Siti. 1998. Peranan Nahdlatul Ulama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, 1926-1949. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta.

Miftahussalam. 1993. Peranan Nahdlatul Ulama (NU) dalam menumpas G.30 S/PKI: tinjauan historis mengenai keterlibatan NU di kancah politik nasional. Bandung: [IAIN Sunan Gunung Jati].

Mudhofi, M. 1998. Artikulasi politik NU pasca khittah 1926: studi analisis tentang dinamika politik NU sejak Muktamar Situbondo 1984 hingga Muktamar Cipasung 1994. [Medan]: Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Medan.

Naim, Mochtar. 1960. The Nahdlatul-Ulama Party (1952-1955) an inquiry into the origin of its electoral success. Thesis (M.A.). Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University.

Riza, Achmad Kemal. 2004. Continuity and change in Islamic law in Indonesia: the case of Nahdlatul Ulama bahtsul masail in East Java. Sub-thesis (Master of Arts) -- Australian National University, 2004.

Syarqawi, Jauzi. 1997. N.U. pasca khittah: prospek politik dan pendidikannya. Jakarta: Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, IAIN Syarif Hidayatullah.

Meneladani Jejak KH. Hamim Jazuli

20/08/2007
Judul Buku: Perjalanan dan Ajaran Gus Miek
Penulis: Muhammad Nurul Ibad
Editor: Fahruddin Nasrullah & A. Muhaimin Azzet
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2007
Tebal: xx + 336 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti*

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah tulisannya mengatakan, istilah kiai, gus, bindere, dan ajengan adalah sebutan yang semula diperuntukkan bagi para ulama tradisional di pulau Jawa, walaupun sekarang kiai sudah digunakan secara generik bagi semua ulama, baik tradisional maupun modernis, baik yang ada di pulau Jawa maupun di luar Jawa.

Sementara, menurut teori yang dilakukan Clifford Geertz yang menyebutkan, kiai sebagai “makelar budaya” (cultural brokers). Teori ini, kiai harus mampu membendung dan menjaga terhadap dampak negatif arus budaya yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat tradisional saat ini. Belum lagi kalau seorang kiai yang memiliki kualifikasi penuh, dan spesialisasi tersendiri dalam disiplin ilmu ke-Islam-an yang ia kuasainya. Kiai seperti ini, misalnya, KH. Hamim Djazuli, atau akrab disapa Gus Miek.

Gus Miek, putra KH. Jazuli Utsman, salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnuya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal.

Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid, Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.

Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.

Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan (hal: 113 dan 133).

Buku ini, mengulas tuntas perjalanan Gus Miek sejak ia lahir sampai kematian yang menjadi langkah awal untuk berjumpa Sang Khaliq. Di samping itu juga, buku ini mengisahkan seputar kearifan dan lika-liku perjalanan seorang Gus Miek. Gus Miek adalah, salah seorang dari sekian ulama besar Jawa yang berkharisma lantaran Allah telah menganugerahinya sebuah keistimewaan yang jarang dimiliki khalayak umum.

Dengan demikian, di balik keistimewaan dan karifan Gus Miek yang menyimpan banyak kisah mesteri dan penuh kontroversial ini, sangatlah penting untuk patut diteladani, khususnya bagi masyarakat pesantren. Karena apa yang dilakukan Gus Miek, tentunya memiliki arti penting bagi kita dalam memahami sikap dan perilakunya.

Selain itu, buku ini adalah hasil penelitian yang diperoleh melalui metode kualitatif yang berupa pengamatan dan wawancara mendalam ke berbagai tokoh. Dengan cara demikian, Muhammad Nurul Ibad, penulis buku ini, telah menentukan pilihan yang amat sesuai dengan bakatnya, sehingga, darinya dapat diperoleh informasi yang begitu langsung dari para keluarga Gus Miek, dan 100 tokoh yang tersebar mulai dari Jakarta sampai Jember.

Sungguh menarik, gambaran hasil penelitian penulis mengenai sosok perjalanan Gus Miek semuanya disajikan dengan bahasa yang egaliter, sistematis, komonikatif sehingga siapa pun, dari kasta sosial apa pun mudah menangkapnya.

Sayang, penulis buku ini hanya banyak mengandalkan hasil-hasil penelitian yang diproleh secara kuantitatif yang berupa pengamatan dan wawancara saja, tidak secara kualitatif. Sehingga dimungkinkan data-data yang diperoleh penulis itu tidak valid. Sebab, bisa jadi data itu tidak sama dengan maksud tokoh-tokoh tersebut.

Dari buku ini setidaknya dapat menjadi langkah awal sejauhmana bisa kita mengenal sosok, dan latar belakang Gus Miek. Dengan harapan, agar muncul para penulis dan peneliti yang bisa menulis biografi para tokoh-tokoh lain, terutama tokoh pesantren. Karena, selama ini buku-buku yang membahas tokoh-tokoh pesantren relatif terbatas.

* Peresensi adalah pecinta buku, Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura. Kini Aktif sebagai guru pada Madrasah Ibtidaiyah Al-Qodiri, Batang-batang, Sumenep, Madura.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10016

Friday, September 17, 2010

Journal Article

"Conducting religious discourse on reproductive rights: the pesantren experience". 1999. Arrows for Change. 5 (3): 4-5.

Arnez, Monika. 2010. "Empowering Women Through Islam: Fatayat NU Between Tradition and Change". Journal of Islamic Studies. 21 (1): 59-88.

Binder, Leonard. 1960. "Islamic Tradition and Politics: The Kijaji and the Alim". Comparative Studies in Society and History. 2 (2): 250-256.

Bodden, Michael. 2007. "'Tradition', 'Modernism', and the Struggle for Cultural Hegemony in Indonesian National Art Theatre". Indonesia and the Malay World. 35 (101): 63-91.

Bruinessen, Martin M. van. 1994. "Pesantren and kitab kuning: continuity and change in a tradition of religious learning". Texts from the Islands. 121-145.

Castles, Lance. 1966. "Notes on the Islamic School at Gontor". Indonesia. (1): 30-45.

Dhofier, Zamakhsyari. 1980. "Kinship and Marriage among the Javanese Kyai". Indonesia. (29): 47-58.

Fealy, G., and K. McGregor. 2010. "Nahdlatul Ulama and the Killings of 1965-66: Religion, Politics, and Remembrance". Indonesia. (89): 37-60.

Fowkes, Ben, and Bulent Gokay. 2009. "Unholy Alliance: Muslims and Communists - An Introduction". Journal of Communist Studies and Transition Politics. 25 (1): 1-31.

Geertz, Clifford. 1960. "The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker". Comparative Studies in Society and History. 2 (2): 228-249.

van Heeren, Katinka. 2007. "Return of the Kyai: representations of horror, commerce, and censorship in post-Suharto Indonesian film and television". Inter-Asia Cultural Studies. 8 (2): 211-226.

Hosen, N. 2004. "Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad". NEW ZEALAND JOURNAL OF ASIAN STUDIES. 6 (1): 5-26.

Jones, Sidney. 1984. "The Contraction and Expansion of the "Umat" and the Role of the Nahdatul Ulama in Indonesia". Indonesia. (38): 1-20.

-----. 1991. "The Javanese 'pesantren': between elite and peasantry". Reshaping Local Worlds. 19-41.

Kumar, Ann. 1986. "Opening a 'life'". Asian Studies Review. 10 (2): 2-9.

Leirvik, Oddbjørn. 2004. "Religious education, communal identity and national politics in the Muslim world". British Journal of Religious Education. 26 (3): 223-236.

Lubis M.A., Embi M.A., Yunus M.Md, Wekke I.S., and Nordin N.M. 2009. "The application of multicultural education and applying ICT on Pesantren in South Sulawesi, Indonesia". WSEAS Transactions on Information Science and Applications. 6 (8): 1401-1411.

Lukens-Bull, Ronald A. 2001. "Two Sides of the Same Coin: Modernity and Tradition in Islamic Education in Indonesia". Anthropology &Amp; Education Quarterly. 32 (3).

Mangunjaya, Fachruddin Majeri. 2011. "Developing Environmental Awareness and Conservation Through Islamic Teaching 1". Journal of Islamic Studies. 22 (1): 36-49.

Mujiburrahman. 1999. "Islam and Politics in Indonesia: the political thought of Abdurrahman Wahid". ISLAM AND CHRISTIAN MUSLIM RELATIONS. 10 (3): 339-352.

Nilan P. 2009. "The 'spirit of education' in Indonesian Pesantren". British Journal of Sociology of Education. 30 (2): 219-232.

Notosudirdjo, Franki S. 2003. "Traditional Music and Composition For Gyorgy Ligeti on his 80th Birthday - Kyai Kanjeng: Islam and the Search for National Music in Indonesia". The World of Music. 45 (2): 39.

Nurish, Amanah. 2010. "Women's Same-sex Relations in Indonesian Pesantren". Gender, Technology and Development. 14 (2): 267-277.

Oey-Gardiner, Mayling. 1991. "Gender Differences in Schooling in Indonesia". Bulletin of Indonesian Economic Studies. 27 (1): 57-79.

Park, Jaddon, and Sarfaroz Niyozov. 2008. "Madrasa education in South Asia and Southeast Asia: current issues and debates". Asia Pacific Journal of Education. 28 (4): 323-351.

Pohl, Florian. 2006. "Islamic Education and Civil Society: Reflections on the "Pesantren" Tradition in Contemporary Indonesia". Comparative Education Review. 50 (3): 389-409.

Rasmussen, Anne K. 2001. "The Qur'ân in Indonesian Daily Life: The Public Project of Musical Oratory". Ethnomusicology. 45 (1): 30-57.

Sciortino, Rosalia, Lies Marcoes Natsir, and Masdar F. Mas'udi. 1996. "Learning from Islam: Advocacy of Reproductive Rights in Indonesian Pesantren". Reproductive Health Matters. 4 (8): 86-96.

Sirry, Mun'im. 2010. "The Public Expression of Traditional Islam: the Pesantren and Civil Society in Post-Suharto Indonesia". The Muslim World. 100 (1): 60-77.

Smith B.J. 2009. "Stealing women, stealing men: Co-creating cultures of polygamy in a pesantren community in Eastern Indonesia". Journal of International Women's Studies. 11 (1): 189-207.

Srimulyani, Eka. 2007. "Muslim Women and Education in Indonesia: The pondok pesantren experience". Asia Pacific Journal of Education. 27 (1): 85-99.

Zaini, Achmad, and R Michael Feener. 1999. "Religion, Philosophy & Law - Kyai Haji Abdul Wahid Haysim: His Contribution to Muslim Educational Reform and Indonesian Nationalism During the Twentieth Century". Middle East Studies Association Bulletin. 33 (1): 86.